Sabtu, 13 Agustus 2011

Subhanallah, Allah menjawab doa-doa kita

“Ayo mba’, kapan lo kesini? Nanti gw ajak keliling Majene sama Mamuju”, kalimat itu belakangan sering kali diucapkan oleh Sakti. Rindu setengah mati sepertinya dia dengan saya. Padahal dulu, kami merupakan competitor sejati. Sebenarnya bukan keberadaan fisik saya yang benar-benar diharapkan olehnya. Tetapi bantuan untuk perlengkapan sekolah siswa dan peralatan olahraga SD 19 Limboro serta perlengkapan untuk TK yang ia dirikan. 

Seiring dengan berjalannya waktu, kami tentunya tidak bisa mengandalkan hanya dari kantong kami untuk biaya operasional kegiatan TK, terlebih Sakti harus selalu menghadapi anak-anak hebatnya di Sekolah Dasar, belajar dengan segala keterbatasan. Miris sekali. Kami pun berkolaborasi membuat proposal yang ditujukan ke kantor saya.
“Sak, gw coba buat memonya, terus gw ajuin ya ke direksi, doain, mudah-mudahan bisa tembus. Uang sebesar ini akan amat sangat berarti buat mereka” kami pun kembali berjuang. Mudah-mudahan Allah mempermudah semuanya. Saya sepertinya sudah tertular virus jatuh cinta kepada Desa Limboro.

Disini, saya juga ingin menularkan virus cinta tersebut untuk kalian dengan narasi sebagai berikut:
Desa Limboro, sebuah desa terpencil di sebuah pegunungan di Sulawesi Barat yang mempunyai sebuah sekolah dasar, SD N 19 Limboro. Untuk menjangkau sekolah ini tidaklah mudah. Dari kota Majene, perlu menempuh jarak 50 km atau kira-kira 2 jam untuk sampai ke sekolah ini. Medan yang dilalui pun tidak mudah. Tanjakan-tanjakan yang terjal dan jalan yang rusak akan dilewati untuk sampai ke sekolah ini. Hanya kendaraan-kendaraan tertentu yang bisa menjangkau daerah ini.
 SDN 19 Limboro, mempunyai 126 orang murid. Sekolah yang berdiri di kelilingi gunung-gunung yang menjulang tinggi ini mempunyai murid-murid yang berlatar belakang dari keluarga yang sangat sederhana. Mata pencaharian masyarakat Desa Limboro memang sebagian besar adalah berkebun. Kebun yang mendominasi daerah ini adalah perkebunan kemiri dan cokelat. Sebagai petani kebun, penghasilan mereka sangatlah rendah. Pendapatan mereka pun juga tidak menentu. Tidak pernah lebih dari Rp. 200.000 penghasilan mereka perbulan.
Keterbatasan ekonomi bahkan memaksa para siswa untuk bekerja ketika hari libur. Bahkan beberapa siswa disuruh untuk menjaga adik ketika ayah dan ibunya pergi ke  kebun. Otomatis, adiknya tersebut dibawanya ketika kegiatan belajar mengajar di kelas. Jangan bayangkan tentang fasilitas mewah yang mereka miliki, baju seragam saja sebagian besar siswa hanya mempunyai satu seragam merah putih. Seragam tersebut pun tidak lagi bersih dan rapi. Robek dan tidak ada kancing merupakan hal biasa yang akan ditemui di baju-baju seragam mereka. Sepatu pun mereka juga hanya mempunyai satu pasang. Bahkan, beberapa anak tidak mempunyai sepatu. Jadi, ketika hari hujan dan sepatu mereka basah, umumnya mereka memakai sandal.
Jangan bayangkan seperti anak-anak kota yang memikul tas sekolahnya. Buku tulis mereka saja sangat terbatas, apalagi tas sekolah. Banyak anak yang hanya menenteng buku-buku tulis mereka sampai rumah. Alat-alat tulis yang mereka miliki pun hanya satu buah pulpen.   Keterbatasan ekonomi ini membuat sebagian siswa SD N 19 Limboro berjualan, seperti menjual bakwan, roti, dan es. Setiap sore hari atau hari libur, mereka harus pergi ke kebun untuk memungut kemiri untuk menambah penghasilan.  Di tengah keterbatasan fasilitas yang mereka punya, sebenarnya mereka adalah anak-anak yang begitu bersemangat untuk belajar. Bakat kesenian dan olahraga para siswa SD N 19 Limboro juga tidak bisa diremehkan. Dalam bidang kesenian, siswa SD N 19 Limboro berbakat dalam memainkan rebana, tambolang, suling, dan gendang. Bahkan SD ini pernah menjadi juara dalam lomba rebana tingkat kecamatan. Namun saying, peralatan kesenian mereka sangat sedikit. Rebana mereka pun sudah mulai rusak.
Dalam lomba porseni, sekolah ini juga menang juara kedua dalam karaoke bahasa Mandar. Dalam bidang olahraga, sekolah ini juga tidak kalah berprestasi. Dalam lomba porseni tahun 2011, SD N 19 Limboro memenangkan lomba sepak bola juara ketiga. Dalam lomba lari estafet, sekolah ini dapat merebut juara pertama.
Melihat prestasi-prestasi yang telah didapat sekolah ini, tidak diragukan lagi kemampuan mereka. Namun sama seperti nasib pada bidang kesenian, sarana olahraga mereka juga tidak memadai. Bola kaki yang hanya ada satu dan sudah mulai rusak.  Jangankan matras untuk latihan senam lantai, bola voli dan bola basket pun mereka tidak punya. Padahal bakat mereka cukup menjanjikan. Oleh karena itu perlu adanya pengadaan sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang kemampuan mereka karena dana BOS tidak mencukupi ini semua.
Itu hanya melihat dari satu masalah, ketika didalami lebih jauh akan ditemukan sebuah rantai masalah lainnya yang membelenggu mereka dan sulit untuk keluar dari kemiskinan. Saya akan menceritakan rangkaian masalah tersebut di tulisan berikutnya.

Kamis, 17 Juni 2011.
Menjelang buka puasa. Memo yang saya buat disetujui. Ada uang sejumlah Rp. 50.000.000 yang terbagi menjadi 2 program, program pemberian perlengkapan sekolah untuk SD N 19 Limboro dan program pemberian perlengkapan sekolah untuk TK. Mereka akan memiliki seragam baru, semua peralatan sekolah yang lengkap dan baru, sekolahnya akan punya peralatan olahraga yang banyak dan lengkap, mereka akan bisa bermain basket, bulutangkis, bolakaki, volley, takraw dan mereka pun bisa selalu ikut setiap perlombaan porseni dengan peralatan musik yang baru. Untuk anak-anak balita yang hebat, mereka akan punya banyak sekali peralatan permainan, perosotan, ayunan, jungkat jungkit, buku cerita. Dan akan ada sebuah perpustakaan masyarakat di desa itu. Perpustakaan untuk anak-anak disana, mengisi hari-harinya yang dilalui tanpa listrik dan TV. 

Dan kalian tau, tidak ada hal yang lebih indah dan membahagiakan saya saat itu. Hati ini sesak sekali, sesak dengan penuh kebahagiaan. Membayangkan senyum mereka. Membayangkan betapa semaraknya kampung mereka nanti. Ramai. Saya pun langsung mendial nomer telepon adik saya. Di luar service area, kata operatornya. Lupa kalau memang sangat sulit menghubungi dia. Saya, hanya bisa bertelepati, mengatakan, “Sakti doa kita didengar, memonya disetujui, gw akan menyusul lo segera, pergilah ke kota secepatnya, cari sinyal, kita berbincang-bincang”

-17 Juni 2011-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar