Kamis, 22 Desember 2011

Mangga, Monggo Lhooo


Ada mangga dimana-mana. Yup, sudah lebih dari sebulan ini saya melihat buah mangga, banyak, melimpah, di stasiun, terminal, swalayan termasuk kulkas rumah saya. Buah tropi dengan bentuk unik ini memang datang di setiap penghujung tahun. Melimpah ruah. Panen berbarengan membuat petani harus berpuas diri menjual buahnya sesuai dengan harga di pasar. Para petani mangga tersebut tidak memiliki power untuk menentukan harga di pasar, persaingan sempurna, dan profit margin yang didapat pun kecil, itu kenapa banyak sekali pengusaha menuju ke arah kanan, menuju monopoly, menjauhi pasar pesaingan sempurna, seperti yang dijelaskan  Ibu Sri Ardiningsih, di salah satu pertemuan kuliahnya.
Tetapi bukan teori ekonomi yang ingin saya ceritakan disini, sama sekali bukan, yang ingin saya ceritakan adalah saya, Sakti dan bapak merupakan pecinta mangga sejati. Apapun jenisnya, mulai dari harum manis, manalagi, gedong, indramayu sampai mangga golek yang belakangan varietasnya menjadi sedikit langka.
Jujur, walaupun pecinta mangga, saya termasuk orang yang malas mengupas mangga, saya lebih memilih memakan mangga dengan memotong langsung, membelahnya menjadi beberapa bagian hingga membentuk seperti bunga, dan hap! Masuk ke mulut dengan menyisakan kulitnya. Bapak? Sangat pintar sekali mengupas mangga, Beliau selalu memamerkan kemampuannya mengupas mangga kepada saya dan Sakti, mengupas mangga dari satu sisi ke sisi lain, dengan kulit yang terus menyambung tanpa putus. Tak jarang ketika mangga yang dikupas besar, kulitnya pun jika diurai sangat panjang. Saya dan Sakti, cukup puas menjadi pemandu sorak menyemangati Bapak mengupas mangga tanpa kulit terputus.
Setelah itu, mangga-mangga di potong, di taruh di piring besar, dan Hap! Kami berebutan makan. Satu persatu masuk, dan tak jarang kami bisa menghabiskan 3-4 mangga sekaligus.
Mala mini, ada beberapa mangga di kulkas, sudah mulai kisut, keriput, sudah lama teronggok didalam sepertinya. Saya, sering kali enggan mengupasnya, Ibu yang belakangan akhirnya sering menwarkan dan mengupaskannya untuk saya. Sakti? Mmm di Limboro ada mangga ga ya?

Kangen diboncengin

Pukul 22.14, saya keluar kampus, menunggu taksi sendirian, Dance, teman 1 taksi yang menjadi pengawal saya setiap pulang malam sedang ada tugas di luar kota. Sembari menunggu taksi, kurang dari 5 meter di tempat saya berdiri ada seorang bapak, setengah baya, duduk di atas motornya, diam, menunggu. Entah sedang menunggu siapa. Mungkin anaknya yang masih kuliah di dalam atau istrinya. 
Pikiran saya pun terbang ke beberapa tahun silam. Sejak kecil saya senang sekali naik motor diboncengi Bapak. Hingga akhir hidupnya, hanya motorlah, kendaraan yang Bapak dan keluarga kami punya. RX king, motor yang Bapak punya pertama kali. Gagah sekali melihat bapak duduk di motor itu. Saya dan Sakti menjadi penumpang setia pria bertubuh besar dan berhati sangat lembut itu. Sepulang kerja, kami diajak keliling, entah hanya keliling kampung atau pergi ke pasar hanya sekedar untuk melihat-lihat dan jika ada rezeki berlebih kami dibiarkan untuk jajan makanan-makanan kesukaan kami. 
“Mau sampai kapan Har diantar jemput Bapak terus?” Tanya salah satu guru saya ketika SMA dulu. Ya, Bapak selalu memanjakan saya, mengantar sekolah, menjemput saya les, dan hingga akhir hayatnya dengan setia standbye 24 jam menjemput saya dimana pun saya berada, mulai dari Pondok Kopi ketika saya harus pulang diatas jam 10 malam dimana sudah tidak ada lagi angkot, menjemput saya di rumah Bunda, Arza, Intan dan murid-murid privat saya yang lain, menjemput saya di primagama mulai dari Bintara, Cakung, Harapan Baru. Dengan motornya, beliau juga setia mengantar saya mengikuti tes-tes masuk, mulai dari mendaftar ujian STAN di Bintaro, hingga dengan senyum terus mengembang mengantarkan putrinya ke Depok untuk mendaftar ulang di Balairung. Jarak Bekasi-Depok sepanjang 34 km, kami arungi bersama. Dan tidak kurang dari ratusan kilometer sudah saya habiskan diatas motor bersama Bapak. 
Mungkin kalau saja bapak masih ada, beliau tidak akan pernah merelakan putrinya pulang malam, menunggu taksi. Dengan setia Bapak akan duduk di motornya di depan kampus UGM ini, menunggu anaknya selesai kuliah dan mungkin beberapa kali membawa saya kabur untuk makan bebek atau sate kambing. Ah, saya kangen sekali dengan sosok Bapak.  
Seiring dengan waktu, motor bapak terus berganti, terakhir Supra X. Hingga kini dengan apik berada di ruang tamu rumah kami. Tidak ada yang memakainya. Diah lah, sepupu saya yang terkadang menggunakannya untuk mengajar privat, Pakde bertugas mengecek kondisi motor, mulai dari mengganti oli, service hingga mencuci motor Bapak. Sempat tercetus untuk menjual saja motor Bapak. Tapi saya bersikeras menolaknya, termasuk Sakti dan Ibu. Motor itu, motor terakhir Bapak. Motor terakhir yang bapak punya, motor yang di pakai Bapak untuk mengantar Sakti ke stasiun Tebet menuju UI di hari Kamis, 8 Mei 2008, hari terakhir saya melihat Bapak menaiki motor itu, mengantar saah satu putrinya.

Enjoying Every Single Pain as Allah Blessing


Masih melanjutkan seri cerita dealing with endo, masih sama dengan tulisan-tulisan sebelumnya, saya pun membuatnya menjadi rangkaian cerita kronologis. Kelak, jika Allah mengizinkan untuk menitipkan anak-anak, dan mereka  mebaca tulisan ini, saya hanya berharap bahwa saya (Ibu kalian) sangat menikmati semua sakit ini demi tetap menyelamatkan rahim, tempat dimana kalian pernah tinggal selama 9 bulan didalamnya.

Minggu, 11 Desember 2011
Pukul 16:00, saya sudah standbye di RS Bunda, Menteng. Setelah  masuk kamar rawat inap, berganti pakaian pasien, tindakan demi tindakan pun dilakukan. Pertama, yang dilakukan para suster itu adalah memeriksa tensi saya, ya setiap 3-4 jam sekali tensi darah saya dikontrol oleh para suster itu. Alhamdulillah, semua suster amat sangat care dengan saya. Pukul 19:00, saya mulai diambil darah untuk mengecek HB, trombosit dan beberapa tes lainnya serta yang terpenting adalah tes pembekuan darah. Pihak lab datang ke kamar saya, mengambil darah di lengan kiri saya, lalu melakukan tes pembekuan darah dengan menusukkan jarum juga dilengan kiri saya. Selanjutnya saya diberi makan malam full energy, dan untuk melengkapi lauk, saya pun memesan beberapa porsi McD. Saya, Ibu dan Sakti pun berpesta makanan junkfood di kamar Rumah Sakit.
Pukul 21:00, suster mengingatkan saya untuk bersiap-siap puasa pukul 22:00. Dan mulai memberikan beberapa obat-obatan, salah satunya adalah obat pencahar yang membuat saya pup. Ya, perut saya akan dikuras hingga kosong, karena besok ketika dioperasi diharapkan bisa bersih sehingga bisa diisi gas CO2 dengan maksimal.
Pukul 22:00, suster kembali datang ke kamar, mengingatkan mulai puasa dan karena belum pup saya pun diberi minuman sejenis oralit yang rasanya asin luas biasa. Obat pencahar. Tetapi hingga 1 jam kemudian juga tidak pup. 
Dengan netbook menyala, pukul 23:15, suster bersama 1 orang dokter kembali lagi datang ke kamar saya, memeriksa tekanan darah, pernafasan dan lain-lain. Dan karena belum pup, saya pun diberi obat yang dimasukkan melalui anus. 10 menit kemudian perut terasa melilit dan langsung menuju kamar mandi. Pukul 01:15, saya kembali diberikan obat melalui anus, kembali melilit dan kembali ke kamar mandi. Tidak bisa tidur. Pukul 02:00, saya memilih untuk sholat, Ibu dan Adik saya sudah tertidur pulas sepertinya. Hanya ada 1 doa yang saya pinta “Lancarkan operasinya ya Rabb, selamatkan Rahiim saya, jangan ada yang terambil, sehatkan kembali”

