Minggu, 02 Oktober 2011

Tidak seberapa dibanding mereka

Hari ini Sabtu, 1 Oktober 2011, saya benar-benar lelah, lelah yang teramat sangat, tumpukan tugas, buku-buku bacaan, belum lagi jurnal-jurnal ilmiah, kerjaan kantor, list to do yang terus menumpuk, hingga terkadang saya pun bingung harus memulainya dari mana. Dengan meminggul tas berisi buku catatan, agenda dan netbook di tangan kanan, dan 4 buah buku yang beratnya tidakkurang dari 8 kg di tangan kiri, sepulang kuliah saya menyempatkan diri bertemu dengan Santi. Santi, salah satu teman yang saya kenal ketika mengambil pelatihan akuntansi madya di FE UI setahun yang lalu. Bercerita dengannya meringankan beban, menginspirasikan dan menyalakan kembali api yang telah padam.

Kami berjanji untuk bertemu di Gramedia Matraman, tempat favorit saya, tempat dimana banyak sekali buku disana. Setelah sholat magrib, kami makan bubur di depan gramedia, bubur yang menjadi langganan saya sejak SMP dulu, ceritapun mulai mengalir. Latar belakang pendidikan Santi yang ekonomi dan seorang accounting membuat saya banyak belajar darinya. Selesai makan bubur, kami langsung menuju lantai 3, ada ratusan judul buku yang sedang diskon 70%. Saya, kalap. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini yang saya pilih semuanya adalah buku berbau bisnis, ekonomi, manajemen dan CSR. Dan ketika masuk ke deretan buku import, ada beberapa buku terbitan Mc Graw Hills yang juga turut di diskon 70%. Panic dan histeris. Buku-buku terbitan Mc Graw Hills merupakan buku yang selalu menjadi referensi di MM UGM, harganya paling murah 300 ribu per buku. Dengan diskon 70%, maka saya cukup membayar sepertiga dari harga normal buku-buku itu. Walaupun masih diatas 100 ribu, tapi ini worth it sekali. Santi lah yang memilihkan buku-buku itu untuk saya, mana yang saya perlukan mana yang tidak atau belum diperlukan. Jadilah saya menenteng pulang tambahan beban 12 kg berisi buku-buku. Ya, rezeki Allah maha luas. Saya membeli buku-buku tersebut dan memenuhi koleksi saya dengan harga murah.

Pukul 9 malam kami berpisah, dan saya pulang, naik mikrolet 01 menuju kampung melayu, lalu akan berganti kendaraan dengan menggunakan metromini 506 ke pondok kopi dan fiuh sepertinya saya akan melanjutkan dengan naik ojeg saja dari pondok kopi ke rumah. Terlalu berat barang-barang yang saya bawa.

Saya mengeluh, kenapa juga saya harus repot-repot membawa beban segini banyak, menghabiskan weekend dengan belajar, berpuasa senin-kamis selain untuk terus mendekatiNya juga sebagai strategi untuk memangkas pengeluaran demi membeli buku-buku, menutup mata untuk membeli barang-barang konsumtif atau hanya sekedar sedikit berhura-hura dengan berkaraoke atau ke bioskop, ya, padahal ini kan malam minggu. Belum lagi berepot-repot ria dan berletih-letih bangun dini hari. Lebih enak sepertinya kalau saya tidur, menghabiskan waktu bersenang-senang bersama teman-teman atau hanya sekedar bermalas-malasan ditempat tidur. Terlalu berat. Fiuh.

Sudah 10 menit, mikrolet yang saya naiki belum juga jalan, tapi entah mengapa saya tidak marah, justru saya berempati lebih kepada pak supir yang ada disebelah saya, dia masih menunggu penumpang, karena hanya saya lah penumpangnya. Akhirnya, mikrolet pun jalan, sepanjang jalan menuju kampung melayu, bapak supir itu tidak mendapat 1 pun penumpang tambahan. Saya seperti mencarter mikroletnya. Kasihan. Sampai di kampung melayu saya memberikan uang 5 ribu, 2 kali lipat dari ongkos biasanya dan dengan tentengan total hampir 25 kg di kiri dan kanan langsung mencari metromini 506 menuju pondok kopi. Tetapi saya mulai tidak mengeluh. Masih memikirkan bapak sopir itu. Berapa banyak uang yang bisa ia bawa pulang untuk memenuhi keluarganya? Apakah cukup untuk sekolah anak-anaknya. Aaaahh ternyata beban saya tidak seberapa dibanding bapak sopir itu.

Masih berkutat dengan pikiran ke Bapak sopir, saya dipaksa untuk melihat pandangan miris lain. Kenek metromini yang saya naiki masih anak kecil, di waktu yang sudah tidak lagi sore, dia masih harus mengukur jalanan, mencari penumpang, berteriak-teriak, kaki-kaki kecilnya naik turun metromini, lari mengatur jalan. Memang saat ini semakin banyak anak-anak yang harus turun ke jalan, menggadaikan masa kecilnya, menjual waktu bermainnya untuk bertarung di kerasnya jalan hanya untuk bertahan hidup. Beberapa kali saya sempat ngobrol dengan mereka. Pahit sekali. Aaahhh ternyata beban saya pikul tidak seberapa dibanding adik-adik kecil itu.

Masih di dalam metromini yang sama, mata saya tertarik untuk melihat keluar jendela, sepanjang stasiun jatinegara, semarak sekali, banyak pedagang kaki lima menjual beraneka rupa. Mereka bersemangat menjual dagangannya. Berusaha menjualnya. Walaupun entah akan laku atau tidak. Bertarung dengan debu, suara klakson, dan tawar-menawar. Tanpa tahu berapa keeping rupiah yang akan mereka bawa pulang. Kembali, aaaahhh ternyata beban saya tidak seberapa dibanding mereka.

5 menit kemudian, tidak lebih dari 2 km, saya disuguhi pemandangan miris lainnya. Para perempuan muda dan cantik berdiri, berderet di sepanjang jalan, menjajakan dirinya, tak sedikit yang sudah terlibat dalam tawar menawar. Para PSK tersebut mengorbankan malam-malamnya bersama dengan pria-pria yang tidak ia kenal hanya untuk menyambung hidup. Cara yang sangat salah mungkin, tapi keterlibatan saya di penelitian tentang mereka mebawa saya untuk berfikir objektif dan tidak menjudge mereka. Astagfirullah hal aziiimmm, saya memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung, ternyata beban saya, tidak seberapa dibanding mereka.

Saya pun hening, memandang tumpukan plastic gramedia di samping bangku saya, ada tas UGM berisi buku-buku dan tas yang saya pangku. Speechless

Sampai di pondok kopi, saya turun dan langsung naik ojeg, kalian tahu abang ojeg yang saya naiki, adalah bapak-bapak, berumur lebih dari 50 tahun. Dan saya pun terbang kembali mengingat kenangan Bapak. Bapak yang pernah menghabiskan hidupnya dengan bekerja sebagai tukang ojeg. Sama dengan abang ojeg yang saya naiki ini, merelakan malam dingin menempa dirinya, hanya untuk mencari rezeki demi memenuhi kebutuhan keluarga. Saya, menangis.

10 menit kemudian saya sampai di rumah, ada Ibu yang selalu dengan setia menunggu saya, menanyakan sudah makan atau belum, membereskan barang-barang yang saya bawa dan menawarkan untuk merebuskan air hangat untuk saya mandi. Fabbiayya iraabbikuma tukadziban. Nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan. Keluhan saya ditempis sudah semuanya. Allah memberikan pelajaran kepada saya hanya dalam waktu 1 jam, perjalanan dari gramedia matraman hingga ke rumah. Saya sadar mengapa saya sekarang menjadi cengeng, dulu bukannya saya sudah melewati masa-masa yang jauh lebih sulit?

Masalah yang saya hadapi sekarang masih sama kok, hanya sedikit di modifikasi. So? Tidak ada lagi alasan untuk mengeluh, karena ternyata ini semua tidak seberapa dbanding mereka. Saya menuju kamar saya diatas, sujud, bersyukur dan beristigfar. Semoga Allah selalu menjadikan saya sebagai manusia yang selalu bersyukur dan bergembira untuk terus berjuang dan bersusah payah.     

Proyek pembangunan busway-lah yang memisahkan kebersamaan kami

Advena Hastu, atau sering kali saya memanggilnya dengan Mba’ Vena. Salah satu teman dekat di kantor saya, mmm mungkin lebih tepat saya menyebutnya sebagai kakak. Kedekatan kami, membuat saya menganggapnya sebagai kakak saya sendiri.

Hubungan kami dimulai ketika saya mulai bekerja di PPA, arah pulang yang sama, membuat kami sering pulang bareng. Mikrolet 44 menjadi identitas kebersamaan kami. Tempat favorit kami duduk di depan, berdua, disamping supir. Selalu. Kami lebih memilih menunggu mikrolet 44 yang lain bila bangku depan sudah terisi, walaupun hanya 1 orang. Dan putaran roda mikrolet pun menjadi pendengar setia cerita-cerita kami.

Kami dengan bebas bercerita apapun, mulai dari masalah pekerjaan, bergosip ria tentang kantor, berkeluh kesah tentang pacar saya (mantan lebih tepatnya), kisah-kisah keluarga kami dengan segala suka dukanya atau hal-hal sentimentil dan privat lainnya. Bercerita dengan Mba’ Vena membuat saya nyaman, mengisnpirasi dan memecut semangat yang tiada henti. Umur yang lebih tua dari saya membuat saya sering mendapat input yang jauh dari akal saya. Mba’ Vena menjadi saksi ketika saya sakit hati dan berurai air mata, menjadi saksi dari kebahagiaan saya dan juga kebimbangan-kebimbangan saya. Terlebih ketika Sakti sudah sangat sulit dihubungi karena keterbatasan jarak dan situasi di desa dimana dia mengabdi. Maka, sebagian besar cerita-cerita hidup saya pun mengalir diatas ban mikrolet 44 ini.

Saya pun turut menjadi bagian hidupnya. Hidup mulai dari perut rata hingga bergelembung mengandung anak yang kedua, melahirkan dan sekarang sudah mulai beranjak menjadi putri yang cantik dan cerdas. Darinya banyak sekali pelajaran yang dapat saya ambil. Belajar bagaimana seorang anak tunggal terus berjuang, berbakti dan membahagiakan orang tuanya, pelajaran bagaimana masalah demi masalah harus terus dihadapi dengan senyum, merangkak dari kesedihan ditinggal oleh sang Ibu tercinta sama halnya dengan saya belajar menjadi kuat tanpa Bapak, belajar bagaimana menjadi Ibu yang super, mengurus dua orang anak kecil, suami dan terus memantau Ayahnya di kota yang berbeda.

Dan 2 minggu yang lalu saya pun dipinjamkan harta karun luar biasa darinya, buku-buku suaminya yang dulu pernah juga kuliah di MM UGM. Saya haus buku. Memang. Melihat tumpukan buku manajemen, asli, bahkan beberapa diimport langsung dari AS dengan harga perbuku lebih dari 1 juta. Jadilah saya girang bukan kepalang, terlebih ada hadiah tambahan darinya, puluhan majalah Femina, majalah yang menjadi langganan Mba’ Vena dan akan menjadi teman mengasyikkan buat Ibu saya tentunya.

Tetapi sekarang keadaannya menjadi sedikit berubah. Bapak berkumis nomer 1 di Jakarta membuat proyek pembangunan busway sepanjang pondok kopi hingga kampung melayu. Jalur padat yang selalu macet setiap harinya pun menjadi menggila. Menggila macet, ruwet, ribet dan ah entahlah. Nalar saya benar-benar tidak bisa menemukan logika kenapa bapak kumis itu membuat proyek di wilayah ini. Membunuh pohon-pohon di sepanjang jalan, merusak dan menambal. Dampaknya saya membutuhkan waktu 2 kali lebih lama untuk mencapai kantor termasuk ketika pulang kantor. Awalnya, saya masih bisa mentolelir, menghabiskan waktu dengan membaca. Tapi makin hari, fiuh lebih memilih untuk memejamkan mata, terlalu perih memandang keruwetannya.

Saya pun mencari alternatif lain. Kereta. Ya saya mencoba menuju kantor dengan kereta. Lebih cepat, jauh lebih cepat bahkan, kadang saya hanya membutuhkan sepertiga dari waktu dibanding naik angkot. Walau harus berdiri, berempet-empetan ria, berlari-lari mengejar kereta, bersungut-sungut ketika ketinggalan kereta atau bermanyun ria ketika kereta ada masalah.

Mikrolet 44 menjadi semakin jauh bagi saya, sama halnya dengan masa-masa mengurai cerita di atas roda bersama mba’ Vena. Sebenarnya berat meninggalkan momen bersama itu. Momen dimana saya selalu mendapat second opinion, momen dimana kegalauan saya berkurang, penguat ketika kebimbangan sering terjadi dan menjadi cenayang dari setiap pria-pria yang datang.  Tapi saya ga kuat menghadapi keruwetan jalan menuju pondok kopi, belum lagi masih harus berjuang dengan tumpukan buku di malam hari. Dan belum lahi ketika pagi saya juga terkadang harus melakukan kebohongan kepada para abang ojek di kampung melayu. Saya terpaksa berbohong, mengaku sedang hamil muda anak pertama, karena saya menolak untuk pagi-pagi amazing race di tengah-tengah taman kota atau bergajluk-gajluk ria lewat trotoar. Pernah beberapa kali saya menolak, memilih tetap ikut menyemarakkan kemacetan Casablanca, tapi para abang ojeks itu bersungut-sungut, ngedumel sepanjang jalan. Jadi terpaksa lah ketika saya naik ojeg, kembali berbohong.

Sebenarnya dengan saya naik kereta juga menghilangkan jejak kebohongan saya di para abang ojek itu. Mmmm takut ditanya, mba’ hamilnya kok ga besar-besar ya? Nah lo, mau jawab apa nanti. Ga mungkin kan saya bilang, iya bang yang kemarin saya kempesin dulu, habis belum dapet-dapet bapaknya.

Yah itulah hidup, selalu berubah, berputar, berproses dan dinamis, proyek pembangunan busway itu yang telah memisahkan kebersamaan kami. Terkadang saya ingin mengajak mba’ Vena untuk mencabuti bulu kumis si bapak itu satu demi satu. Tetapi setidaknya, disela-sela waktu yang semakin sedikit, kami masih bisa bercerita. Termasuk terus mendoakan dia dan keluarganya agar dijaga dan selalu diberi yang terbaik.  

Man thalabal ‘ula sahiral layali


Kalimat diatas berarti “Siapa yang ingin mendapatkan kemuliaan, maka bekerjalah sampai jauh malam”. Saya mendapatkan mantera itu ketika membaca buku negeri 5 menara karangan Ahmad Fuadi. Buku yang menjadi salah satu buku favorit saya dari sekian ratus buku yang ada di kamar saya, kolong tempat tidur saya, diatas lemari pakaian dan rak buku di luar kamar.

Belakangan mantera itu menjadi mantera wajib untuk saya. Mantera yang selalu saya ucapkan berulang-ulang ketika lelah mulai datang, kerisauan dengan tugas-tugas kuliah yang semakin menumpuk, belum lagi materi-materi kuliah yang harus saya baca berkali-kali, mengingat background kuliah sebelumnya yang sama sekali tidak menyentuh sisi ekonomi sedikitpun, ditambah ketakutan-ketakutan saya untuk menjadi middle-down class. Ya saya memiliki khawatir berlebihan ketika berada di rata-rata kelas terlebih di urutan bawah kelas karena saya terbiasa berada di up class, walaupun tidak selalu top class.

Yang saya lakukan kemudian adalah berusaha lebih keras dibanding yang lain, membaca bahan-bahan kuliah lebih dahulu, merangkumnya, membuat catatan terbaik dan  mengerjakan semua tugas dengan semaksimal mungkin. Dengan demikian saya harus mengorbankan waktu tidur saya, waktu bermain-main atau bahkan hanya sekedar searching via fb atau chatting. Sudah lebih dari 1 bulan, saya tidur tidak pernah lebih dari 5 jam. Sepulang jam kantor, setelah mengurai cerita dengan si Ibu, saya langsung menuju kamar, menambahkan ritual sebelum tidur yang secara rutin sudah saya lakukan sebelumnya dengan membuka netbook dan tumpukan buku-buku tebal berbahasa Inggris, saya menambahkan “belajar” sebagai salah satu ritual tambahan saya.

Pukul 22.00, saya tidur dan kembali bangun pukul 02.30. Pukul 02.30 setelah bercinta dengan sang pencipta hingga waktu menjelang berangkat ke kantor, saya belajar, membaca, mengerjakan tugas. Putu, salah satu sahabat terbaik saya yang berkali-kali melihat ritme hidup saya karena setidaknya saya seminggu 2 kali menumpang di kosannya selalu bilang “Lo terlalu keras sama diri lo sendiri”. Mungkin, tetapi hanya ini yang bisa saya lakukan, berjuang, bekerja hingga larut malam untuk mendapatkan kemuliaan, ada target IPK yang harus saya capai untuk mendapatkan beasiswa, ilmu baru ini juga memaksa saya harus belajar 3 kali lebih banyak untuk dapat bersaing bersama mereka yang memang sudah memiliki latar belakang pendidikan ekonomi atau finance. Dan saya yakin, perjuangan ini tidak seberapa dibanding perjuangan Bapak Ibu saya, atau perjuangan orang-orang hebat diluar sana. Jadi, saya memecut diri saya sendiri untuk mengejar kemuliaan, kemuliaan diri, kemuliaan keluarga, dengan bekerja hingga larut malam.

Tidak akan ada cerita cinta

Tulisan ini sebenarnya saya buat untuk merespon pertanyaan dari beberapa sahabat tentang mengapa saya tidak menuliskan kisah kasih saya dengan pria-pria diluar sana yang pernah mengisi hati saya, entah mengisi dengan cinta, sakit hati, kebanggaan, kekecewaan, kebahagiaan, kesedihan, tertawa ataupun air mata yang menurut mereka akan banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari lika-liku percintaan saya.

Ada beberapa alasan kuat mengapa saya tidak pernah dan tidak akan mau membuka hal tersebut disini, pertama, cinta menjadi ranah pribadi saya yang amat sangat privat, saya tidak mau pria terbaik saya (suami saya kelak-red) entah membandingkan dirinya dengan pria-pria itu dan timbul rasa cemburu karena beberapa pria dengan hebat menggombali istrinya, atau Ia merasa sakit luar biasa karena mengetahui istrinya pernah diperlakukan buruk, jauh lebih buruk dari yang pernah seorang pria bayangkan.

Kedua, cinta tentu tidak jauh dari suka hati dan sakit hati, selalu berhimpitan seperti mata uang, terkadang membumbung diri hingga ke langit tapi tidak lama dapat menjatuhkan ke dasar tanah dan terkadang harus berkubang di got yang kotor. Suka hati akan membawa tulisan indah, baik, berirama cantik dan mempesona. Sebaliknya sakit hati akan mendatangkan sumpah serapah, caci maki, irama yang lirih dan terkadang sumbang. Menceritakan cinta dengan para pria yang sudah lewat dan bukan pilihan Allah hanya akan memberi kenangan tidak berarti bagi saya.

Ketiga, saya tidak ingin membuat pria-pria itu menjadi popular di blog saya, entah mereka popular karena kebaikannya atau bahkan menlist sebagai pria opportunist sejati dan yang lebih buruk sebagai pria brengsek. Karena hanya akan ada setidaknya 2 pria yang dapat lulus uji masuk ke blog saya, Bapak, karena memang beliaulah yang menjadi alasan utama saya membuat blog ini, dan kedua adalah suami saya kelak.

Keempat, dengan tidak menuliskan mereka, membantu saya untuk terus mengobati luka atas perlakuan-perlakuan buruk dari pria tersebut, mulai dari diduakan, bertemu dengan para pria banci yang sangat takut untuk berkomitmen dengan alasan apapun, pria yang ternyata seorang opportunis sejati yang selalu menjadikan saya keset, pria yang yang menggunakan segala kelebihan saya hanya untuk mengangkat karier dan kesuksesan, dan selebihnya dia akan amnesia. Walaupun juga ada kisah kasih yang membahagiakan, tetapi semu.

To be treated badly is always bad. But the worse part is loosing the time and energy to learn. Jadi ya sudah lupakan, tidak perlu diekspose, karena justru tidak akan menyembuhkan. Ya setidaknya itulah keputusan saya, tidak akan ada cerita cinta disini, setidaknya sampai dengan saat ini. Hingga kelak, Allah sang Maha Cinta mengirimkan pria terbaik yang dapat menjadi imam, menuntun keluarga kami menuju SurgaNya, yang memuliakan saya dan keluarga, yang berbahagia karena dapat membahagiakan saya dan keluarga, yang menyiapkan diri menerima segala kekurangan saya, yang mencintai saya ketika saya masih muda dan sehat, berlari riang bertualang bersama tetapi juga dengan sedia selalu mengenggam sayang tangan saya ketika saya mulai renta dan sakit, yang siap mengucapkan asma Allah untuk diperdengarkan diketurunan kami kelak, dan menghias rumah dengan lantunan ayat-ayatnya.

Kalau lihat kamu, saya selalu ingat Bapakmu

Iedul Fitri tahun ini merupakan tahun ke empat tanpa Bapak. Tidak seperti Iedul fitri sebelumnya, yang diisi dengan deraian air mata teringat sosok seorang Bapak terhebat, selalu sesenggukkan sepanjang 2 rakaat sholat Ied, menangis tanpa henti dan kembali pecah hebat ketika sampai di rumah. Kali ini kami sudah mulai mengikhlaskannya. Saya, Sakti dan Ibu sudah ikhlas, karena Bapak sudah berada di tempat yang terbaik, tinggal kami yang terus berjuang disini mengikuti jejaknya.

Lebaran tahun ini, saya juga menghabiskan waktu cukup di Jakarta saja. Sudah izin dengan Mbah Kung (Bapak dari Bapak) untuk tidak pulang ke Sragen, Solo selain karena di awal tahun saya dan Ibu sudah wira-wiri ke sana, karena tahun ini Sakti pulang ke rumah dan ada Mbah Putri d rumah. Ya, Ibu dari Ibu saya sejak 8 bulan lalu tinggal di rumah, kondisinya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan membuat kami memutuskan untuk merawat mbah putri di rumah saja. Dan dapat dipastikan sepanjang lebaran, rumah kami akan selalu didatangi tamu. So, siap untuk membabu.

Sempat terpikir, dengan ramalan banyaknya tamu yang akan datang, otomatis saya harus menyiapkan kue-kue lebaran dengan stock yang cukup banyak, meaning cost yang dikeluarkan akan lebih banyak. Tetapi, matematika Allah maha adil, tahun ini paketan parcel yang saya dapat juga jauh lebih banyak dibanding tahun lalu. Bermacam-macam.

Tidak hanya menunggu tamu di rumah yang silih berganti, saya, Ibu dan Sakti juga pergi ke beberapa kerabat Bapak. Tetap ingin menyambung silaturahmi dengan seluruh kerabat dan sahabat Bapak. Bersilaturahmi bersama mereka pasti akan mengurai kembali cerita bersama Bapak. Setiap kali saya datang kata yang terucap pertama kali “setiap lihat kamu Harni, saya selalu ingat bapak kamu”. Dan kalimat-kalimat berikutnya adalah menceritakan kenangan-kenangan mereka bersama Bapak, kenangan manis, lucu dan inspiratif, tetapi ketika cerita pahit mulai diputar kembali, terkadang saya masih suka meremas tangan saya sendiri, meremas dengan kuku-kuku, merefleksikan ada rasa sakit yang amat dalam ditinggal Bapak dan belum dapat sedikit pun membalas kebaikannya.
 
Meremas tangan, menangis, tidak akan mengembalikan Bapak. Yang terjadi kemudian adalah menjadi pecutan maha dasyat bagi saya untuk terus berjuang tanpa lelah melakukan yang terbaik, terus mengharumkan namanya, terus berbagi bersama orang-orang terdekatnya. Saya juga bersedia membuat kepala jadi kaki, kaki jadi kepala untuk mewujudkannya. Sama halnya seperti Bapak memperjuangkan kehidupan saya agar selalu terpenuhi semua kebutuhannya, melirih di setiap doa agar putri-putrinya selalu mendapatkan yang terbaik.
 

16 Agustus 2011

66 tahun yang lalu, founding fathers kita, Soekarno Hatta beserta beberapa tokoh golongan tua yang lain “diculik” ke rengasdengklok oleh para golongan muda akibat kebuntuan negosiasi mengenai status RI dan cita-cita kemerdekaan. Dan saya pun selalu mengenang detik-detik proklamasi itu setiap tahunnya, dapat dengan mudah menceritakan waktu demi waktu hingga hari Jumat, 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi Soekarno Hatta membacakan teks proklamasi atau mengurai cerita lebih jauh peristiwa-peristiwa yang terjadi pasca kemerdekaan yang justru ternyata jauh lebih berat dan tetap tidak sepi konflik. Tapi sepertinya saya tidak akan menceritaknnya disini. Karena saya tidak ingin menulis buku atau rangkuman sejarah. Banyak yang jauh lebih pandai dan hebat dari saya.

Yang ingin saya ceritakan disini, bahwa tanggal 16 Agustus 2011 menjadi hari yang cukup special untuk saya, Ibu, Sakti dan Alm. Bapak (sampai kapanpun saya akan selalu meyertakan beliau, hanya raga yang terpisahkan tetapi tidak dengan hati kami). Tanggal 16 Agustus, Sakti, pulang ke rumah setelah 9 bulan lebih mengabdikan dirinya untuk desa terpencil diujung Majene. Dia dapat jatah libur hari Raya dan mengambil semua cutinya untuk pulang ke rumah. Ibu, sudah sangat sibuk sejak seminggu sebelum Sakti pulang. Membereskan kamar tidurnya, membuat jadwal menu makanan selama Sakti libur di Jakarta.  Rumah bersemarak. Dia berangkat dari Desa Limboro tanggal 15 Agustus dan akan tiba di Jakarta tanggal 16 Agustus sore. 

Tanggal 16 Agustus 2011, juga merupakan tanggal pengumuman final diterima atau tidaknya saya sebagai mahasiswa program Magister Manajemen UGM. Sedikit bercerita mundur, ya, sejak Mei 2011 saya melakukan research (kecil-kecilan) mengenai batu yang mana yang akan menjadi lompatan pijakan akademis saya. UI minded, membuat saya terpaku memilih beberapa konsentrasi yang saya inginkan disana, mulai dari Magister Manajemen UI, Magister Kesehatan Masyarakat, dan mendapat tawaran untuk ikut bergabung di Magister CSR dan Kemiskinan (saya sempat menjadi dosen tamu di program tersebut). Saya membuat matriks plus minus dari ketiganya, namun sayang, UI hanya mengadakan kelas di waktu weekdays. Sedikit sulit bagi saya, mengingat ritme kerja yang sering keluar kota dan kebijakan perusahaan yang tidak mengizinkan untuk kuliah dalam jam kantor. UI pun saya delete termasuk tawaran untuk belajar di Magister CSR dan kemiskinan. Untuk Universitas swasta, mmmm pasti tidak didizinkan Ibu saya, karena beliau hanya kenal ya kalau kuliah di universitas negeri seperti UI atau UGM. Jadilah saya melakukan research di UGM. Singkat kata saya memilih program Magister Manajemen dengan konsentrasi Manajemen Strategik. Dari hasil research terlihat UGM merupakan business school terbaik dan terbesar di Indonesia, satu-satunya business school di Indonesia yang berbasis mainstreaming ethic, gelar MBA, jaringan international, dan tahun 2013 nanti akan mendapat gelar international. Dan jadilah saya mendaftar di UGM, merogoh tabungan untuk membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 700.000, saya pun terpecut untuk dapat lulus dari setiap tahapan tes.

Tanggal 16 Agustus, saya dinyatakan lulus, top ten nilai terbaik, baik dari tes TPA, TOEFL dan Interview test, melesat jauh dari nilai rata-rata yang mereka standarkan. Alhamdulillah. Sebenarnya, ketika tahap interview saya sempat ingin memundurkan diri dari tes. Karena setelah berfikir masak-masak, ternyata program beasiswa perusahaan yang menggunakan system reimbursement memberatkan saya. Saya harus membayar semua uang yang dibutuhkan selama kuliah per semester, dan jika IPK diatas 3, saya baru dapat melakukan reimbursmet ke kantor, jika dibawah 3, maka dengan sangat menyesal tidak akan direimburs.

Dengan notaben saya yang selalu tidak pernah mengeluarkan biaya selama kuliah S1 (hidup dari 1 beasiswa ke beasiswa yang lain), ditambah dengan biaya kuliah MM yang hampir sama dengan harga 1 mobil, melirik tabungan, memikirkan jika saya tidak bisa memenuhi IPK sebesar 3, belum lagi buku-buku kuliah dengan harga minimal setengah juta per buku, mengorbankan waktu weekend untuk mengutat pelajaran, ritme tidur yang pasti akan berkurang, membuat saya ingin mundur dari test terakhir (test interview). Tapi keputusan saya ditentang habis oleh orang-orang terdekat saya.

Allah tidak tidur. Ketika Dia telah memutuskan A atau B maka Dia pulalah yang telah menyediakan semuanya. Kesimpulan yang saya ambil dari mereka. Saya pun membulatkan tekad, jika memang Allah memberikan kepercayaan saya untuk lulus dari test masuk ini, maka Allah pun telah menyediakan jalan bagi saya, tinggal saya lah yang harus melewati jalan itu, jalan yang mungkin tidak mulus dan lurus. Jalan untuk mencapai tujuan salah satu tujuan ingin mengangkat derajat keluarga saya, membawa keluarga ini ke kehidupan yang lebih layak, bermartabat dan bermanfaat ke sebanyak-banyaknya umat.  

Dan tanggal 16 Agustus 2011, Allah menjawab “Saya sudah menyiapkan jalan untuk kamu, maka berjuanglah”. Saya, tidak boleh ragu, maju terus walau yakin ini akan merubah semuanya, merubah ritme hidup mulai dari kebiasaan, hubungan dengan orang-orang terdekat termasuk cashflow keuangan saya.
Pukul 15:30, sepulang kantor, saya langsung menjemput Sakti di bandara, menyiapkan AW dan beberapa makanan kesukaan dia karena pasti kita berbuka puasa di mobil. Dan sepanjang jalan selama 2 jam lebih kami terus mengukir cerita tanpa henti.  Ibu menunggu di rumah. Menunggu kedua putrinya, ingin mengukir cerita bersama, cerita terbaik yang meninggalkan jejak baik hingga nanti ber-ending baik.