Minggu, 14 Agustus 2011

Cukup Hatinya Saja Yang Emas

Salah satu hal yang membahagiakan saya bersama Bapak adalah ketika saya pergi ke Palang Merah Indonesia bersama bapak. Kami naik bis tingkat dari pondok kopi lalu turun di Jatinegara dan kembali naik bis besar lagi menuju kantor PMI pusat, mengantar bapak donor darah. Bapak terbiasa mendonorkan darahnya setiap 3 bulan sekali, sejak beliau berumur 28 tahun. Beliau mendonorkan darahnya secara rutin tanpa absen sekalipun.

“Hallo dek, ikut bapak donor lagi ya?” sapa salah seorang dokter disana. “iya, mau nemenin bapak sama mau makan indomi sama susu”, jawab saya. Ya, pergi donor bersama bapak, mengisyaratkan saya kalau setelah ini ada Indomie rebus, plus telor rebus serta segelas susu yang akan diberikan untuk kami.
Setelah diperiksa, kami memasuki ruangan yang besar sekali, banyak tempat tidur disana. Tidak hanya bapak, ada juga teman-teman bapak yang lain, sedang tidur dan diambil darahnya. Bapak kemudian tidur, ada suster yang menyuntik lengan kiri bapak, menyambungkan dengan selang ke kantong plastik yang berada tidak jauh dari tangan bapak. “sakit ga  pak?” pertanyaan yang selalu saya lempar ke bapak ketika donor, dan bapak selalu bilang “nggak, nggak sama sekali kok, kaya digigit semut, cekit”. “darahnya keluar pak, udah masuk kantong, ntar sampai penuh ya Pak?” Tanya saya. Kami pun terus berbincang-bincang. “suster, kantong darahnya bapak udah penuh” saya berlari ke tempat suster. Dan setelah itu jarum yang masih menancap di lengan Bapak tak lama dicabut. Darah bapak disimpan di lemari dingin khusus penyimpan darah. Dan selanjutnya, saat-saat yang ditunggu tiba. Kami menuju ke restorant PMI dan disediakan 2 indomie rebus, 2 telur rebus dan 2 gelas susu untuk kami. Sepulang dari sana, biasanya kami mampir ke pasar jatinegara, entah hanya sekedar melihat-lihat saja.

Bulan demi bulan, Bapak terus mendonorkan darahnya. Bapak mendapat penghargaan yang ke 10, 25, 40, 50 hingga yang terakhir 75. Ya, ketika saya SMA, bapak telah mendonorkan darahnya hingga 75 kali. Sudah ada 75 kantong darah yang Bapak berikan. “alhamdulilah Mba’, ga bisa nyumbang uang, ya Bapak nyumbang darah aja.” Celetuk bapak.

Sedikit spesial, bapak mendapat undangan ke kantor gubernur Jakarta, mendapat penghargaan karena telah secara rutin menyumbangkan darahnya hingga ke 75. Pihak PMI memberikan undangan kepada Bapak untuk menghadiri pemberian penghargaan tersebut. Bapak bersama Ibu pergi ke kantor gubernur, naik motor, menghadiri acara penghargaan tersebut. Mereka menggunakan pakaian terbaik.
Sesampai dirumah, Bapak bercerita dengan antusias sekali, betapa bangga dirinya karena bisa bersalaman dengan pak Gubernur, diberi goodybag yang berisi baju batik lengan panjang merk Danar Hadi, uang saku sebesar Rp. 100.000 dan 1 lencana emas berukir PMI yang disematkan di dada bapak serta piagam penghargaan.

Batik Danar Hadinya pun menjadi pakaian kebanggaan Bapak untuk menghadiri acara-acara penting, piagam penghargaan langsung di bingkai di pajang bersama piagam-piagam penghargaan yang lainnya. Tetapi lencana emas kebanggaan bapak, harus direlakan terjual di toko emas.

Saat itu, saya duduk di SMU, adik saya di SMP. Kami sedang butuh-butuhnya uang untuk sekolah. Keuangan kami yang terbatas, memaksa Bapak untuk menjual lencana emas berukir PMI untuk membiayai uang sekolah kami. Sedih sekali. Lencana emas seberat 6 gram itu harus pergi dari bapak. Setelah sebelumnya cincin kawin Ibu yang dijual untuk membiayai kelahiran adik saya, maka lencana emas itulah, satu-satunya emas yang keluarga kami punya. Tetapi kami harus merelakan kembali.
“gapapa mba’, nanti kalau kamu sudah kerja kan juga bisa beliin lagi. Lagipula yang penting kan bapak bisa nolong orang yang butuh darah, bukan penghargaannya”, ucapnya. “Nanti, kalau donornya sudah sampai seratus kali, dikasih lencana lagi mba’, lebih gede deh kayanya, sama dikasih jas hitam, bukan batik. Jd gapapa” tambah bapak.

Dan bapak pun terus mendonorkan darahnya, hingga 2 tahun terakhir menjelang kepergian Bapak. Beberapa kali bapak ditolak untuk mendonorkan darahnya. Darah bapak terlalu kental atau tensi bapak cukup tinggi. Bapak pun kemudian kembali pulang tanpa mendonorkan darahnya. “sudah 92 niy mba’, mmm kira-kira bisa sampai seratus ga’ ya?” ucap bapak. Di kartu donornya ada cap di kolom nomer 92, 8 kali lagi mencapai 100.

Setelah ditolak, biasanya Bapak kembali ke PMI 3-5 hari kemudian. Tidak enak kalau pas jatahnya donor, tapi tidak donor, kata bapak. Kadang diterima, kadang bapak juga harus ditolak kembali, karena kualitas darahnya tidak membaik, atau terkadang tetap diambil darahnya, tetapi dibuang, tidak dipakai.

Mei 2008, sepeningalan Bapak, saya lah yang megurus semua surat-surat termasuk memegang dompet bapak. Disitu ada  kartu PMI milik bapak. Tercatat sudah 95 kali bapak mendonorkan darahnya, 5 kali lagi menuju 100. Menuju mendapatkan jas hitam dan lencana emas. Lencana yang sempat beliau idam-idamkan dan berharap tidak lagi terjual. Tetapi Allah berkendak lain, cukup 95 kantong darah saja yang bapak berikan, tidak perlu sampai 100.











Saat ini tugas saya lah yang harus meneruskannya, memulai dari 1 hingga jika dikehendaki mencapai 100 nantinya. Harus membulatkan tekad, meneruskan amalan baik bapak, dan menghadiahinya sebagai amal jariyah Bapak. Toh, hanya itu saja kan yang bisa saya lakukan untuk beliau.  

Ada Cinta di Layang-Layang Itu


“Bermain, bermain,bermain layang-layang, bermain bersama ke tanah lapang, hatiku riang dan senang”

Kalian masih ingat lagu itu? Lagu yang riang sekali, lagu yang membawa saya kembali meningat masa kecil saya dulu. Sedikit berbeda dengan anak-anak perempuan lainnya, Harni dan Sakti kecil suka sekali bermain layang-layang. Kami selalu main bertiga bersama bapak di lapangan dekat rumah. Saya, selalu memiliki tugas untuk memegang layang-layang, lari mundur sejauh mungkin, lalu hap, melompat dan melepaskan layang-layang. Bapak, yang menerbangkan layang-layang, semakin lama semakin tinggi, hingga layang-layang kami terihat kecil sekali. Dan saatnya kami memegang layang-layang yang sudah tinggi itu. Menunggu teman-teman yang lain menyusul layang-layang kami.

Tiba-tiba “Bapak, bapak, ada layang-layang orang yang deketin kita” kami berteriak panik. Kalau sudah begitu, layang-layang kami serahkan ke Bapak lagi. Dengan sigap, beliau mengerakkan tangan kanan dan kirinya, menarik-narik keatas, mengulur lalu menarik lagi. Terus begitu. Saya dan adik saya membantu membereskan benang, agar Bapak lebih leluasa. Dan, “yeeaaaaaaa, kita menang, kita menang, kita menang” kami bersorak-sorak. Bapak berhasil mengalahkan layang-layang yang lain. Tidak hanya satu, terkadang 2-3 layang-layang berhasil diputus sama Bapak.

Begitu seterusnya, kami pergi bertiga, membawa layang-layang, tidak hanya 1, terkadang kami membawa 4 layang-layang sekaligus ke tanah lapang beserta gulungan besar benang gelasan dan kenur. Bertarung dengan para pemain yang lain, sering menang, tapi terkadang juga kalah.  “nih, benang gelasannya mantep niy, nanti main aduan kita menang lagi” kata Bapak.”iya pak, ntar kalahin semua lagi ya, semuanya pak. 4 ya yang dikalahin.” Celoteh kami.  Kami pun, berjalan beriringan menuju ke lapangan, tersenyum. Bahagia sekali.
Itulah yang membuat saya dan adik saya selalu senang melihat layang-layang, mulai dari festival layang-layang atau hanya sekedar segerombolan anak yang bermain dan berebut layang-layang. Karena bagi kami, ada cinta di layang-layang itu. Cinta seorang bapak. 

Sabtu, 13 Agustus 2011

5-10 Juli 2011

5 Juli 2011
“Putu, gw nginep di kosan lo ya nanti malam, flight gw besok dini hari soalnya, kalau berangkat dari rumah aga’ repot” dan jadilah hari itu saya menginap di kosan Putu. Tapi tidak bisa tidur. Mata ini sulit sekali terpejam. Terlalu excited untuk menyambut dini hari. 

6 Juli 2011
Pukul 03:30, dengan menggunakan Taksi saya pergi ke Soetta, ditemani hujan. Sesampai disana, langsung mencari sarapan, 2 buah roti boy dan 1 kotak susu. Tersisa 1 roti boy, saya berikan ke cleaning service di salah satu mushola Soetta. Saya sholat subuh dengan syahdu sekali, tidak pernah berhenti bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Saya dapat pergi ke Limboro, gratis, dapat SPPD dan full fasilitas, membawa uang Rp. 50.000.000 dari kantor dan Rp. 7.193.000 dari para sahabat terbaik saya.

Pukul 05.00 tepat pesawat saya take off, 2.20 menit dari sekarang, saya akan tiba di Makasar. Bertemu dengan adik saya yang sejak hari Sabtu memang sudah disana untuk membantu pengadaan semua barang-barang bantuan. Saya tidak berhenti bersyukur, ketika melihat ke luar jendela pesawat, melihat pulau-pulau kecil dibawah, indah sekali yang menandakan tidak lama lagi pesawat saya akan landing. Dada saya pun semakin bergemuruh.

Pukul 08.20 WITTA
Saya keluar bandara, ada adik saya yang sudah menunggu saya, Sakti memakai baju dan kerudung warna pink, celana jeans hitam dan sandal teplek, sandal favorit kami. Sakti terlihat lebih gemuk, tapi kummel, tidak terurus, bajunya lusuh, jauh dari modis, tetapi tetap cantik. “Sakti gw kangen lo, akhirnya bisa ketemu juga ya. “ Dengan mobil yang sudah ia siapkan, kami pun langsung meluncur ke Toko Agung di kota Makasar. 

Pukul 08.50
Kami tiba di Toko Agung. Merupakan sebuah toko buku terbesar di Makasar dan menjadi sentra penjualan perlengkapan tulis dan sekolah di Sulawesi Barat. Harganya yang jauh lebih murah dibanding dengan Gramedia atau toko buku lainnya serta barang-barang yang lengkap menjadikan toko ini seperti gula, yang siap dikerubuti masyarakat. Terlebih di waktu-waktu menjelang tahun ajaran baru ini. Penuh sesak, sepanjang hari. Pengunjung yang datang tidak hanya dari Makasar tetapi juga dari kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Di toko inilah adik saya dibantu teman-temannya wira-wiri ke gudang untuk membeli sebagian besar barang bantuan. Hari semakin terik, Sakti dan teman-temannya masih sibuk dengan pengecekan barang untuk proses loading ke truck. Hebat sekali mereka, membantu sepenuh tenaga tanpa pamrih. Pukul 13.30, semua barang berhasil di angkut ke truck.
Semenit kemudian, kami langsung meluncur untuk makan siang Palu Basah Serigala. Awalnya saya kaget “what? Kita mau makan serigala?” adik saya pun menerangkan, kalau Palu Basah itu sejenis sop konro, tapi yang membedakan di mangkoknya diberi kuning telur mentah yang kemudian diaduk bersama sop yang berisi aneka daging dan jeroan. Serigala, karena letaknya di jalan Serigala, dilingkungan sebuah komplek di sana. Sesampai disana, wow, restaurantnya penuh sekali. Saya semakin bersemangat untuk mencobanya. 1 porsi palu basah terdiri dari 1 piring nasi putih, 1 mangkok palu basah plus kuning telur mentah dan 1 gelas es teh manis. Mulut dan perut saya mengomandoi untuk memilih palu basah tanpa kuning telur. Rasanya hampir mrip dengan sop konro. Teman-teman sakti dan adik angkatnya makan dengan lahap sekali. Nambah berkali-kali. Saya? Mmm, masih harus beradaptasi sepertinya.


Setelah perut kenyang, kami kembali bekerja. Pergi ke toko olahraga dan toko music. Memastikan semua barang yang sudah dipesan sakti sebelumnya ready dan siap di angkut ke truck. Kami pun kemudian marathon ke toko lemari, membeli 2 buah lemari untuk menyimpan buku-buku bacaan untuk perpustakaan masyarakat kemudian dilanjutkan membeli sajadah untuk masjid di Limboro. 