Senin, 12 Desember 2011
Pukul 04:30, suster datang kembali mengingatkan saya untuk memakai pakaian operasi dan tepat pukul 05:00 bersiap menuju ruangan operasi di lantai 1. Saya, sholat subuh, sholat hajat,merasakan keihklasan tingkat tinggi, tenang sekali rasanya.
Pukul 05:00, dengan pakaian operasi, saya siap menuju ruangan. Suster membawa kursi roda, saya? Menolak. “Ya ampun sus, saya masih sehat buger gini, udah ah jalan aja ke ruangannya”. Sampai di bawah, saya pun dikondisikan. Memakai penutup kepala, dipasang selang infus di tangan kanan,  menghabiskan 1 infus khusus dalam waktu 15 menit, lalu lanjut dengan obat-obatan lainnya, yang saya lakukan berzikir sambil berbincang-bincang dengan Ibu dan Sakti. Pukul 06:00, dokter Cepi datang. “pasti ini anaknya dokter Wachyu ya?” “iya, benar kok tau. Mba’Harni yang pernah kerja di PKT RSCM kan? Minggu lalu saya sempat simposium bareng dengan dokter Vina, terus dia bilang kalau kamu mau laparoscopy pagi ini”. “hah? Iyakah? Iya tadi dokter Mutia juga salam buat dokter Wachyu”. Dan kami pun kemudian malah asik mengobrol-ngobrol santai. “Dok, kalau nanti ada apa-apa dengan saya, Adik saya lah yang akan ambil keputusan semuanya, saya sudah pasrahkan dengan dia” kata saya. “Sampai saat ini sih saya sama dokter Wachyu belum ada alternative untuk ambil tindakan apapun, cukup laparoscopy kok, kita sih ga melihat adanya perlengketan, hasil tumor marker juga oke semua, kondisi Mba’Harni juga oke. Jadi mudah-mudahan nanti lancar-lancar ya”. Dan 10 menit kemudian saya pun berjalan dengan membawa infus dan selang-selang menuju ruang operasi. Sampai di ruang operasi ada dokter anastesi yang sudah siap. Cek semua kesiapan saya, dan “Mba’, saya mau memasukkan obat bius total ya, kemungkinan 4 jam mba’ ga akan sadar diri. Kita doa bareng-bareng ya”. Saya, hanya mengucap Bismillahirrahmanirrahiim, Yaa Rahman Ya Rahiim, hamba memasrahkan semuanya kepadaMu” dan setelah itu tidak ada yang saya ingat.
Tiba-tiba saya sadar ada suara Ibu Andam, Ibu saya, Sakti, sayup-sayup sekali. Ada tensimeter yang terus-terusan bergerak di lengan kiri saya, lengan kanan saya entah ada apa saja, ada selang oksigen di hidung saya, dan badan saya diselimuti aluminium penghangat. Ya Rahman Ya Rahiim, Alhamdulillah. Operasinya sudah selesai, tetapi bagaimana dengan rahim saya?. Sayang saya belum bisa bicara, kesadaran saya juga sepertinya belum pulih. Saya kembali tertidur.
Pukul 12:20, saya kembali bangun, sudah sedikit sadar, bertanya jam kepada suster, dan keberadaan keluarga saya. Ternyata saya masih di ruang pemulihan, “Rahim saya gimana sus?, saya sudah merasa hangat, boleh selimut listriknya dilepas? Sudah mulai gerah. Selang dihidung saya boleh di copot?” saya merasa tidak nyaman, semuanya. Pukul 13:00, permintaan saya dikabulkan, tensi dicopot, selimut listrik dilepas, selang oksigen yang dihidung juga dicopot dan bersiap pindah ke ruang rawat. Dan tepat pukul 13:40, saya masuk ke ruang rawat inap.
Ada bunga, paket buah, Ibu, Sakti, Ajib (teman Sakti di Indonesia Mengajar yang juga sudah saya anggap sebagai adik sendiri). Dan Alhamdulillah ya Rabb, Rahim saya utuh, selamat. Ada dvd dan foto-foto sepanjang operasi. Dan 3 benda asing itu sudah keluar semua. Saya tidak berhenti bersyukur.
Pukul 15:30, Kadiv, Kagrup, Ka unit dan teman-teman Corsec datang menjenguk. Setengah sadar, saya pun mencoba menyambut mereka. Kedatangan mereka benar-benar berarti untuk saya.
Pukul 16:00, saya sholat dalam kondisi tidur. Menangis, mengucap syukur. Ajib membacakan surat Ar Rahman  di samping saya. “Fabbiayyi alaa irabbikuma tukadziban”
Setelah magrib, ada beberapa teman dan para kru PKT yang datang silih berganti. Saya merahasiakan dari banyak orang, jadi hanya orang-orang tertentu saja yang tau kondisi saya. Selebihnya, saya menikmati nyeri di seluruh badan, haus, lapar, perut kaku. Beberapa kali dokter datang, memeriksa kondisi saya, dan karena usus saya yang masih lemah, saya harus tetap berpuasa hingga pukul 22:00. 

Selasa, 13 Desember 2011
Setelah sholat subuh, saya memilih membaca Al Quran, dilanjutkan sarapan bubur sumsum dan minum susu. Tidak lama, dokter Cepi datang mengontrol keadaan saya. Semuanya dalam kondisi baik. 1 jam kemudian 2 orang suster datang, mereka memandikan saya, risih sekali. Saya benar-benar merasa kecil sekali di mata Allah, dalam kondisi seperti ini saya benar-benar bergantung pada bantuan orang lain.
Kateter dan infus masih terpasang, saya memilih untuk tidur saja. Entah kenapa badan serasa pegel semua. Siang hingga sore teman-teman saya dan ibu saya pun datang silih berganti. Banyak yang bersimpati. Itupun sebenarnya banyak yang tidak tahu, termasuk Mbah putri saya di rumah, beliau taunya kami ber3 pergi jalan-jalan ke Bandung. Banyak telepon, sms, bbm yang masuk menanyakan kerjaan, transfer, billing, tugas kuliah, jadwal ujian, alamat email dosen dan lain-lain. Saya jawab satu persatu dengan tangan masih terinfus. Mereka tidak tahu.
Selasa malam, saya sudah bisa duduk, Sholat dengan duduk, menikmati kamar ber3 dengan Ibu dan Sakti. Target saya adalah besok pagi sudah bisa sholat dengan normal. 

Rabu, 14 Desember 2011
Saya sholat subuh ,masih dengan duduk, perut masih terasa nyeri. Dokter Cepi kembali datang, dan ternyata dia satu angkatan di FK UI dengan mas Gatot (sepupu saya). Siang ini saya boleh pulang. Dan diberi surat istirahat selama 10 hari pasca kepulangan dari RS. Kateter dan infus sudah dicabut. Sakti mengurus semua administrasi, yang ternyata hanya cukup memberikan kartu asuransi saya saja. Tidak kurang dari Rp. 31.000.000, 3 hari di RS, laparoscopy dan bekal obat-obatan selama 1 minggu. Alhamdullillah ya Allah, saya diberi penyakit endometriosis tidak pernah merasakan sakit dan operasi tanpa mengeluarkan biaya.
Tidak lebih dari 5 jam saya menikmati kamar sederhana ini, pukul 13:00 tadi saya sudah pulang dari RS Bunda. Dengan jalan tertatih dan ketidaknyamanan lainnya, mulai saat ini saya memilih menikmati semuanya, ya semuanya. Berharap selama 10 hari kedepan, menjadi kepompong, dan bersiap menjelma sebagai kupu-kupu, sederhana, cantik.
Setelah sholat magrib, saya turun ke bawah, dan tak lama kemudian puluhan orang secara bergantian keluar masuk rumah saya yang sempit, menjenguk saya, para tetangga,dan beberapa saudara dekat datang, semua ingin melihat kondisi saya. Dan pertanyaan pertama “operasi apa? Kok ga bilang-bilang sih, masuk RS diem-diem aja”, pertanyaan kedua “sakit apa? Perasaan sehat-sehat aja”, pertanyaan ketiga “kista? Kok bisa? Perasaan ga pernah ada keluhan”. Dan saya pun konferensi pers. Sambil membuka laptop saya menunjukkan rekaman video untuk mereka. Lingkungan perkampungan, dipenuhi dengan tetangga yang polos, berkekeluargaan menjadikan malam itu berarti sekali untuk saya.

Kamis, 15 Desember 2011
Mulai menjadi beruang madu. Tidur, bangun, makan, tidur lagi. Ibu sangat memanjakan saya. Letak kamar saya diatas, membuat saya beberapa kali harus naik turun tangga, tertatih. Sepanjang hari, masih ada saja yang datang ke rumah menjenguk saya. Lagi. Hari ini saya mau belajar jalan, belajar seperti orang normal. Besok malam saya mau ikut kuliah, menginap di kosan dan sabtu full kuliah dan ujian sampai malam. 

Jumat, 16 Desember 2011
“Ni, sorry, sorry tadi gw lagi ada pasien control, niy masih di MMC, kenapa?” celoteh Mba’Vina. “Iya Mba’, ini aku kok tiba-tiba bleeding ya?, kalau kemarin cuma ngeflek kan memang karena bekas operasi, ini bleedingnya banyak seperti haid, jadwal haid ku kan masih 1 minggu lagi”. “Mmm banyak ya? Iya gapapa, itu wajar, mungkin haid lo memang jadi maju, stress kali lo, maju 1 minggu normal kok. Tapi wanti-wanti sehari ga boleh ganti pembalut lebih dari 8 kali. Kalau sudah 7 atau 8 kali ganti, lo telp gw lagi, atau cepi.” “oo gtu mba’?”. “iya, hormon lo kan ga stabil, nanti akan begitu terus, sampai lo disuntik tapros 2 kali, di bulan ketiga bener-bener ga haid, dan ya bulan ke empat atau lima Insya Allah sudah normal lagi. Nah berarti bulan Mei lo hamil aja. Biar menyempurnakan penyembuhan si endo”. “ah mba’ Vin, beneran gapapa niy?”. Ya , tiba-tiba saya bleeding. Masih kurang yakin, saya bbm-an dengan dokter Mutia. Dan saya pun mendapat jawaban serupa. “ga usah pecicilan dulu makanya” pesannya.
Dan saya pun membatalkan niat untuk ke kampus malam ini. Besok pagi saja, mengikuti 2 kuliah, tetapi tidak absen, dan memilih untuk tidak ikut ujian di sorenya. Saya merasa belum siap. 

Sabtu, 17 Desember 2011
Saya menuju kampus, bersemangat sekali, sudah bisa jalan, walau pelan. Dengan taksi menuju ke kampus dan ada 2 kurcaci kecil, Ayu dan Tiwi standbye di depan kampus, membantu membawa tas-tas saya. Pelan, dengan nyeri, mengingat mulai siang nanti  saya sudah tidak minum obat anti nyeri, saya sampai kelas dan sudah duduk manis disamping ketua kelas. Siap mendengarkan kuliah. 
Pukul 15:30, saya pulang, teman-teman yang lain bersiap untuk ujian statistic. Sebenarnya saya sudah bisa, tapi entah belum yakin. Jadi memilih untuk susulan saja. Dan bleeding pun sudah mulai berhenti.

Senin, 19 Desember 2011
Bwueetteeee. Kebiasaan pecicilan, membuat saya jenuh sekali di rumah. Menghabiskan majalah-majalah selama 3 bulan yang tidak pernah terbaca, menonton dvd, tidur.ya begitu saja. Saya seperti beruang dengan mata onde-onde.
Untungnya,  setelah buka puasa, akhirnya ada yang baik hati menculik saya, pergi ke Blitz Bekasi Cyber Park, menonton dan makan sepuasnya. Wuaaa, finally menghirup udara luar juga. Hampir pukul 00.00, saya sampai di rumah. Terima kasih banyak telah menculik saya!, maaf makannya banyak.

Rabu, 21 Desember 2011
Searching, baca buku, tidur, makan, searching lagi, bbm, ngerjain paper, tidur lagi. Yup! Saya memutuskan untuk masuk ke kantor besok, Kamis, 22 Desember 2011. Ga betah. Masuk 5 hari lebih awal dari jadwal semula. Sekalian harus control jahitan di RS Bunda, kamis sorenya.
Selanjutnya, mari menikmati menopause dini. Suntik tapros 3 kali dengan harga jutaan, tidak haid selama 4 bulan. Menikmati hotflush, pegel-pegel, nyeri pada persendian, emosi yang tidak stabil, bisa beribadah full, puasa dan yaaa Enjoy!

Mbah Kung

Terakhir kali saya bertemu Mbah Kung adalah bulan Mei tahun 2011, lebaran tahun ini saya, Ibu dan Sakti memang tidak berencana untuk pulang ke kampung. Selain baru saja pulang di bulan Mei, lebaran tahun 2011 ini, Sakti pulang ke Jakarta, berlibur. Saya pun menelpon Mbah Kung meminta izin untuk absen dulu di lebaran tahun ini. Dan berharap bisa berkumpul di lebaran tahun depan. Tetapi ternyata tidak. Uraian kata berikut akan menceritakan kehebatan dan kelucuan dari Mbah Kung (Ayah dari Bapak), setidaknya anak-anak saya kelak nantinya bisa sedikit mengenal Mbah Kung melalui uraian singkat ini. Mbah Kung merupakan seorang petani, punya sawah yang cukup luas. Beliau menghabiskan umur hidupnya sebagai petani. Dari menjual padilah, Mbah Kung menghidupi sitri dan 7 orang anaknya termasuk Bapak. Mbah kung menyekolahkan semua anaknya, setidaknya hingga tamat SMA. Beliau sangat mengedepankan pendidikan untuk anak-anaknya. 
Selain sawah, Mbah Kung juga senang berkebun. Beliau menanami beberapa kebunnya dengan pohon jati, saya masih ingat, Mbah kung ernah bilang kepada saya dan Sakti kalau ia sengaja menanam pohon-pohon jati ini khusus buat kami, jadi kalau kami mau bangun rumah, cukup ambil dari kayu jati yang ditanam Mbah Kung saja. Selain itu, Mbah kung juga senang beternak, mulai dari beternak ikan lele, ayam dan bebek. Saya dan Sakti bisa dibilang merupakan cucu yang paling dimanja sama Mbah Kung. Setiap pulang kampung, Mbah selalu memerintahkan untuk memotong ayam, memancing lele atau apa saja lah. Ketika Bapak meninggal pun, selama seminggu lebih, Mbah Kung selalu memanggil nama saya dan Sakti, mungkin beliau mengkhawatirkan keadaan kami. Mbah Kung juga sempat memberikan uang simpanannya sebesar 5 juta rupiah yang ia simpan di lemari bajunya untuk menambah biaya pengobatan Bapak.  Yang lucunya adalah, Mbah Kung tidak bisa berbahasa Indonesia, sedangkan kami sebaliknya, tidak bisa berbahasa jawa, jadilah kami selalu mengobrol dengan menggunakan bahasa masing-masing, tetapi selalu nyambung.  
Mbah kung sangat suka roti empuk, salah satu roti kesukaannya adalah lapis legit, ketika Bapak masih ada, setiap pulang kampung, Bapak selalu tidak pernah lupa membelikan Mbah Kung roti lapis legit terenak. Belakangan saya dan Sakti setiap pulang kampung pun tidak pernah lupa membawa roti lapis legit kesukaan Mbah Kung. Selain lapis legit, Mbah Kung juga suka jeruk manis yang berwarna kuning (jeruk mandarin), menurut Mbah, bentuk dan warna yang bagus ditambah rasanya yang manis membuat mulutnya selalu segar. Mbah juga sangat senang kalau dibelikan parfum. Dulu, Bapak sering sekali membelikan Mbah Kung parfum Axe, Mbah memakainya setiap mau sholat ke Masjid.  Sebagai petani, yang memang setiap hari ke sawah, hingga di usia lanjut pun, Mbah tetap memaksakan dirinya ke sawah. Padahal sebagian besar sawah disewakan ke orang lain, tapi Mbah Kung selalu ingin bolak-balik ke sawah, hanya sekedar untuk melihat sawahnya saja. Setiap dilarang, Mbah Kung pun tidak pernah mundur. Beberapa kali mbah Kung pernah jatuh di sawah, menyungsep di parit, dan berulang kali diomelin sama anak-anaknya, tetapi besoknya Mbah Kung tanpa kapok tetap pergi ke sawah.  Mbah kung juga sangat senang di foto, setiap kali kami membawa kamera, mbah Kung dengan rela menjadikan dirinya sebagai model. Mungkin gen inilah yang membuat saya dan Sakti juga mnjadi senang kalau difoto. 
Ya itulah Mbah Kung, masih banyak kenangan yang belum terungkap disini. Saat ini, mbah kung bersama mbah putri dan 3 orang anak lelakinya sudah menghadap Allah. Kami yang masih ada, tetap berkewajiban menjaga silaturahmi, menjaga nama baik keluarga dan meneruskan trah dengan sebaik-baiknya.

Those are the last pills

Cerita ini merupakan sambungan dari seri rangkaian cerita saya, dealing with endometriosis. Tulisan yang saya buat di Rumah Sakit Bunda Menteng, kamar No. 210, Minggu, 11 Desember 2011, pukul 22:42. Ya, mulai pukul 22:00 ini, saya sudah harus berpuasa, tidak makan, tidak minum dan tidak boleh berbicara. Sambil menunggu kantuk yang belum juga datang, mungkin saya akan berbagi sedikit cerita mengenai kelanjutan hasil pemeriksaan-pemeriksaan kemarin. Sama dengan tulisan sebelumnya, dalam tulisan ini pun saya membuatnya sesuai kronologis, sebagai salah satu catatan rekam medis yang saya buat sendiri.

Jumat, 25 November 2011
Sesuai dengan saran dokter Andi, istirahat siang saya izin kantor untuk cek 3 jenis tes tumor and kanker marker di Prodia Kramat. Kali ini saya pasrah, sepanjang perjalanan dari kantor ke Prodia saya memilih untuk berbincang-bincang dengan Pak Sofyan, driver saya. Berbicara ringan, berusaha untuk lepas dan ya malas untuk berfikir apapun. Sampai di Prodia, saya langsung menuju ke ruangan, diambil darah untuk tes CA 125, AFP dan CEM. Untuk ketiga tes tersebut saya dikenakan biaya sebesar Rp. 798.000. Cukup lumayan ya harganya. Hasilnya baru bisa diambil Jumat sore jam 18:00. Saya pun berniat untuk mengambil hasilnya selepas pulang kantor nanti. Kebetulan hari itu tidak ada kuliah. Selesai dari Prodia, saya menuju ke Manggarai, ada beberapa buku yang harus saya kembalikan ke Perpustakaan dan juga harus meminjam beberapa buku lainnya. Selanjutnya mengedrop barang-barang berupa spanduk, sticker, surat-surat Berita Acara Serah Terima di kosan Putu untuk persiapan ke Padang hari Senin dini hari.
Pukul 20:00, saya keluar dari kantor menuju Prodia, saya memilih naik bus dari Sudirman ke arah Salemba. Sampai Prodia, pukul 20:40, hasil tes sudah keluar semua. Saya dengan tenang mengambil hasil tes tersebut lalu pergi ke kamar mandi. Ya, saya memilih membuka hasil tesnya di kamar mandi. Hasilnya? Alhamdulillah, test CA 125nya tidak bertambah tinggi, turun bahkan menjadi 139, dibanding sebelumnya sebesar 159, ya walaupun masih dibilang cukup tinggi juga, karena batas normal 0-35. Untuk tes CEM dan AFPnya, Alhamdulillah negative. Yang berarti murni CA 125 saya tinggi karena kista endometriosis ini. Nafas saya terasa lega, jalan menjadi lebih ringan. Saya langsung keluar dari prodia dan duduk manis di mikrolet, selanjutnya menikmati kemacetan dan warna warni malam menuju ke rumah. 

Selasa, 29 November 2011
“Dok Mut, saya baru aja landing dari Padang. Mmm kira-kira dokter Andi masih mau nungguin nggak ya? Saya berencana naik damri ke gambir lalu langsung naik kereta menuju ke Depok”, Dokter Mutia menjawab “Kalau ga bisa sekarang ga papa kali ni, Besok aja, Andi juga praktek kok, Cuma ga ada gw”. “oh gitu dok, mmm saya prefer besok malam aja ya dok, lagi pula ini badannya cape sekali”. “Iya gapapa, lagi pula hasil labnya oke kan?”. Saya kemudian menjawab “iya, Alhamdulillah dok. Berkat doa dokter juga”. Tak lama, dokter Mutia kembali bbm saya “Ni, Andi ga praktek besok, jumat juga dia ke luar kota, baru bisa Selasa depan, gmn?” saya membalas “ iya, ga papa dok, terima kasih banyak yaa, ngerepotin dokter mutia terus deh.” Ya itulah dokter Mutia, dokter obgin yang cantik hati dan fisik, sudah lebih dari 10 tahun beliau juga mengabdikan dirinya untuk mengurusi PKT RSCM, sebuah organisasi yang didirikan untuk menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, rape, chld sexual abuse. Pemimpin tauladan, saya? Hanya berkesempatan terjun di PKT RSCM kurang dari 4 tahun. Beliau bekerja tanpa pamrih sedkitpun. Kelak, dipundaknya banyak sekali pahala dan pengabdian yang sudah dijalankannya. Dan, saya pun akhirnya memilih untuk langsung pulang ke rumah, beristirahat. Pergi ke daerah bencana, seperti kabupaten pesisir selatan, Padang sering kali menguras tenaga dan untungnya selalu diimbangi dengan blessing yang luar biasa dari Allah. 

Kamis 1 Desember 2011
“Putu, gw tadi di terapi sama salah satu tabib, kenalan Mba’ Alva, dia khusus manggil tabib ke kantor salah satunya supaya gw mau berobat alternative dulu sebelum operasi. Dia bilang penyakit gw udah parah, terus ngelarang gw untuk operasi, katanya kalau gw operasi gw akan mati.” Cerita saya di Kamis malam saat menginap di kosan Putu. “Pu, gw udah cape deh, banyak yang care sama gw, diminta untuk nyoba ke dokter a, b atau berobat ke alternative c, d, e. Gw cape’ pu. Ditambah semakin gw sering googling yang ada semakin stress. Gw nyaman banget sama dokter Andi, tapi dia hanya bisa operasi di RS Hermina Depok, bisa siy di Bunda tetapi pakai system robotic, karena dia kedepannya akan menjadi spesialisasi robotic, itu pun baru bisa dilaksanain Januari 2012. Untuk alternative, bukannya gw ga percaya, tetapi karena selama ini gw berhubungan selalu dengan dunia medis yang ada otak gw kenalnya hanya logika. Udah lah, Insya Allah gw udah mantep sama dokter Wachyu, fix tanggal 12 di operasi”. Ya, belakangan opsi untuk dealing with endo semakin banyak, dan saya semakin dibuat bingung, mulai dari opsi tidak perlu dioperasi, terus didiemin aja, opsi berobat herbal sampai dukun magic. Semakin banyak minta masukan, saya pun semakin riwet. Karena endingnya adalah, pasti diserahkan ke saya kembali. Karena ya sayalah yang menjalani semuanya. Dalam keadaan seperti ini, kepada Allah lah saya pasrah. Dan jawabannya adalah saya fix sesuai dengan jadwalan rencana semula, operasi laparoscopy dengan dokter Wachyu di RS Bunda.

Jumat, 2 Desember 2011
Saya sempat dipergoki minum beberapa obat di kelas kuliah, saya pun selalu menjawab itu vitamin dan obat cantik dan berhasil. Mereka menyangka itu hanya obat vitamin saja. Yup, menjelang operasi saya diberi beberapa obat oleh dokter Wachyu yang harus diminum setiap hari sampai ketika hari operasi datang. Dan memang, saya hanya memberikan informasi mengenai apa yang saya alami ini ke beberapa teman dekat saja, dukungan dan doa-doa dari mereka yang terpenting. Selebihnya, biarkan orang-orang diluar sana mengetahui kalau Harni okay-okay saja, wanita yang memenuhi harinya dengan semangat. 

