Sabtu, 13 Agustus 2011

YOGYAKARTA: KOTA BUDAYA YANG BIMBANG Studi Kasus Dampak Pembangunan di Kota Pariwisata Yogyakarta terhadap Sosial dan Budaya Masyarakat Lokal

Redup senja di suasana Jogja…
            Sekelumit syair yang dipopulerkan oleh Kla Project tersebut tentunya mengingatkan kita kepada indah dan nyamannya kota Yogyakarta. Kota yang kaya pusaka dan kaya budaya. Berusaha untuk sedikit mengesampingkan sejenak bencana nasional gempa tektonik dengan kekuatan 5,9 skala richter yang meluluhlantahkan beberapa kabupaten di Yogya pada Sabtu pagi, tulisan ini menilik kembali perjalanan kota budaya dengan menitikberatkan pada proses pembangunan sebagai usaha memoles kota pariwisata.
            Untuk membuka suatu pemahaman yang sama, maka penulis mendasarkan diri penulisannya dengan bersumber pada 3 artikel yang bertajuk Yogyakarta yang dimuat pada harian Kompas, Sabtu  3 Desember 2005. Berikut ilustrasi singkat megenai artikel-artikel tersebut.  

Yogyakarta, Kota Budaya Yang Bimbang ( Ari Susanto dan Boni Dwi Pramudyanto)

            Menyamai dengan judul tulisan ini, dimulai dengan Pembangunan Fisik yang mulai merambah di setiap sudut Yogyakarta. Proyek-proyek fisik itu mulai menggejala di kota budaya dan pendidikan. Dalam hitungan tahun, Mall dan hipermarket menjamur di setiap sudut kota, seperti Saphir Square, Plaza Amarukmo yang diklaim sebagai mall terbesar di DIY dan Jawa Tengah, Jogjatronik, Marvin Reeves, Reksa Arcade dan Makro. Konsep pembangunan kota, menurut pemerintah Provinsi DIY dirancang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi bagian selatan Jawa. Proyek pembangunannya terdiri dari pembangunan Jaringan Jalan Lintas Slatan yang menghubungkan kota Kulon Progo dengan Gunung Kidul, pembenahan akses transportasi udara Bandara Adisutjipto menjadi terminal terpadu dengan membangun stasiun kereta disebelahnya. Selain pembangunan fisik, modernisasi juga merambah Yogya yaitu dengan mengalokasikan dana sebesar 17 miliar di bidang teknologi informasi untuk penyediaan jaringan CDMA, membentuk pemerintahan cyber province dan akses internet. Pemprov juga berencana mengajukan pinjaman luar negeri dari program Bappenas senilai Rp. 1,5 triliun ke Japan Bank for International Cooporation untuk membangun e-education.
Kebijakan-kebijakan ini mengundang banyak controversial yang menganggap bahwa dengan modernisasi, Yogya akan semakin kehilangan wajah asli dan dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif terhadap tata social dan budaya masayarakat Yogya. Walaupun hal ini dibantah oleh Sri Sultan Hamengkubowono yang menganggap bahwa modernisasi merupakan pembangunan dengan pendekatan kebudayaan yaitu berdasar pada hamemayu hayuning bawana dan berpendapat bahwa modernisasi dan tradisionalisme dapat berjalan bersama.  

Yogyakarta dan Ruwetnya Transportasi ( Ari Susanto dan Boni Dwi Pramudyanto)

Dengan rentang waktu yang tidak lama, Yogya kini telah mengalami transformasi, wajahnya telah banyak berubah. Gedung-gedung tinggi dan tampak baru berjejer di sepanjang jalan Kota Yogyakarta, disertai dengan kemacetan yang parah. Pembangunan fisik kota dan sekitarnya yang begitu pesat terjadi di 2 tahun terakhir. Melalui investasi dari luar daerah, empat buah pusat perbelanjaan telah dibangun. Sejumlah hipermarket, seperti Indogrosir, Alfa, dan Makro mengepung kota. Kafe, Lounge dan Diskotek merebak disudut-sudut kota hingga tak jarang berdekatan dengan bangunan budaya dengan arsitektur lama yang notabennya memiliki ukuran lebih kecil dibanding pusat-pusat perbelanjaan yang baru dibangun.
Sejumlah pengamat tatakota dan transportasi sejak awal pembangunan sudah mengingatkan agar pemerintah kota mengantisipasi akibat-akibat negatif pertumbuhan fisik ekonomis yang tidak terkendali itu. Namun oleh Pemerintah hal tersebut dianggap angin lalu saja. Beberapa minggu terakhir masyarakat dan pemerintah mulai merasakan efek pengembangan fisik kota antara lain, banyaknya titik kemacetan baru, pertumbuhan jumlah kendaraan motor yang tentunya berdampak langsung pada pencemaran udara. Permasalahan ini diperparah dengan dikeluarkan rencana Megaproyek pembangunan area parkir bawah tanah di alun-alun utara serta pemberlakuan metode road pricing  di Malioboro yang mengimplikasikan uasaha komersialisasi.

Membangun Peradaban Yogyakarta ( Laretna T Adishakti) 
Yogyakarta merupakan Kota Pusaka Dunia yang berkawan dengan banyak kota-kota pusaka dunia lainnya yang tergabung dalam the League of World Historic City. Keberadaannya telah diakui dunia yang disejajarkan dengan Kyoto, Paris, Xian dan Praha.  Ikon ini tentunya harus kita pertahankan dengan berusaha mempelajari kota-kota pusaka dunia lainnya.
Sehingga, sangat memprihatinkan apabila adanya pernyataan dari pengelola daerah dengan pilihan pembangunan mal oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai keniscayaan untuk mendapatkan devisa besar dalam jangka pendek. Kini, telah banyak yang tidak jelas ujung pangkal perencanaan dan perancangannya. Sehingga konsep pembangunan yang konservatif ini tetap terus dilaksanakan di tengah maraknya konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development).

 ANALISA

            Pada akhir dasa warsa 1950-an istilah ‘pembangunan’ sering dianggap sebagai suatu ‘obat’ terhadap berbagai macam masalah yang muncul dalam masyarakat, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Pembangunan sendiri memiliki pengertian berbagai bentuk, tergantung dari perspektif mana melihatnya. Banyak tokoh yang secara khusus memberikan pengertian terhadap istilah pembangunan. Secara umum, kita dapat mendefinisikan kata pembangunan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya, walaupun terkadang sering kali dikaitkan dengan kemajuan material yaitu sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi.  Pembangunan di Indonesia juga diikuti oleh pembangunan di daerah-daerah tiodak terkecuali Daerah Istimewa Yogyakarta.
            Yogyakarta sesuai dengan istilahnya, daerah istimewa, memang memiliki keistemewaan di bading daerah lain di Indonesia. Dengan system pemerintahan yang dijalankan oleh Raja, Yogya memiliki budaya dan berbagai macam keunikan sendiri, dimana keunikan ini membawanya sebagai daerah pariwisata budaya. Yogyakarta, merupakan daerah tujuan pariwisata yang terkenal setelah Bali. Sebagian besar penduduknya mengandalkan mata pencahariannya di sektor jasa pariwisata. Sebagai kota dengan penuh budaya tradisi, keunikan budaya dan alam yang mempesona menjadikan Yogya selalu berusaha berbenah untuk menarik wisatawan asing maupun local.
            Hal ini tidak terlepas dengan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Yogyakarta. Pembangunan yang dilakukan di Yogyakarta pada dasarnya dilakukan melalui pendekatan kebudayaan berdasar hamemayu hayuning bawana, yang pada konteksnya memanusiakan manusia untuk menumbuhkan martabat dan kemandirian. Pembangunan fisik massif di DIY tidak merusak kebudayaan karena secara cultural Yogyakarta masih berpijak pada filosofi Jawa melalui model pengembangan seni budaya tradisional oleh provinsi maupun kabupaten/kota.
      Fakta di lapangan adalah Yogyakarta lebih menjalani proses pembangunan dengan pendekatan fisik. Green dan Haines (2002: 113) melihat dua kelompok utama dalam pembangunan fisik yaitu: bangunan (buildings) dan Infrastruktur (infrastructure). Bangunan yang dimaksud disini dapat berupa rumah, pertokoan, perkantoran, gedung perniagaan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur dapat berupa jalan raya, jembatan, jalan kereta api, sarana pembuangan limbah, sarana air bersih dan sebagainya. Hal inlah yang terus dilakukan oleh Pemprov Yogyakarta. Industrialisasi dan Modernisasi juga tidak terlepas dari yang dialami Yogya. Seperti yang dikatakan oleh Reinhard Bendix bahwa Industrialisasi merupakan dua konsep kunci dalam pembangunan, Industrialisasi mengacu pada perubahan ekonomi yang melibatkan teknologi, Modernitas mengacu pada perubahan social politik. Modernisasi menurut Schoorl merupakan suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Di bidang ekonomi yaitu dengan tumbuhnya kompleks-kompleks industri besar. Sektor jasa, semakin berkembang. Sektor agraris, meskipun berhasil meningkatkan produksi agraria, tetapi bukan menjadi tumpuan utama. Konsep ini jelas telihat di Yogyakarta kini. Maraknya bangunan pusat perbelanjaan, perkantoran dan perumahan serta industri merupakan wujud dari tumbuhanya kompleks industri.
      Bila kita menilik kembali ketiga artikel diatas, terlihat bahwa kebijakan yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi yang diutarakan oleh Rostow, pertumbuhan ekonomi Yogya sampai pada tahap prakondisi lepas landas, dimana pertumbuhan konomi dijalankan dengan menarik investor dan modal asing untuk menanamkan modalnya di Yogya sebesar 17 miliar di bidang teknologi informasi untuk penyediaan jaringan CDMA, membentuk pemerintahan cyber province dan akses internet dan  Pemprov juga berencana mengajukan pinjaman luar negeri dari program Bappenas senilai Rp. 1,5 triliun ke Japan Bank for International Cooporation untuk membangun e-education. Turut campur asing sangat kelihatan disini. Investasi dari luar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi local menjadi watak pembangunan di Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan seakan melupakan pemerataan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang menjadi ciri perekonomian DIY serta juga mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yaitu pembangunan yang bersifat Top down dan ada ketakutan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional.
      Menilik kembali pada pembangunan yang sedang dilakukan Yogya, dari artikel tersebut terlihat bahwa pembangunan fisik merupakan penekanan utama dalam proses pembangunan di Yogya. Wilayah Yogyakarta kian hari kian tergerus laju pembangunan yang berpaling pada modernitas versi orang-orang kota. Pembangunan empat buah pusat perbelanjaan, Sejumlah hipermarket, seperti Indogrosir, Alfa, dan Makro , Kafe, Lounge dan Diskotek mengepung kota. Ditambah dengan rencana megaproyek parkir bawah tanah, pelebaran setiap jalan raya, transportasi yang terpadu dan kebijakan Road Pricing menjadikan Yogya tak ubahnya seperti kota-kota di negara barat.
      Dengan mengedepankan pembangunan fisik disertai dengan perencanaan tata letak yang tidak terencana dengan baik karenahaya memikirkan investasi semata tentunya megakibatkan berbagai dampak pada social budaya masyarakat Yogya. Berikut akan diulas lebih jauh mengenai dampak-dampak tersebut.

1. Dampak Ekonomi
            Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadikan kota ini mengalami peningkatan dalam pendapatan riil. Tetapi Investasi dari luar untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi local yang menjadi watak pembangunan di Yogyakarta, seakan melupakan pemerataan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang menjadi ciri perekonomian DIY. Hal ini dapat menyulitkan UKM karena tidak mampu bersaing dengan mereka, kalah modal dan jaringan pemasaran. Sehinga ironisnya entra-sentra UKM seperti Kasongan, Pundong, Minggir dan Kota Gede semakin tepinggirkan. Akibat lebih jauh adalah Yogya hanya akan dikuasai oleh pengusaha dengan modal besar dan akan mematikan usaha tradisional. Selain hal tersebut, upaya komersialisasi juga akan tercipta di Yogya yaitu dengan rencana Road Pricing, memperkecil akses jalan untuk pejalan kaki, karena pelebaran jalan dilakukan untuk menyediakan ruang lebih bagi kendaraan bermotor. 
2. Dampak Sosial
            Pembangunan kafe, diskotek dan hiburan malam lainnya mengakibatkan perubahan pada masyarakat Yogya khususnya generasi muda. Model pakaian minim dan sexy anak-anak muda selalu menghiasi sudut kota diwaktu malam. Acara Reve party, dengan gaya hedonis, kebarat-baratan, makin marak. Westernisasipun merambah Yogya. Westernisasi sendiri mempunyai pengertian yaitu menyangkut pola kebudyaan dan cara hidup yang sama seperti yang dimiliki oleh negara-negara barat. Hedonisme yang menitikberatkan pada kehidupan bermewah-mewah menjadi ciri baru di lingkungan anak muda Yogya. Hiburan malam ala kota metropolitan itu pun berdampak pada makin dekatnya dengan kriminalitas. Seperti kita ketahui penyalahgunaan obat sering kali dilakukan di tempat-tempat hiburan malam. Yang lebih parah adalah jumlah protistusi yang semakin meningkat. Tentunya sudah menjadi rahasia umum jika Yogyakarta mempunyai jaringan protistusi yang marak. Dan belakangan ini, beberapa penilitian menunjukkan bahwa angka aborsi di Yogya merupakan sangat tinggi.
3. Dampak Budaya
             Pembangunan-pembangunan tersebut juga mengancam nilai budaya dan tradisi Yogya yaitu yang dikhawatirkan merusak Keraton sebagai kawasan cagar budaya. Sejumlah seniman budaya getol menentang pendirian mal-mal karena ruang publik masyarakat semakin terdesak. Namun, laju pembangunan mall di Yogyakarta tersebut seakan tak terbendung. “Malisasi” itu menyerap uang masyarakat dan menyebabkan gaya hidup konsumerisme, menghilangkan karakter budaya masyarakat Yogyakarta yang sederhana. Masyarakat kini lebih bangga belanja di mall dan hipermarket, seperti hasil penelitian Bank Indonesia yang menyebutkan hanya 2 persen masyarakat perkotaan yang masih suka berbelanja di pasar tradisional. Label kota budaya semakin kehilangan roh karena ikon seni budaya semakin lekang dimakan roda zaman. Kini nyaris tidak ada lagi sisi tradisional bumi Mataram yang dulunya merupakan pusat peradaban Jawa Islam. Seni budaya klasik seperti tari, pendalangan dan ketoprak hanya sesekali waktu mejadi hiburan di acara formal. Semangat berkesenian masih bertahan dalam konteks seni rakyat di piggiran seperti jathilan, srunthul, ketoprak kampung, dan merti desa.
Dan kelompok Seniman adalah manusia yang paling kebingungan di kota budaya itu. Setidaknya, sebagian besar seniman merasa ruang publik Yogyakarta tidak lagi kondusif untuk berekspresi karena semua sudut kota sudah diokupasi oleh lapak-lapak tenda pedagang kaki lima, parkir, mall, dan pertokoan. Malioboro, sebagai jantung kota dengan atraksi seninya sudah tidak kelihatan lagi. Seniman jalanan sebagai ciri khas Yogyakarta makin terpinggirkan. Anak muda perkotaan cenderung tetarik dengan berdugem ria di kafe daripada menikmati seni tradisi di kantong budaya yang memang tidak menyajikan kegemerlapan.
Yogyakarta yang dulu dikenal dengan nilai-nilai kesederhanaan, tradisional dan santai, kini sudah berubah menjadi kota dengan hiruk-pikuk manusia dalam irama hidup cepat dalam satu dekade terakhir. Yogyakarta pun menjadi kota yang tidak rileks dan nyaman. Filsuf dan Sejarawan Pura Pakualam, Rama Drs Tamdaru Cokrowerdoyo menganalisis perubahan Yogyakarta itu sebagai bentuk transformasi kebudayaan yang kehilangan Roh budaya local. Sehingga masyarakat Yogyakarta terancam tecabut dari akarnya. Kepentingan ekonomi berkuasa, arogansi manusia menggejala, para pejabat tak punya jiwa sederhana dan lebih mengunggulkan rasio dibanding rasa.
4. Dampak Lingkungan
Dampak lain yang dapat kita lihat adalah timbulnya kemacetan dibeberapa titik yang semakin parah seperti disepanjang jalan kaliurang, sepanjang jalan Saphir Square. Meningkatnya jumlah kendaraan motor juga semakin memicu kemacetan di Yogyakarta serta tentunya berdampak langsung pada tingkat pencemaran udara. Hasil pemantauan Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan (KPDL) kota Yogyakarta terhadap kualitas udara di 11 titik wilayah kota, Mei 2005 menunjukkan kadar hidrokarbon (HC) melebihi batas normal. Sedangkan penelitian Badan Pengendalian  Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) DIY di 15 titik juga menunjukkan kadar timbal (pb) melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah provinsi DIY.

Tentunya hal tersebut hanyalah sekelumit cerita mengenai perubahan yang terjadi di Yogyakarta. Sehingga perlu ditilik kembali kosep pembangunan yang terbaik untuk kota Yogyakarta agar tetap lestaru. Seperti sebuah visi pembangunan yang futuristic menatap masa depan yang telah terwujud jauh sebelum lahirnya Deklarasi Rio tahun 1992 tentang pembangunan yang bekelanjutan dalam Konferensi Bumi yang diselenggarakan di Rio De Janeiro Brazil setidaknya menjadi hal yang perlu dipertimbangkan.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar