Sabtu, 13 Agustus 2011

Untuk Limboro

Allah maha baik, setelah sebelumnya saya hanya dapat mendengar cerita dari Sakti, Allah mengizinkan saya untuk menyusulnya kesana. Tidak hanya sekedar menyusul tetapi juga membawa hati dan cinta untuk mereka. Tanggal 5-10 Juli saya akan berangkat ke Limboro, sendiri. Menjalankan 2 program bantuan, menemui adik dan menikmati waktu bersamanya disana.

Beberapa hari sebelum keberangkatan saya berkomunikasi secara aktif dengan Sakti, menanyakan apakah ada hal lain yang bisa dibantu untuk mereka. Karena jika iya, saya akan menodong sahabat-sahabat saya disini. Dan hasilnya adalah, saya menuliskan notes seperti dibawah ini yang saya kirimkan ke sahabat-sahabat terbaik saya: 

Suara azan telah berkumandang di senja cerah itu, di hari-hari awal adik saya menginjakkan kaki di tempat yang tidak pernah dia kunjungi sebelumnya. Di sebuah desa terpencil di pelosok Majene, Sulawesi Barat. Desa yang berada tepat di tengah-tengah pegunungan. Dia pun beranjak menuju ke tempat suara azan yang telah memanggil tersebut. Jaraknya tidak jauh dari tempat dia tinggal di desa ini. Tempat tinggal dimana dia, mendapatkan keluarga baru, termasuk bapak baru.
Sakti begitu kaget ketika pertama kali dia menginjakkan kaki di gerbang pintu masjid. Masjid tersebut tampat tidak seperti masjid. Dia pikir, bangunan tua itu adalah rumah tua yang sudah lama tidak dihuni. Kondisi bangunannya sangat buruk. Beberapa pagar depan sudah rubuh. Catnya sudah tidak kelihatan lagi karena luntur terkikis air hujan. Kayu-kayunya pun sudah lapuk termakan rayap.
Ketika dia mulai memasuki masjid, dia baru yakin bahwa itu memang mesjid karena ada tempat mimbar di depan. Masjid itu terlihat gelap. Hanya ada satu lampu kecil di dekat mimbar. Dan memang Desa itu belum masuk listrik. Jadi, listrik yang dipakai adalah dari tenaga air yang hanya hidup dari jam 6 sampai jam 10 malam. Kadang kurang dari jam jatah jam tersebut. Tentunya juga dengan daya yang sangat terbatas. Jadi wajar saja jika mesjid itu hanya diterangi oleh sedikit sekali cahaya.
Jangan bayangkan mesjid itu berkarpet indah seperti masjid di kota-kota. Keramik saja tidak ada. Jadi jika ingin shalat di masjid itu, kita harus menyapu sendiri dulu, kemudian baru menggelar sajadah yang kita bawa sendiri. Kondisi masjid yang kurang baik di sini bukanlah karena masyarakat di desa ini tidak peduli pada masjid. Desa ini termasuk desa yang miskin. Penghasilan mereka hanya didapat dari hasil berkebun. Mencari kopi, coklat atau menanam apa sajalah untuk makan.
Ditengah keadaan masjid tersebut ada lentera lain, yang menyala terus, tanpa padam. Mereka lah para pahlawan tanpa tanda jasa. Mengabdikan hidupnya untuk mendidik para penerus bangsa. Salah satu lentera itu bernama Pak Basir. Lebih lengkapnya, sahabat bisa membaca link blog adik saya di http://blog.indonesiamengajar.org/saktianahastuti/2010/12/09/keteladanan-di-tengah-keterbatasan/untuk mengenal lebih jauh tentang lentera bersahaja tersebut.
Tidak hanya Pak Basir, para pahlawan tanpa tanda jasa lainnya pun, sepertinya keterbatasan sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Dengan fasilitas yang terbatas dan akses yang juga sangat terbatas, mereka tetap setia mengajar di desa itu. Seperti yang diceritakan adik saya, ada salah satu guru perempuan di sekolah ini. Namanya Ibu Salwati. Ia merupakan guru olahraga di sekolah. Tempat tinggal Ibu Salwati sangat jauh dari sekolah. Ia tinggal di Pamboang yang jaraknya 45 km dari SD Limboro. Ia tidak di Limboro karena harus menjaga ibunya yang sakit. Oleh karena itu, ia harus bolak-balik Limboro—Pamboang.
 Jangan bayangkan jalan menuju SD 19 Limboro seperti jalan-jalan mulus dan datar di sekolah-sekolah Jakarta. Perlu keberanian dan kemampuan yang tinggi dalam berkendaraaan untuk sampai ke sekolah itu. Kondisi jalan yang rusak, berkelok-kelok, jurang-jurang di tepi jalan dan kemiringan jalan yang mencapai 45—60 derajat harus dilalui untuk menuju ke sekolah itu.
Di tengah keterbatasan akses tersebut, Ibu Salwati juga tidak menyerah. Setiap hari, ia berangkat mengajar dari Pamboang ke Limboro dengan menaiki sepeda motor. Perempuan yang memang perkasa. Begitulah kira-kirasebutan yang pantas untuknya. Jika melihat kondisi jalan, jelas terlihat ia menaruhkan nyawanya untuk sampai ke sekolah. Namun ia tidak pernah mengeluh. Ia tetap setia mengabdi menjadi guru di desa terpencil.
Sahabat-sahabat ku yang terbaik, tidak lama lagi kita memasuki bulan Ramadhan. Masjid tentunya menjadi tempat yang paling semarak selama 30 hari tersebut. Dan terlihat lebih semarak apabila kita ikut menyemaraki dari koin-koin yang ada di pundi-pundi kita untuk membeli karpet masjid. Hanya sebatas karpet masjid, mungkin terlihat ‘hanya’ bagi kita, tapi bagi mereka, tentu merupakan suatu hal yang ‘bukan hanya’.
Dan sahabat, tanpa bermaksud menghitung-hitung dengan Allah, sedikit yang sahabat berikan, akan menjadi Investasi besar untuk bekal kita di akhirat kelak. Bulan Ramadhan, seluruh masyarakat di Desa Limboro akan berbondong-bondong ke masjid itu, banyak, semarak, pahala berkali lipat. Sepertinya akan menjadi Investasi yang cukup besar untuk bekal kita kelak.
Dan sebagai sedikit balas jasa kita kepada para guru, saya mengetuk teman-teman untuk memberikan seragam kepada para lentera ilmu di Desa itu. Ya, ada 7 guru yang setelah berpuluh-puluh tahun mengabdikan dirinya tidak memiliki seragam batik korpri. Seragam yang seharusnya mereka pakai ketika ada upacara, seragam yang menjadikan mereka terlihat gagah dan berwibawa di depan para siswanya, seragam yang mengidentikan mereka bahwa mereka pahlawan, walau tanpa symbol, seragam yang bisa memecut semangatnya untuk terus menelurkan generasi hebat di negeri ini.
Sahabat, hanya karpet dan seragam korpri, itu saja. Estimasi biaya yang dibutuhkan:
-          Karpet: Rp. 60.000-250.000 per meter, dibutuhkan minimal 45 meter.
-          Seragam korpri:  Rp. 80.000 untuk bahan, dan Rp. 50.000 untuk ongkos jahit. Jadi butuh Rp. 130.000 untuk 1 guru.
Jika berkenan, sahabat bisa menitipkan sebagian rezekinya kepada saya. Hari Rabu dini hari, saya berangkat ke Majene. 2 jam 20 menit menggunakan pesawat udara ke makasar, lanjut dengan bis selama 8-9 jam menuju Majene dan naik motor selama 50 menit menuju Desa Limboro. Semoga sedikit yang kita berikan bisa menjadi keberkahan yang tiada henti untuk kita semua.

1 hari menjelang keberangkatan, sudah ada uang sebesar berjumlah Rp. 7.193.000. Jumlah yang bisa dibilang cukup besar sekali untuk mereka, dan menjadi amanah yang tidak kecil juga bagi saya untuk menyampaikan kepada mereka.  Dan sesuai dengan rencana, uang tersebut akan digunakan untuk membeli seragam korpri dan karpet masjid serta sedikit menambah untuk renovasi masjid. Semoga Allah membantu saya untuk memberikan amanah ini dengan sebaik-baiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar