Advena Hastu, atau sering kali saya memanggilnya dengan Mba’ Vena. Salah satu teman dekat di kantor saya, mmm mungkin lebih tepat saya menyebutnya sebagai kakak. Kedekatan kami, membuat saya menganggapnya sebagai kakak saya sendiri.
Hubungan kami dimulai ketika saya mulai bekerja di PPA, arah pulang yang sama, membuat kami sering pulang bareng. Mikrolet 44 menjadi identitas kebersamaan kami. Tempat favorit kami duduk di depan, berdua, disamping supir. Selalu. Kami lebih memilih menunggu mikrolet 44 yang lain bila bangku depan sudah terisi, walaupun hanya 1 orang. Dan putaran roda mikrolet pun menjadi pendengar setia cerita-cerita kami.
Kami dengan bebas bercerita apapun, mulai dari masalah pekerjaan, bergosip ria tentang kantor, berkeluh kesah tentang pacar saya (mantan lebih tepatnya), kisah-kisah keluarga kami dengan segala suka dukanya atau hal-hal sentimentil dan privat lainnya. Bercerita dengan Mba’ Vena membuat saya nyaman, mengisnpirasi dan memecut semangat yang tiada henti. Umur yang lebih tua dari saya membuat saya sering mendapat input yang jauh dari akal saya. Mba’ Vena menjadi saksi ketika saya sakit hati dan berurai air mata, menjadi saksi dari kebahagiaan saya dan juga kebimbangan-kebimbangan saya. Terlebih ketika Sakti sudah sangat sulit dihubungi karena keterbatasan jarak dan situasi di desa dimana dia mengabdi. Maka, sebagian besar cerita-cerita hidup saya pun mengalir diatas ban mikrolet 44 ini.
Saya pun turut menjadi bagian hidupnya. Hidup mulai dari perut rata hingga bergelembung mengandung anak yang kedua, melahirkan dan sekarang sudah mulai beranjak menjadi putri yang cantik dan cerdas. Darinya banyak sekali pelajaran yang dapat saya ambil. Belajar bagaimana seorang anak tunggal terus berjuang, berbakti dan membahagiakan orang tuanya, pelajaran bagaimana masalah demi masalah harus terus dihadapi dengan senyum, merangkak dari kesedihan ditinggal oleh sang Ibu tercinta sama halnya dengan saya belajar menjadi kuat tanpa Bapak, belajar bagaimana menjadi Ibu yang super, mengurus dua orang anak kecil, suami dan terus memantau Ayahnya di kota yang berbeda.
Dan 2 minggu yang lalu saya pun dipinjamkan harta karun luar biasa darinya, buku-buku suaminya yang dulu pernah juga kuliah di MM UGM. Saya haus buku. Memang. Melihat tumpukan buku manajemen, asli, bahkan beberapa diimport langsung dari AS dengan harga perbuku lebih dari 1 juta. Jadilah saya girang bukan kepalang, terlebih ada hadiah tambahan darinya, puluhan majalah Femina, majalah yang menjadi langganan Mba’ Vena dan akan menjadi teman mengasyikkan buat Ibu saya tentunya.
Tetapi sekarang keadaannya menjadi sedikit berubah. Bapak berkumis nomer 1 di Jakarta membuat proyek pembangunan busway sepanjang pondok kopi hingga kampung melayu. Jalur padat yang selalu macet setiap harinya pun menjadi menggila. Menggila macet, ruwet, ribet dan ah entahlah. Nalar saya benar-benar tidak bisa menemukan logika kenapa bapak kumis itu membuat proyek di wilayah ini. Membunuh pohon-pohon di sepanjang jalan, merusak dan menambal. Dampaknya saya membutuhkan waktu 2 kali lebih lama untuk mencapai kantor termasuk ketika pulang kantor. Awalnya, saya masih bisa mentolelir, menghabiskan waktu dengan membaca. Tapi makin hari, fiuh lebih memilih untuk memejamkan mata, terlalu perih memandang keruwetannya.
Saya pun mencari alternatif lain. Kereta. Ya saya mencoba menuju kantor dengan kereta. Lebih cepat, jauh lebih cepat bahkan, kadang saya hanya membutuhkan sepertiga dari waktu dibanding naik angkot. Walau harus berdiri, berempet-empetan ria, berlari-lari mengejar kereta, bersungut-sungut ketika ketinggalan kereta atau bermanyun ria ketika kereta ada masalah.
Mikrolet 44 menjadi semakin jauh bagi saya, sama halnya dengan masa-masa mengurai cerita di atas roda bersama mba’ Vena. Sebenarnya berat meninggalkan momen bersama itu. Momen dimana saya selalu mendapat second opinion, momen dimana kegalauan saya berkurang, penguat ketika kebimbangan sering terjadi dan menjadi cenayang dari setiap pria-pria yang datang. Tapi saya ga kuat menghadapi keruwetan jalan menuju pondok kopi, belum lagi masih harus berjuang dengan tumpukan buku di malam hari. Dan belum lahi ketika pagi saya juga terkadang harus melakukan kebohongan kepada para abang ojek di kampung melayu. Saya terpaksa berbohong, mengaku sedang hamil muda anak pertama, karena saya menolak untuk pagi-pagi amazing race di tengah-tengah taman kota atau bergajluk-gajluk ria lewat trotoar. Pernah beberapa kali saya menolak, memilih tetap ikut menyemarakkan kemacetan Casablanca, tapi para abang ojeks itu bersungut-sungut, ngedumel sepanjang jalan. Jadi terpaksa lah ketika saya naik ojeg, kembali berbohong.
Sebenarnya dengan saya naik kereta juga menghilangkan jejak kebohongan saya di para abang ojek itu. Mmmm takut ditanya, mba’ hamilnya kok ga besar-besar ya? Nah lo, mau jawab apa nanti. Ga mungkin kan saya bilang, iya bang yang kemarin saya kempesin dulu, habis belum dapet-dapet bapaknya.
Yah itulah hidup, selalu berubah, berputar, berproses dan dinamis, proyek pembangunan busway itu yang telah memisahkan kebersamaan kami. Terkadang saya ingin mengajak mba’ Vena untuk mencabuti bulu kumis si bapak itu satu demi satu. Tetapi setidaknya, disela-sela waktu yang semakin sedikit, kami masih bisa bercerita. Termasuk terus mendoakan dia dan keluarganya agar dijaga dan selalu diberi yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar