Senin, 27 Februari 2012

Dear Universe, We are in love

Allah memiliki cara tersendiri untuk mempertemukan kami dengan cara yang amat unik. Semua serba tiba-tiba, serba mengalir dan serba dimudahkan. Berjalan layaknya air sungai, terus mengalir ke muara, nyaris tanpa hambatan, setidaknya sampai saat ini. Hadiah dari Allah untuk kami. Ya, kami lebih memilih berfikir bahwa saat ini Allah menghadiahi kami satu sama lain. Hingga kini, kami pun dibuat terkagum-kagum dengan scenario Allah yang membuat kami sejauh ini. Entah apa dan kenapa, rasanya kami memilih untuk tidak perlu dicari tahu, hanya patut disyukuri. 
  
Seperti petikan disalah satu surat yang ia kirim “Kita semua ingin satu sama lain. Kita semua ingin pengakuan berubah jadi komitmen. Kita semua ingin komitmen menjadi surga” Semoga Allah menjaga niat tulus kami.

This is The Last Shoot

Mmmm jika boleh diprediksi, mungkin cerita ini sudah berada di hampir bagian akhir cerita saya dealing with endometriosis. Tanggal 21 Februari kemarin, saya suntik Tapros yang ketiga. Suntik yang terakhir. Dan berharap menjadi akhir rangkaian dari perjuangan saya bersama endometriosis. 

Berbeda dengan suntik tapros pertama dan kedua serta rangkaian melelahkan yang saya jalankan mulai dari Oktober 2011. Kali ini, entah kenapa saya antusias dan merasa senang datang ke RS Ibu dan Anak. Ada seorang pria yang dengan begitu perhatian dan melimpahkan rasa sayang yang meluap-luap menemani saya menjalani tahapan akhir pengobatan ini. Dengan santai kami masuk ke RS YPK, duduk di tengah-tengah bersama yang lain, berbagi cerita dan ya Pria itu ikut masuk bersama saya ke ruang dokter Wachyu. O iya, saya belum mau menceritakan siapa dan bagaimana pria yang dikirimkan oleh Allah dengan cara yang tidak terduga sama sekali ini. Akan ada cerita khusus untuknya yang kelak mungkin akan meramaikan blog saya ini atau agar tidak membuat Bapak cemburu, kami bersepakat berencana membuat blog kami sendiri. Dan di blog itulah kami akan mengenalkan kalian satu sama lain.  

Kembali ke cerita semula, pukul 08:20, saya masuk ke ruang Dokter Wachyu, mengenalkan pria itu dan memulai konsultasi “Harni sayang, suntik yang terakhir yaa. Habis ini ada 3 obat yang harus diminum setiap hari selama 1 bulan. Nah 2 bulan setelah ini, haidnya baru normal kembali. Rangkaian pengobatan kita pun selesai”. “iya dok, seperti saran dokter, sudah ketemu niy pria yang mau menikahi saya”. “iya sayang, bagus, berarti April Haid, Mei nikah, Juni datang lagi untuk cek hamil ya” kami pun senyum-senyum. Saya kemudian kembali di suntik. Suntik terakhir. Dan mendengarkan saran-saran dokter Wachyu. Beliau memberi saya surat izin sakit selama 2 hari. Untuk istirahat. 2 kedepan akan kembali tidak menyamankan. Hanya tinggal 2 bulan kedepan. Ya, 2 bulan lagi Insya Allah perjuangan ini akan selesai.

Sebelum kami keluar ruangan, dokter Wachyu kembali menulis catatan rekam medis di buku saya, ada tulisan besar dengan garis bawah perwarna pink tertera “Segera Menikah!”
What a life!

Udin Petot

Apa yang terjadi di benak teman-teman jika saya mengutarakan pertanyaan “Bagaimana dengan wajah transportasi krl atau mungkin lebih dispesifikasi dengan commuter?”. Riweh, padet, sumpek, terkesan tidak manusiawi ketika di jam pergi dan pulang kantor, dan yang terjadi pasti sekelompok kata sejenis lainnya, bernuansa negative, yang akan keluar di benak kita. Mmm bukan menggerutu, tapi itulah faktanya.
Namun, ditulisan ini saya memilih untuk tidak membicarakan bagaimana busuknya transportasi massal kita, mengangan-angan dan membandingkan dengan transportasi di Hongkong misalnya atau cemooh dan sumpah serapah kepada para pemegang amanah. Saya lebih memilih untuk menceritakan si “Udin Petot”  ya Udin Petot. Tertapi sebelum cerita ke Udin petot, saya lebih memilih untuk menulis prolog berikut. 

System commuter yang baru mengharuskan saya untuk berjuang lebih mencapai kantor. Pukul 07:14 commuter berangkat dari stasiun Pondok Kopi  menuju Manggarai. Sampai di Manggarai, saya harus berganti kereta menuju Sudirman. Sekitar pukul 07:40-07:50. Kereta menuju Sudirman ini biasanya amat sangat padat. Butuh perjuangan untuk bisa masuk ke kereta ini. Saling mendorong, memadatkan diri, mengempeskan perut, diam, tidak bisa bergerak, berdiri secara normal pun bisa dibilang sulit. Untuk berpegangan? Tidak mungkin sepertinya. Cukup memercayakan orang-orang di sekeliling kita berdiri saja untuk menahan badan kita. Keintiman secara fisik benar-benar terjadi disini. Layaknya ikan teri pepes, menempel satu sama lain. Kurang dari 30 detik menuju stasiun Sudirman ada sesuatu yang menarik dan unik. Ya udin Petot. 

Dari ruang masinis, ada seseorang yang dengan nada ceria dan komedi berkata “teng tong teng tong teng tong teng tong, perhatian-perhatian, sebentar lagi kereta anda sampai di staisun Sudirman, bagi para penumpang yang akan turun di stasiun Sudirman harap menyiapkan diri, jangan lupa tas anda, koran anda, payung anda, laptop anda, kardus anda, kantong kresek anda, pastikan tidak tertinggal di kereta ini. Untuk para penumpang yang tidak turun beri kesempatan untuk yang turun terlebih dahulu. Ya, Pak Ujang, minggir sedikit pak, kardusnya Ibu Entin jangan dibawa Pak, punya Ibu Entin itu yang coklat, yang item punya Bu Kokom. Bu Jum geser Bu, terus aga kedepan, geser dikit lagi ya dikit lagi, ke kanan Bu, ya, bagus, ya cukup disitu Bu, tunggu ya Bu, nanti pintunya kebuka sendiri, ga usah dibuka.” Dan sesampai di stasiun Sudirman “ya, stasiun Sudirman, terima kasih dan Gutlaks, Udin Petot” 

Ya itulah si Udin Petot, ditengah kepadetan dan ketidaknyamanan, dia berusaha untuk menghibur. Setidaknya menurut saya. Setiap kali mendengar suaranya,  secara otomatis bibir saya tersenyum, melupakan kepadetan dan ketidaknyamanan yang saya alami.  Walau sering kali si Udin Petot berbicara ngawur, tapi ya itulah dia. Berusaha untuk menghibur dan berhasil menghibur. Setidaknya untuk saya. Siapapun anda di balik si Udin Petot, I appreciate it.

Semester baru, Dimulai!

Masih ingat ketika saya cukup terkaget-kaget dengan nilai D di transkip IPK saya? Nilai D satu-satunya disepanjang sejarah pendidikan saya. Ya, seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, selama kuliah saya tidak pernah sekalipun mendapat nilai D, C dan hanya ada beberapa nilai B disana. Allah rupanya meminta saya untuk terus berjuang. Tidak hanya meratapi kenapa nilai D itu ada di transkip saya. Ada 27 juta yang harus saya perjuangkan.

Berbekal semangat, saya mulai mengurai kemungkinan-kemungkinan untuk mengubah nilai tersebut. Karena saya yakin, saya berhak diberi nilai jauh lebih baik. Yang saya lakukan pertama adalah menghubungi akademik, berkali-kali. Menanyakan nilai D berhulu kemana. Pintu pertama mulai terkuak, saya mendapat nilai D untuk mid test. Ya, mid test Statistik susulan, 40 soal gaib, yang terpaksa harus saya jalani. Semua bermula dari mid test. Saya tidak mengikuti mid test karena rasa perfectionist saya dan merasa belum siap untuk ujian, 3 hari pasca operasi. Tapi ya sudahlah. 

Selanjutnya saya melakukan pendekatan dengan dosen Statistik. Saya yakin beliau pasti bijak mengenai kasus ini. 4 orang yang mengikuti susulan mid Statistik semuanya mendapat nilai D, pasti ada yang salah. Setelah melakukan komunikasi intens, Dosen saya akhirnya membawa kasus ini ke dewan pendidikan. Terlebih saya pun menulis surat langsung ke Ketua Magister Manajemen UGM, Jakarta. Di surat itu saya tuangkan kronologis nilai saya dan 4 alternatif solusi antara lain: saya meminta peninjauan nilai kembali, jika meang nilai tidak bisa berubah saya meminta mengulang kembali mata kuliah Statistik, mengulang di kelas reguler (Senin-Kamis malam), sambil tetap kuliah di kelas weekend (Jumat-Sabtu). Memilih mengulang dengan dosen yang sama, karena setidaknya Beliau tau kronologis dan latar belakang saya mengulang.

Setelah berkali-kali menghubungi akademik. Dosen Statistik saya, sms menanyakan apakah ada perubahan nilai? Karena kemarin beliau sempat meeting dan mengadu ke bagian akademik, kalau pada dasarnya beliau tidak pernah memberikan nilai D, dan meminta maaf untuk masalah soal midtest sama sekali tidak dikomunikasikan dari pihak akademik. Nilai saya diubah menjadi B-.  fiuh nyaris! Saya sempat menanyakan kemungkinan untuk perubahan nilai B- menjadi B bulat atau B plus. Tapi sepertinya sulit. Dan ya, keputusannya adalah saya tetap harus mengulang mata kuliah di semester ini. Pihak akademik mengabulkan semua hal yang saya ajukan di surat. Kurang dari 2 minggu, nama saya sudah menjadi headline di akademik. Ya seorang mahasiswi yang ngotot mengulang mata kuliah matrikulasi, satu-satunya kasus yang pernah terjadi selama MM UGM Jakarta berdiri, menurut mereka. Saat ini mungkin nama saya terkenal karena masalah nilai, tapi kelak atas izin Allah, saya kan terus berjuang nama saya terkenal sebagai mahasiswi cumlaude. 

Satu hal, semester ini pastinya akan lebih berat ada 5 mata kuliah yang harus dihadapi. Malam-malam panjang di depan netbook segera dimulai. Dan Allah menambah tingkat soal untuk saya, kuliah dengan beban sedikit lebih berat, bekerja dan status in relationship. Saya harus belajar bijak mengkombinasikan ketiganya. Jika lulus, sepertinya Allah akan memberikan soal tambahan lagi: kerja, kuliah dan status menjadi istri dan tak lama variable kembali berubah menjadi kerja, kuliah dan status menjadi ibu hamil. Wow, Allah benar-benar pembuat scenario terbaik. Yang dilakukan sekarang adalah menikmati kombinasi dari ketiga vaiabel tersebut dengan segala dinamikanya. Semoga Allah senantiasa memudahkan segalanya. Amin Ya Rabb

Life is Like a Roller Coaster

Beberapa minggu ini, saya kembali menyadari, mengakui, bahwa Allah Maha pembuat skenario terbaik. Allah sebaik-baiknya pembuat skenario hidup dari setiap ummatnya, termasuk saya. Skenario yang terkadang saya pun dibuat tercengang. Benar-benar diluar akal manusia, serba luar biasa. 

Masih teringat jelas ketika Oktober 2011 yang tenang, terusik dengan meninggalnya Mbah Kung dan tidak lama kemudian saya didiagnosa terkena endometriosis. Semua serba cepat, serba mengagetkan, serba yaah, serba diluar pikiran saya dan sempat membawa saya di titik nadir yang paling rendah. Su'uuzhon, merasa skenario yang Allah berikan kepada saya amat sangat buruk, dan ada keengganan tersendiri untuk melakukan apapun. Apatis. Menjalani hidup hanya sekedar untuk dijalani. 

Tetapi saya harus tetap bangkit, berjuang, hidup hanya sekali, hanya ada 1 kesempatan dan semuanya akan dipertanggungjawabkan. Menikmati setiap sakit. Melewati semua tahapan proses healing. Dengan ikhlas. Dan kalian tahu, saat ini Allah membawa saya naik ke atas. Dari titik nadir, dengan tangan lembutnya Allah membawa saya naik ke atas. Ada seorang pria hebat yang Allah kirimkan ke saya secara tiba-tiba, tanpa terduga, tidak sedikitpun terbesit dan ya dengan scenario Allah yang terindah. Indah sekali. Allah memberikan saya hadiah, hadiah terbaik.

Janji Allah memang pasti. Saya merasa malu sekali dengan Allah. Diakhir tahun berurai air mata, di awal tahun Allah memberikan tawa, banyak dan renyah sekali. Dia begitu sayang dengan saya. Ya, Allah sesuai dengan salah satu sifatnya Rahman, Rahiim, tidak mungkin menzholimi setiap makhluknya. Percaya. Semoga saya tetap berada di tanganNya yan tidak hanya datang kepadaNya ketika susah. Saya berusaha untuk terus bernyanyi untukNya, memuji segala keMaha sifatnya, dengan lagu yang berbeda-beda, suka, duka.
Dan entah kenapa saya menjadi semakin berani menghadapi tantangan-tantangan yang lebih besar kedepannya. Ada Allah.