Iedul Fitri tahun ini merupakan tahun ke empat tanpa Bapak. Tidak seperti Iedul fitri sebelumnya, yang diisi dengan deraian air mata teringat sosok seorang Bapak terhebat, selalu sesenggukkan sepanjang 2 rakaat sholat Ied, menangis tanpa henti dan kembali pecah hebat ketika sampai di rumah. Kali ini kami sudah mulai mengikhlaskannya. Saya, Sakti dan Ibu sudah ikhlas, karena Bapak sudah berada di tempat yang terbaik, tinggal kami yang terus berjuang disini mengikuti jejaknya.
Lebaran tahun ini, saya juga menghabiskan waktu cukup di Jakarta saja. Sudah izin dengan Mbah Kung (Bapak dari Bapak) untuk tidak pulang ke Sragen, Solo selain karena di awal tahun saya dan Ibu sudah wira-wiri ke sana, karena tahun ini Sakti pulang ke rumah dan ada Mbah Putri d rumah. Ya, Ibu dari Ibu saya sejak 8 bulan lalu tinggal di rumah, kondisinya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan membuat kami memutuskan untuk merawat mbah putri di rumah saja. Dan dapat dipastikan sepanjang lebaran, rumah kami akan selalu didatangi tamu. So, siap untuk membabu.
Sempat terpikir, dengan ramalan banyaknya tamu yang akan datang, otomatis saya harus menyiapkan kue-kue lebaran dengan stock yang cukup banyak, meaning cost yang dikeluarkan akan lebih banyak. Tetapi, matematika Allah maha adil, tahun ini paketan parcel yang saya dapat juga jauh lebih banyak dibanding tahun lalu. Bermacam-macam.
Tidak hanya menunggu tamu di rumah yang silih berganti, saya, Ibu dan Sakti juga pergi ke beberapa kerabat Bapak. Tetap ingin menyambung silaturahmi dengan seluruh kerabat dan sahabat Bapak. Bersilaturahmi bersama mereka pasti akan mengurai kembali cerita bersama Bapak. Setiap kali saya datang kata yang terucap pertama kali “setiap lihat kamu Harni, saya selalu ingat bapak kamu”. Dan kalimat-kalimat berikutnya adalah menceritakan kenangan-kenangan mereka bersama Bapak, kenangan manis, lucu dan inspiratif, tetapi ketika cerita pahit mulai diputar kembali, terkadang saya masih suka meremas tangan saya sendiri, meremas dengan kuku-kuku, merefleksikan ada rasa sakit yang amat dalam ditinggal Bapak dan belum dapat sedikit pun membalas kebaikannya.
Meremas tangan, menangis, tidak akan mengembalikan Bapak. Yang terjadi kemudian adalah menjadi pecutan maha dasyat bagi saya untuk terus berjuang tanpa lelah melakukan yang terbaik, terus mengharumkan namanya, terus berbagi bersama orang-orang terdekatnya. Saya juga bersedia membuat kepala jadi kaki, kaki jadi kepala untuk mewujudkannya. Sama halnya seperti Bapak memperjuangkan kehidupan saya agar selalu terpenuhi semua kebutuhannya, melirih di setiap doa agar putri-putrinya selalu mendapatkan yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar