Pada akhir dasa warsa 1950-an istilah ‘pembangunan’ sering dianggap sebagai suatu ‘obat’ terhadap berbagai macam masalah yang muncul dalam masyarakat, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Pembangunan sendiri memiliki pengertian berbagai bentuk, tergantung dari perspektif mana melihatnya. Banyak tokoh yang secara khusus memberikan pengertian terhadap istilah pembangunan. Secara umum, kita dapat mendefinisikan kata pembangunan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya, walaupun terkadang sering kali dikaitkan dengan kemajuan material yaitu sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi.
Pada era awal, pembahasan mengenai teori pembangunan, pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an adalah dengan dikemukakannya ‘Teori Pertumbuhan’ berasal dari pandangan kaum ekonom ortodoks yang melihat ‘pembangunan’ sebagai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya diasumsikan akan meningkatkan standar kehidupan dengan menggunakan GNP (Gross National Product) sebagai indicator keberhasilan pembangunan.(Isbandi Rukminto Adi, 2003: h.2). Dalam perkembangannya teori ini tidak berhasil memberikan jawaban mengenai hasil pembangunan. Selanjutnya, pada awal dasa warsa 1970, beberapa ekonom mengajukan pendekatan pertumbuhan dan pemerataan, seperti yang dikembangkan oleh Adelman dan Morris mengenai tiga tipe indicator yaitu, indicator-indikator social budaya, politik dan ekonomi serta pendapatnya yang kurang mempercayai akan adanya ‘efek kucuran ke bawah’ (trickle down effect). Sejalan dengan waktu, muncul banyak pendekatan mengenai pembangunan itu sendiri seperti paradigma ketergantungan, Tata Ekonomi Internasional Baru, Pendekatan Kebutuhan Pokok, hingga Pendekatan Kemandirian.
Indonesia sebagai suatu negara yang notabennya termasuk dalam negara berkembang identik dengan pelaksanaan pembangunan. Model pembangunan yang digunakan termassuk dalam model pembangunan negara dunia ketiga yag tediri dari 4 model yaitu; Model 1 yang menitik beratkan pada pertumbuhan GNP, Model 2 yang menitikberatkan pada pemerataan dan pemenuhan kebutuhan pokok, Model 3 dengan titik berat pada pembangunan dan kualitas Sumber Daya Manusia dan Model 4 yang menitikberatkan pada peningkatan daya saing dan kemitraan.
Bila kita menilik kembali perjalanan pola pembangunan Indonesia dari awal kemerdekaan hingga saat ini, mulai dari masa orde lama, orde baru dan masa reformasi terlihat proses pembangunan yang fluktuatif. Dimulai dari masa orde lama dengan berbagai program pembangunan seperti Panitia siasat pembangunan ekonomi, Rencana urgensi ekonomi, Rencana Djuanda dan Pembangunan nasional semesta bencana. Dilanjutkan dengan masa Orde baru yang mengacu kepada pandangan teori Rostow dan arsitektur ekonomi Orde baru sebagai ideology pembangunan serta Trilogi pembangunannya. Masa reformasi melalui kepemimpinan Habibie, Gus Dur, Megawati hingga saat ini pemerintahan SBY dengan kebijakannya mengenai Triple Track Strategy dalam pembangunan. Masa yang cukup panjang dan melelahkan itu hingga kini belum juga mewujudkan hasil pembangunan yang diidam-idamkan. Keadaan justru sebaliknya, Human Development Index (HDI) dan indicator kesejahteraan lainnya semakin menurun serta semakin jauh tertinggal dibanding dengan negara lainnya termasuk Malaysia yang dulu sering diidentikkan sebagai saudara muda Indonesia, dan Indonesia sebagai saudara tua dimana bangsa Malaysia banyak belajar. Sebagai perbandingan, dalam Human Development Report tahun 2005 Indonesia menempati 110 sedangkan Malaysia jauh diatas kita yaitu pada urutan 61. GNP Indonesia sebesar $ 970 sedangkan Malaysia sebesar $ 4,187. Persentase apopulasi berada di bawah garis kemiskinan ($2 sehari perkepala) Indonesia sebesar 52.4%, Malaysia sebesar 9.3%.
Sedikit Ilustrasi tersebut memperlihatkan kita secara sadar bahwa proses pembangunan yang sudah dilakukan selama ini dapat dikatakan belum berhasil. Dari sini, muncul pertanyaan besar apa yang salah dari negara kita, proses pembangunannya kah? Atau keadaan yang membuat kita seperti ini?. Sehingga perlu direnungkan kembali bagaimana bentuk pembangunan yang sebaiknya dilakukan bangsa ini dan dengan formasi kapital yang seperti apa. Tulisan ini akan menitikberatkan pada formasi kapital yang terbaik untuk pembangunan di Indonesia, mengingat bahwa kapital merupakan suatu unsure utama dalam melakukan pembangunan.
Kapital atau juga disebut sebagai modal atau asset merupakan sumber daya yang dimiliki baik perorangan ataupun dalam suatu negara untuk menjadi dasar pelaksanaan yang dalam hal ini, pembangunan. Suatu komunitas maupun suatu negara dalam perjalanan waktu telah mengembangkan suatu asset yang menjadi sumber daya bagi komunitas ataupun negara tersebut guna menghadapi perubahan yang terjadi selama ini. Dalam tulisan ini, akan disoroti enam modal yang diasumsikan terkait dengan kapital dalam pembangunan. Keenam model tersebut yaitu:
1. Modal Fisik (Physical Capital)
Modal fisik merupakan salah satu modal dasar yang terdapat dalam setiap masyarakat. Green dan Haines (2002: 113) melihat dua kelompok utama dalam modal fisik yaitu: bangunan (buildings) dan Infrastruktur (infrastructure). Bangunan yang dimaksud disini dapat berupa rumah, pertokoan, perkantoran, gedung perniagaan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur dapat berupa jalan raya, jembatan, jalan kereta api, sarana pembuangan limbah, sarana air bersih dan sebagainya.
2. Modal Finansial (Financial Capital)
Selain modal fisik, modal lain yang cukup banyak diperhitungkan dalam menentukan kesejahteraan suatu komunitas adalah modal keuangan yang dimiliki. Salah satu indicator yang menggambarkan modal keuangan masyarakat adalah sedikit banyaknya orang yang berada di bawah garis kemiskinan.
3. Modal lingkungan (Enviromental Capital)
Modal lingkungan dapat berupa potensi yang belum diolah dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, serta mempunyai nilai yang tinggi dalam upaya pelestarian alam dan juga kenyamanan hidup dari manusia dan makhluk hidup lainnya.
4. Modal Teknologi (Technological Capital)
Keberadaan teknologi tidaklah selalu berarti teknologi yang canggih dan kompleks seperti apa yang dikembangkan diberbagai negara yang sudah berkembang, yang melibatkan berbagai perangkat komputer serta mesin yang modern. Teknologi yang dimaksudkan disini tidak jarang lebih berarti suatu teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi masyarakat.
5. Modal Manusia (Human Capital)
Kekuatan masyarakat yang menjadi titik tolak berkembangnya suatu negara tidak dapat diragukan lagi terkait dengan unsure manusia yang menjadi modal dasar dalam pembangunan.
6. Modal Sosial (Social Capital)
Modal social adalah norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang berada didalamnya, dan mengatur perilaku warganya, juga unsure kepercayaan (trust) dan jaringan (networking) antar warga masyarakat ataupun kelompok masyarakat. (Isbandi Rukminto Adi, Aset Komunitas dalam Perencanaan Partisipatoris)
Ke enam model diatas dapat dijadikan dasar dalam melakukan pembangunan. Yang perlu ditekankan adalah tidak ada modal yang lebih penting ataupun lebih diutamakan antara satu dengan yang lain. Melainkan, Semuanya memiliki peran dan keuntungan masing-masing. Sehingga dalam pelaksanaannya butuh satu keseluruhan pengoptimalan program. Terkait dengan hal ini, kita tentunya sudah sangat familiar dengan modal fisik, finansial, lingkungan, teknologi maupun manusia. Telah banyak ahli membahas mengenai hal tersebut seperti sustainable development yang menitikberatkan perhatian pada modal lingkungan yaitu melihat bahwa pembangunan juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan sekitar agar pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannnya. Tetapi disayangkan, tidak cukup banyak yang membahas mengenai modal social, yang sebenarnya dapat menjadi mercusuar dalam proses pembangunan. Mengingat struktur social masyarakat kita yang sangat berpotensial dalam modal social ini.
Mengacu hal tersebut, maka berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai modal social yang diharapkan menjadi titik perhatian dalam melakukan pembangunan sehingga dapat menjadi formasi pijakan dalam melakukan pembangunan.
Dalam literature-literatur ilmu politik, social dan Antropologi, modal social umumnya merujuk pada serangkaian norma, jaringan dan organisasi, melalui keuntungan-keuntungan yang diperoleh masyarakat yang sebenarnya merupakan jalan masuk menuju kekuasaan dan berbagai sumber daya yang dijadikan sebagai alat untuk memungkinkan pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan. Modal social sendiri memiliki pengertian yang cukup beragam. Menurut Woolcock, secara umum modal social didefinisikan sebagai The information, trust and norms of reciprocity inhering in one’s social network-seemingly obvious opportunities for mutually beneficial collective action are squandered. (Michael Woolcock. Social Capital and Economic Development Toward a Theoretical Synthesis and Policy Framework. 1998.155). Francis Fukuyama mendefinisikan modal social sebagai kumpulan nilai dan norma informal yang disetujui oleh anggota suatu kelompok, sehingga memungkinkan terwujudnya kerjasama antara mereka, kemudian dalam kumpulan norma dan nilai itu harus ada factor saling percaya yang tumbuh karena adanya kejujuran dan sikap saling memberi. Kerjasama itu membentuk suatu organisasi dimana para anggotanya secara sukarela menyerahkan sebagian hak-hak individunya untuk bekerja bersama-sama mencapai tujuan, berdasarkan aturan-aturan yang disepakati. Kesepakatan tersebut menyebabkan setiap orang akan melaksanakan kewajibannya masing-masing secara bebas tanpa perlu diawasi karena satu sama lain menaruh kepercayaan bahwa setiap orang akan melaksanakan kewajibannya. Itulah yang disebut saling percaya (mutual trust) (M. Dawan Rahardjo, Masyarakat Madani, 2003 )
Dengan demikian maka bentuk inti dari modal social adalah kerja sama (cooperation) dan kepercayaan (trust), kepercayaan sebagai fondasi modal social terbentuk dari hasil ikatan civility yaitu ikatan hubungan yang menghormati kebebasan, persamaan dan toleransi. Dengan dikembangkannya elemen kepercayaan akan mendorong kerja sama antar anggota untuk mencapai tujuan bersama di bidang ekonomi, social, politik, dimana dengan memiliki modal social akan mempermudah anggota untuk memperoleh informasi. (Rochman Achwan. Modal Sosial, Paradigma Indonesia Baru, Kompas 8 Juni 2004). Tambahan pula, menurut Robert Putnam, modal social mengacu pada gabungan dari nilai-nilai (values) dari setiap jaringan social dan kcenderungan untuk saling membantu (norms of reciprocity) yang muncul karena jaringan tersebut. Jaringan diantara kesatuan masyarakat seperti asosiasi ketetanggaan, klub organisasi dan perkumpulan adalah sebuah bentuk dasar dari modal social dan semakin kuatnya jaringan tersebut akan mendorong anggota komunitas tesebut untuk bekerjasama guna keuntungan dan kepentingan bersama.
Dari beberapa pengertian diatas terlihat bahwa modal social dapat dijadikan dasar asset dari pembangunan. Modal social merupakan fasilitator penting bagi pembangunan. Modal social yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan social dimasa lalu dipandang sebagai factor yang dapat meningkatkan dan jika digunakan secara tepat mampu memperkuat efektifitas pembangunan, disamping desentralisasi, pembangunan berbasis masyarakat dan masayarakat madani. Pilar modal social, menurut Paldam (2000) adalah kepercayaan (trust), eksistensi jaringan (network), dan kemudahan bekerjasama (ease of cooperation). Kepercayaan untuk bekerjasama merupakan modal social yang penting artinya dalam proses pembangunan. Disamping modal fisik seperti uang dan sumber daya alam. Tanpa modal social berupa kepercayaan untuk bekerjasama modal fisik sebesar apapun tidak akan berarti apa-apa. Negara-negara yang miskin sumber daya alam, tetapi memiliki sumber daya manusia yang dapat bersatu, bekerja satu sama lain atasdasar saling percaya dapat tumbuh menjadi negara maju. Dengan bekerjasama, akumulasi pengetahuan dan modal dapat terus ditingkatkan untuk kepentingan bersama.
Grootaert dan basteler (2002) mengungkapkan ada tiga manfaat modal social yaitu partisipasi individu dan jaringan kerja social akan meningkatkan ketersediaan informasi dengan biaya rendah, Partisipasi dan jaringan kerja local dan sikap saling percaya akan membuat kelompok lebih mudah untuk mencapai keputusan bersama dan mengimplementasikan dalam kegiatan bersama, dan Memperbaiki jaringan kerja dan sikp mengurangi perilaku tidak baik dari anggota. Yaitu modal social dengan nilai inti civic engagement yang mengandung tujuh derivasi nilai yang sangat esensial yaitu empathy, reciprocity, generosity, moral obligation, social solidarity, public trust, and public spirit.
Untuk menjadi bahan perbandingan, dalam kenyataannya modal social seperti mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Modal social di Indonesia tak jarang berkembang dalam sisi gelap, seperti dominasi praktek kolusi-nepotisme dan berbagai praktek mafia. Konflik bernuansa agama di Ambon da Maluku menunjukkan bagaimana modal social yang terlalu kuat yang dimiliki oleh masing-masing kelompok masyaakat yang berkonflik bukan menciptakan kekuatan-kekuatan yang bisa dijadikan modal social dalam proses negosiasi, melainkan justru memberikan alasan politis sebagai kekuatan domain dalam relasinya dengan komunitas yang lain. Munculnya rasa tersatukan dan kerjasama diantara mereka pasti karena ada factor trust di lingkungan internal kelompoknya. Yang menjadi problem adalah justru radius atau jarak dari rasa percaya (radius of truth) tersebut hanya sebatas pada kelompoknya masing-masing sehingga kemungkinan kooperasi bukan kontradiksi menjadi hilang karenanya. Ikatan kepercayaan antara sesama anggota yang terlalu kuat mencegah lahirnya kepercayaan kepada lingkungan diluar kelompok.
Terkait dengan isu utama dalam tulisan ini, yaitu bagaimana formasi kapital yang terbaik untuk pembangunan di Indonesia yaitu saya melihat bahwa keenam modal tersebut harus dijadikan dasar modal dalam kegiatan, dengan dukungan hanya salah satu modal saja sepertinya tidak akan membuat perubahan yang berarti. Kita sudah cukup banyak pengalaman tatkala pembangunan hanya berorientasi pada satu modal saja katakanlah modal fisik atau modal lingkungan saja. Serta memunafikkan modal finansial, yang mau tidak mau juga berperan penting dalam pembangunan. Sehingga, dibutuhkan kerjasama dari seluruh kapital dengan formasi masing-masing layaknya formasi pemain di pertandingan sepak bola, dimana tiap-tiapnya memiliki peran yang sama besarnya untuk satu tujuan yaitu gol kemenangan, sama halnya dengan pembangunan. Dengan modal manusia, seperti kita tahu Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, hanya saja yang menjadi penekanan bukan segi kuantitas saja melainkan segi kualitas. Lingkungan yang subur, seperti yang dielu-elukan banyak leluhur “gemah rimpah loh jinawi” dan dapat dioptimalkan dengan dukungan modal teknologi. Tetapi yang perlu ditekankan adalah kelima modal tersebut harus disokong dengan modal social sebagai mercusuar yang notabennya masyarakat Indonesia memiliki ikatan social yang kuat antar anggotanya, tentunya modal social yang menganut nilai positif.. Hal ini tentunya membutuhkan usaha yang kuat dan kerja sama dari segala pihak sehingga, setidaknya kita dapat mensejajarkan diri dengan negara Jiran, dan terbangun dari mimpi dan buaian masa lalu mengingat keadaannya kini Malaysia yang sudah begitu jauh mengungguli kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar