Pukul 22.14, saya keluar kampus, menunggu taksi sendirian, Dance, teman 1 taksi yang menjadi pengawal saya setiap pulang malam sedang ada tugas di luar kota. Sembari menunggu taksi, kurang dari 5 meter di tempat saya berdiri ada seorang bapak, setengah baya, duduk di atas motornya, diam, menunggu. Entah sedang menunggu siapa. Mungkin anaknya yang masih kuliah di dalam atau istrinya.
Pikiran saya pun terbang ke beberapa tahun silam. Sejak kecil saya senang sekali naik motor diboncengi Bapak. Hingga akhir hidupnya, hanya motorlah, kendaraan yang Bapak dan keluarga kami punya. RX king, motor yang Bapak punya pertama kali. Gagah sekali melihat bapak duduk di motor itu. Saya dan Sakti menjadi penumpang setia pria bertubuh besar dan berhati sangat lembut itu. Sepulang kerja, kami diajak keliling, entah hanya keliling kampung atau pergi ke pasar hanya sekedar untuk melihat-lihat dan jika ada rezeki berlebih kami dibiarkan untuk jajan makanan-makanan kesukaan kami.
“Mau sampai kapan Har diantar jemput Bapak terus?” Tanya salah satu guru saya ketika SMA dulu. Ya, Bapak selalu memanjakan saya, mengantar sekolah, menjemput saya les, dan hingga akhir hayatnya dengan setia standbye 24 jam menjemput saya dimana pun saya berada, mulai dari Pondok Kopi ketika saya harus pulang diatas jam 10 malam dimana sudah tidak ada lagi angkot, menjemput saya di rumah Bunda, Arza, Intan dan murid-murid privat saya yang lain, menjemput saya di primagama mulai dari Bintara, Cakung, Harapan Baru. Dengan motornya, beliau juga setia mengantar saya mengikuti tes-tes masuk, mulai dari mendaftar ujian STAN di Bintaro, hingga dengan senyum terus mengembang mengantarkan putrinya ke Depok untuk mendaftar ulang di Balairung. Jarak Bekasi-Depok sepanjang 34 km, kami arungi bersama. Dan tidak kurang dari ratusan kilometer sudah saya habiskan diatas motor bersama Bapak.
Mungkin kalau saja bapak masih ada, beliau tidak akan pernah merelakan putrinya pulang malam, menunggu taksi. Dengan setia Bapak akan duduk di motornya di depan kampus UGM ini, menunggu anaknya selesai kuliah dan mungkin beberapa kali membawa saya kabur untuk makan bebek atau sate kambing. Ah, saya kangen sekali dengan sosok Bapak.
Seiring dengan waktu, motor bapak terus berganti, terakhir Supra X. Hingga kini dengan apik berada di ruang tamu rumah kami. Tidak ada yang memakainya. Diah lah, sepupu saya yang terkadang menggunakannya untuk mengajar privat, Pakde bertugas mengecek kondisi motor, mulai dari mengganti oli, service hingga mencuci motor Bapak. Sempat tercetus untuk menjual saja motor Bapak. Tapi saya bersikeras menolaknya, termasuk Sakti dan Ibu. Motor itu, motor terakhir Bapak. Motor terakhir yang bapak punya, motor yang di pakai Bapak untuk mengantar Sakti ke stasiun Tebet menuju UI di hari Kamis, 8 Mei 2008, hari terakhir saya melihat Bapak menaiki motor itu, mengantar saah satu putrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar