Sabtu, 13 Agustus 2011

One day, gw pasti nyusul lo

Cerita ini berawal dari betapa saya sangat merindukan sang adik. Adik satu-satunya yang memilih menjauh dari kehidupan hedon Jakarta yang penuh dengan gemerlap. Sakti, adik saya, memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar di desa terpencil di ujung Sulawesi Barat, Desa Limboro, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene. 

Dia memutuskan untuk bergabung dengan gerakan Indonesia Mengajar, tanpa takut dan ragu sedikitpun. Tekadnya kuat, kuat sekali. Dia siap meninggalkan saya dan Ibu untuk jangka waktu yang cukup lama. Pergi ke tempat yang belum pernah ia kunjungi atau bahkan bermimpi pun tidak. Tempat yang bisa dibilang sangat jauh dari hiruk pikuk , hidup dengan segala keterbatasan, Desa tanpa listrik, sinyal telepon serta dipenuhi dengan masyarakat yang bersahaja dan melebur dengan alam.

Di hari keberangkatan dia menuju Desa Limboro, kami hanya bisa melepaskannya melalui doa, tidak  mengantarnya ke Desa tersebut, atau ke Makasar, bahkan bandara Soetta pun tidak. Sakti pergi tepat di hari pahlawan, 10 November 2010. Ia bersama 51 pengajar muda lainnya pergi ke ujung-ujung Indonesia untuk ikut melunasi janji proklamasi, mencerdaskan kehidupan bangsa. Hari itu, saya pun melihat keikhlasan tingkat tinggi dari seorang Ibu. Ibu, yang melahirkan kami, Ia hanya berujar “kedua putriku bukan hanya untuk milikku sendiri, tetapi ia juga milik Ibu pertiwi yang mempunyai amanat untuk turut serta melunasi janji-janji proklamasi”

Keikhlasan tingkat tinggi, dimana beliau harus siap untuk tidak melihat anak bungsunya, hanya bisa mendengar suaranya, itu pun hanya sebulan sekali, selebihnya, hanya bisa berkomunikasi lewat doa dan telepati. Semakin berat untuk saya, karena Sakti yang selama ini menjaga Ibu, mengingat ritme hidup saya yang jarang di rumah, anak jalanan, kata ibu saya. Tetapi ternyata tidak, Ibu ikhlas, ikhlas sekali. Ia bersedia hidup sendiri di rumah, bersedia untuk ditinggal kedua putrinya.

Berbekal atlas usang yang saya miliki ketika SMA, Ibu terus melihat peta. Membayangkan putrinya pergi dari Jakarta ke Makasar, lalu harus melalui jalur darat 8-9 jam menuju Majene dan harus menaiki ojek atau hardtop selama 50 menit menuju Desa Limboro. Hanya itu yang bisa beliau lakukan. Ibu sederhana dengan cinta yang tak pernah habis. Selebihnya beliau hanya bisa berdoa. Bercerita kepada sang pemilik atau terkadang ke makam bapak, berbagi cerita dengan sang belahan jiwanya. Saya, hanya bisa menghiburnya dengan terus mengkoleksi artikel-artikel mengenai Indonesia Mengajar, bacaan favorit Ibu untuk mengobati rasa rindu kepada putrinya.

Tidak terasa Sakti sudah hampir 4 bulan disana. Tidak seberat yang dibayangkan. Kami bertiga dapat menjalani semuanya. Sakti di desa terpencil, saya di gedung mewah di tengah kemegahan Jakarta, Ibu saya di rumah, sendiri. Awal bulan, menjadi waktu-waktu yang paling di tunggu oleh kami. Karena Sakti pasti pergi ke kota, ada sinyal disana. Dan kami pun menikmati  dengan antusias, menit demi menit, mendengar cerita-ceritanya, cerita kalau dia memiliki keluarga baru di sana, termasuk bapak baru, sosok yang ia rindukan pasca meninggalnya bapak, anak-anak hebat yang selalu memenuhi hari-harinya, masyarakat dengan segala kekayaan adat istiadatnya, dan beberapa cerita yang disensor karena tidak ingin Ibu khawatir. Cerita sensor yang hanya menjadi cerita untuk saya dan adik saya, yang ternyata hidup di desa terpencil itu cukup berat apalagi untuk seorang pendatang, menghadapi konflik di masyarakat, konflik budaya, merasa asing sendiri karena tak banyak dari masyarakat yang bisa berbahasa Indonesia, dan betapa melankolisnya dia ketika terserang sakit disana. Hanya cerita yang menyenangkan saja yang kami share ke Ibu.

Menyerah, tidak sama sekali. Sakti justru sangat enjoy disana. Menikmati sekali semua perannya. Anak-anak hebat itu telah membuatnya jatuh cinta. Masyarakat disana telah memenuhi pikiran Sakti untuk terus berbuat yang terbaik. Empati yang tinggi membuatnya sering kali merelakan gajinya untuk mereka. Termasuk ketika Ia melihat anak-anak muridnya yang datang ke sekolah dengan seragam yang dapat dikatakan sudah tidak layak, ada robek-robek di pinggiran kerah dan lengannya, tanpa kancing yang lengkap dan resleting, tanpa sepatu atau kadang alaskaki dan hanya menenteng 2 buah buku di tangannya, buku bahasa dan buku matematika.

Sakti juga pernah menceritakan kalau Ia sempat menguras tabungannya untuk membelikan seragam, sepatu lengkap dengan peralatan tulis untuk anak-anaknya, ketika anak-anak hebat itu mengikuti perlombaan dan olimpiade di kota. Membayangkannya, saya seperti terbang ke cerita sang pemimpi, yang selama ini hanya bisa saya baca novelnya dan tonton filmnya. Tapi ternyata real. Sangat real.

Bulan ke lima, Sakti kembali menelepon. “Mba’, gw bikin TK buat anak-anak disini. Kasihan mereka, jumlah balita banyak banget tapi tidak ada satu pun aktivitas yang mendidik untuk mereka, nanti bantuin gw cariin duit ya”. Ya itulah Sakti, dengan modal gajinya, Ia mendirikan TK, menumpang bangunan Sekolah Dasar, membeli beberapa buku kurikulum dan peralatan edukatif seadanya.
Setiap rangakaian kata yang Sakti ceritakan, semakin membuat saya bangga kepadanya dan menekadkan diri untuk menyusulnya kelak. Dengan apapun caranya. Karena saya yakin Allah pasti selalu memberi jalan untuk setiap niat baik. Saya juga ingin berbuat banyak untuk masyarakat disana. Tidak hanya mendengar cerita-ceritanya saja.

Sakti, one day gw pasti akan nyusul lo kesana!

-Maret 2011-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar