Hari ini Sabtu, 1 Oktober 2011, saya benar-benar lelah, lelah yang teramat sangat, tumpukan tugas, buku-buku bacaan, belum lagi jurnal-jurnal ilmiah, kerjaan kantor, list to do yang terus menumpuk, hingga terkadang saya pun bingung harus memulainya dari mana. Dengan meminggul tas berisi buku catatan, agenda dan netbook di tangan kanan, dan 4 buah buku yang beratnya tidakkurang dari 8 kg di tangan kiri, sepulang kuliah saya menyempatkan diri bertemu dengan Santi. Santi, salah satu teman yang saya kenal ketika mengambil pelatihan akuntansi madya di FE UI setahun yang lalu. Bercerita dengannya meringankan beban, menginspirasikan dan menyalakan kembali api yang telah padam.
Kami berjanji untuk bertemu di Gramedia Matraman, tempat favorit saya, tempat dimana banyak sekali buku disana. Setelah sholat magrib, kami makan bubur di depan gramedia, bubur yang menjadi langganan saya sejak SMP dulu, ceritapun mulai mengalir. Latar belakang pendidikan Santi yang ekonomi dan seorang accounting membuat saya banyak belajar darinya. Selesai makan bubur, kami langsung menuju lantai 3, ada ratusan judul buku yang sedang diskon 70%. Saya, kalap. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini yang saya pilih semuanya adalah buku berbau bisnis, ekonomi, manajemen dan CSR. Dan ketika masuk ke deretan buku import, ada beberapa buku terbitan Mc Graw Hills yang juga turut di diskon 70%. Panic dan histeris. Buku-buku terbitan Mc Graw Hills merupakan buku yang selalu menjadi referensi di MM UGM, harganya paling murah 300 ribu per buku. Dengan diskon 70%, maka saya cukup membayar sepertiga dari harga normal buku-buku itu. Walaupun masih diatas 100 ribu, tapi ini worth it sekali. Santi lah yang memilihkan buku-buku itu untuk saya, mana yang saya perlukan mana yang tidak atau belum diperlukan. Jadilah saya menenteng pulang tambahan beban 12 kg berisi buku-buku. Ya, rezeki Allah maha luas. Saya membeli buku-buku tersebut dan memenuhi koleksi saya dengan harga murah.
Pukul 9 malam kami berpisah, dan saya pulang, naik mikrolet 01 menuju kampung melayu, lalu akan berganti kendaraan dengan menggunakan metromini 506 ke pondok kopi dan fiuh sepertinya saya akan melanjutkan dengan naik ojeg saja dari pondok kopi ke rumah. Terlalu berat barang-barang yang saya bawa.
Saya mengeluh, kenapa juga saya harus repot-repot membawa beban segini banyak, menghabiskan weekend dengan belajar, berpuasa senin-kamis selain untuk terus mendekatiNya juga sebagai strategi untuk memangkas pengeluaran demi membeli buku-buku, menutup mata untuk membeli barang-barang konsumtif atau hanya sekedar sedikit berhura-hura dengan berkaraoke atau ke bioskop, ya, padahal ini kan malam minggu. Belum lagi berepot-repot ria dan berletih-letih bangun dini hari. Lebih enak sepertinya kalau saya tidur, menghabiskan waktu bersenang-senang bersama teman-teman atau hanya sekedar bermalas-malasan ditempat tidur. Terlalu berat. Fiuh.
Sudah 10 menit, mikrolet yang saya naiki belum juga jalan, tapi entah mengapa saya tidak marah, justru saya berempati lebih kepada pak supir yang ada disebelah saya, dia masih menunggu penumpang, karena hanya saya lah penumpangnya. Akhirnya, mikrolet pun jalan, sepanjang jalan menuju kampung melayu, bapak supir itu tidak mendapat 1 pun penumpang tambahan. Saya seperti mencarter mikroletnya. Kasihan. Sampai di kampung melayu saya memberikan uang 5 ribu, 2 kali lipat dari ongkos biasanya dan dengan tentengan total hampir 25 kg di kiri dan kanan langsung mencari metromini 506 menuju pondok kopi. Tetapi saya mulai tidak mengeluh. Masih memikirkan bapak sopir itu. Berapa banyak uang yang bisa ia bawa pulang untuk memenuhi keluarganya? Apakah cukup untuk sekolah anak-anaknya. Aaaahh ternyata beban saya tidak seberapa dibanding bapak sopir itu.
Masih berkutat dengan pikiran ke Bapak sopir, saya dipaksa untuk melihat pandangan miris lain. Kenek metromini yang saya naiki masih anak kecil, di waktu yang sudah tidak lagi sore, dia masih harus mengukur jalanan, mencari penumpang, berteriak-teriak, kaki-kaki kecilnya naik turun metromini, lari mengatur jalan. Memang saat ini semakin banyak anak-anak yang harus turun ke jalan, menggadaikan masa kecilnya, menjual waktu bermainnya untuk bertarung di kerasnya jalan hanya untuk bertahan hidup. Beberapa kali saya sempat ngobrol dengan mereka. Pahit sekali. Aaahhh ternyata beban saya pikul tidak seberapa dibanding adik-adik kecil itu.
Masih di dalam metromini yang sama, mata saya tertarik untuk melihat keluar jendela, sepanjang stasiun jatinegara, semarak sekali, banyak pedagang kaki lima menjual beraneka rupa. Mereka bersemangat menjual dagangannya. Berusaha menjualnya. Walaupun entah akan laku atau tidak. Bertarung dengan debu, suara klakson, dan tawar-menawar. Tanpa tahu berapa keeping rupiah yang akan mereka bawa pulang. Kembali, aaaahhh ternyata beban saya tidak seberapa dibanding mereka.
5 menit kemudian, tidak lebih dari 2 km, saya disuguhi pemandangan miris lainnya. Para perempuan muda dan cantik berdiri, berderet di sepanjang jalan, menjajakan dirinya, tak sedikit yang sudah terlibat dalam tawar menawar. Para PSK tersebut mengorbankan malam-malamnya bersama dengan pria-pria yang tidak ia kenal hanya untuk menyambung hidup. Cara yang sangat salah mungkin, tapi keterlibatan saya di penelitian tentang mereka mebawa saya untuk berfikir objektif dan tidak menjudge mereka. Astagfirullah hal aziiimmm, saya memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung, ternyata beban saya, tidak seberapa dibanding mereka.
Saya pun hening, memandang tumpukan plastic gramedia di samping bangku saya, ada tas UGM berisi buku-buku dan tas yang saya pangku. Speechless
Sampai di pondok kopi, saya turun dan langsung naik ojeg, kalian tahu abang ojeg yang saya naiki, adalah bapak-bapak, berumur lebih dari 50 tahun. Dan saya pun terbang kembali mengingat kenangan Bapak. Bapak yang pernah menghabiskan hidupnya dengan bekerja sebagai tukang ojeg. Sama dengan abang ojeg yang saya naiki ini, merelakan malam dingin menempa dirinya, hanya untuk mencari rezeki demi memenuhi kebutuhan keluarga. Saya, menangis.
10 menit kemudian saya sampai di rumah, ada Ibu yang selalu dengan setia menunggu saya, menanyakan sudah makan atau belum, membereskan barang-barang yang saya bawa dan menawarkan untuk merebuskan air hangat untuk saya mandi. Fabbiayya iraabbikuma tukadziban. Nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan. Keluhan saya ditempis sudah semuanya. Allah memberikan pelajaran kepada saya hanya dalam waktu 1 jam, perjalanan dari gramedia matraman hingga ke rumah. Saya sadar mengapa saya sekarang menjadi cengeng, dulu bukannya saya sudah melewati masa-masa yang jauh lebih sulit?
Masalah yang saya hadapi sekarang masih sama kok, hanya sedikit di modifikasi. So? Tidak ada lagi alasan untuk mengeluh, karena ternyata ini semua tidak seberapa dbanding mereka. Saya menuju kamar saya diatas, sujud, bersyukur dan beristigfar. Semoga Allah selalu menjadikan saya sebagai manusia yang selalu bersyukur dan bergembira untuk terus berjuang dan bersusah payah.