Selasa, 6 Desember 2011
Harusnya hari ini saya jadwal konsultasi dengan dokter Andi. Tapi saya memilih untuk membatalkan saja. Toh saya sudah fix akan laparoscopy dengan dokter Wachyu. Ya, saya pun memilih untuk menikmati hari lebaran yatim ini tidak dengan memikirkan atau melakukan aktivitas yang berkaitan dengan endo. Malam ini ada ajakan diner dan yeaayy, ada Maliq and D’essential performance di lobby kantor saya. So, lupakan endo, Then enjoy the day. 

Rabu, 7 Desember 2011
Hari ini 3 orang teman terdekat di kantor saya ulang tahun, Mba’ Vena, Desti dan mas Wahyu. Dan pasti ada pesta, kue dan makanan dimana-mana. Walaupun harus direpotkan dengan rencana surprise party untuk Desti dan kue special untuk mba’Vena. But it will be so great. Dan minggu ini juga menjadi minggu yang amat sangat padat, mengingat minggu terakhir sebelum saya izin untuk tidak masuk pasca recovery operasi, minggu ini juga ada 1 final test dan 1 business plan yang harus diselesaikan. Wow, minggu yang keren pastinya.
Rabu malam, saya dan Desti pergi ke kampus, ada belajar bareng 1 kelas untuk persiapan final test. Dan secara diam-diam saya pun sudah menyiapkan surprise party buat dia. Sesampai di kampus, pesta dimulai, meriah, Alhamdulillah saya mendapatkan teman-teman kelas yang baik, hebat, tidak sedikit yang genius dan memiliki potensi menjadi pelawak. Terlebih saya dipercayai menjadi sekretaris kelas. Belakangan merekalah yang juga menjadi bagian dari warna warni hidup saya.
Party selesai, waktunya kami belajar, kebetulan saya diminta untuk sharing di depan kelas. Berbekal pengalaman sebagai pengajar selama lebih dari 5 tahun, saya berusaha untuk menjelaskan sedetail mungkin. dan tidak terasa lebih dari 2 jam saya di depan kelas. Pantas beberapa kali perut saya terasa nyut-nyut sekali. Dan beberapa kali minta izin untuk men-sharing sambil duduk. Ya inilah, semenjak tahu kalau terkena endo, saya jadi lebih sensitive kalau ada nyeri-nyeri di perut. 

Jumat, 9 Desember 2011
Hari ini, hari terakhir saya di kantor sebelum operasi. Saya berusaha untuk menyelesaikan semua pekerjaan saya dan berharap tidak ada lagi pending kerjaan ketika saya pergi. Sebenarnya saya merasa tidak enak sekali meninggalkan kantor dalam keadaan injury time seperti ini. Ada beberapa target yang harus di achieve oleh grup kami. Tetapi mau bagaimana lagi, jadwal sudah dibuat.
Dan Alhamdulillah, semua kerjaan terselesaikan, Insya Allah tidak ada pendingan. Sebelum berangkat kuliah saya berpamitan ke satu divisi, sekaligus meminta maaf kepada mereka dan mohon doanya untuk kelancaran operasi. Alhamdulillah, saya memiliki rekan dan atasan yang ya super baik dan sudah menjadi bagian dari keluarga sendiri. Berada di lingkungan divisi Corporate Secretary terasa nyaman sekali. Hubungan kita bukan hanya sebatas pekerjaan, tetapi personal. 

Minggu, 11 Desember 2011
Setelah menghabiskan energy untuk final test di hari Sabtu dan menjadi artist gadungan di Inul Vizta hingga tengah malam. Hari ini saya pergi ke salon untuk perawatan. Sebelum operasi, saya harus bersih dan cantik. Halah! Hampir satu hari di salon, saya pun menyempatkan diri pergi ke makam bapak. Sekedar ingin mengobrol saja dengan beliau. Pukul 15:00, saya bersiap berangkat ke rumah sakit dan kini, sudah berganti hari, Senin, 12 Desember 2011, tepat pukul 00:14, mata saya masih saja belum bisa terpejam.
Sejak magrib tadi ada saja tindakan dari dokter atau suster untuk saya sebagai persiapan untuk operasi besok.  Dan yaa, mari kita nikmati saja, tindakan demi tindakan itu. Toh saat ini yang saya bisa lakukan hanya pasrah, ikhlas dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Saya belajar untuk selalu berprasangka positif sama Allah dan saya yakin Allah pasti akan senantiasa memudahkan dan membuatnya menjadi baik. 

Then, the last word before the early morning surgery is: Dear God, I’m on you.