Pukul 16.00
Alhamdulillah, sebagian besar barang bantuan sudah didapat, tinggal memonitor untuk masuk ke truck. Truck yang kita pakai sengaja didatangkan langsung dari Limboro. Bapak angkat sakti yang mengurus semuanya. Truck bersama 1 orang supir, adik angkat sakti dan 1 orang temannya khusus datang dari Limboro ke Makasar untuk mengangkut barang-barang bantuan tersebut.  Supaya lebih aman, kata bapak. Lagi pula memang hanya supir-supir Limboro lah yang tau medan Limboro dan terbiasa melewati jalur yang berat itu.
Sambil menunggu loading, kami melipir sejenak ke pusat oleh-oleh di Makasar, mencari kain dan souvenir untuk buah tangan nanti. Sejak satu setengah tahun yang lalu saya memang jatuh cinta dengan kain-kain tradisional Indonesia. Indah-indah sekali motifnya. Di sepanjang jalan ini ada beberapa Toko oleh-oleh, salah satu yang direkomendasikan adalah toko ujung dan toko riang. Barang-barang yang dijual relative murah di banding toko yang lain. O iya, ada sedikit hal yang lucu di deretan toko ini, banyak toko yang memakai nama bernuansa senang, ada toko riang, ada toko gembira, ada toko suka, toko senang dan beberapa lainnya. Puas berbelanja, kamipun memlipir ke Pantai Losari, menikmati kue pepe dan keindahan pantainya.



Pukul  19:00
Kami menyempatkan diri untuk mampir ke swalayan terbesar di Makasar, membeli oleh-oleh untuk bapak dan keluarga kak Alfard. O iya, saya belum mengenalkan kak Alfard, dia lah yang menjadi pengawal kami selama perjalanan ini. Guru olahraga, masih keturunan bangsawan yang memiliki keluarga berhati emas, keluarganya telah banyak sekali membantu Sakti selama bertugas di Majene. Bapak angkat Sakti dan keluarga kak Alfard pecinta apel. Tapi sayang di Majene harga apel terlalu mahal untuk dibeli, Rp. 5000 per buahnya. Jadilah kami memborong apel dan anggur untuk dua keluarga terbaik itu.

Pukul 20:00
Semua barang sudah masuk ke truck dan siap di berangkatkan ke Majene. Adik angkat sakti dan temannya ikut naik truck mengawal barang bantuan. Saya, adik saya dan Kak Alfard harus segera ke terminal. Kami naik bis malam menuju Majene. Bis yang kami naiki bernama Litha. Salah satu bis terbaik disana. Dengan membayar Rp. 85.000 per orang, kami bisa menikmati bis AC, seat 2-2 dan ada fasilitas selimut serta TV. Selain Majene, bis ini juga menawarkan ke beberapa tempat lannya seperti Mamuju, Toraja, Mamasa, Palu, Palopo dan Polimandar.


Pukul 20:30
Bis Litha yang kami tumpangi berangkat. Lumayan bagus dan bersih. Cukup nyaman untuk mengistirahatkan badan setelah seharian marathon dari toko ke toko. Saya duduk di sebelah adik saya, dekat jendela, kak Alfard duduk di seat sebelahnya. Dari awal Kak Alfard selalu mewanti-wanti kami untuk selalu mengepit tas tangan dan menyimpan barang berharga dengan baik, karena tak jarang ada beberapa tangan jahil yang dengan cepat bisa mengambilnya dari kita. 20 menit kemudian, saya mulai menikmati perjalanan. Tapi ketika kami memasuki terminal, kenek meminta kami untuk ngumpet di bawah kursi dengan posisi tiarap. Saya kaget, sempat deg-degan. Tapi Kak Alfard menjelaskan kalau sebelum terminal ada pemeriksaan dan sebenarnya kita hanya bisa naik bis Litha dari terminal ini bukan dari poolnya. Hampir 7 menit kami tiarap, persis seperti orang-orang illegal yang melewat border line. Saya punjadi teringat film trade. Keluar dari terminal kami diperbolehkan kembali duduk sesuai dengan posisi normal. Dan siap menikmati tidur malam di bis Litha menuju ke Majene.

7 Juli 2011
Pukul 02:30
Kak Alfard membangunkan kami dan meminta kami untuk bersiap-siap. Sudah mau sampai Majene rupanya. Tidak terasa, tidur yang cukup berkualitas. Terlalu lelah mungkin. Kami turun tepat di depan pintu pagar halaman rumah kak Alfard, saudagar makasar berketurunan darah biru itu yang melobby bis Litha untuk turun persis di depan rumahnya. Rumah yang cantik, halaman yang cukup luas. Sampai di rumah, kami langsung disambut dengan sangat hangat oleh keluarga Kak Alfard. Ternyata mereka telah menunggu kami dari kemarin. Ada kamar khusus yang disediakan untuk kami. Setelah berbincang-bincang sejenak, kami diminta untuk beristirahat di kamar. Jadilah kami tertidur hingga pukul 07.00 pagi. Bangun tidur, sudah tersedia sarapan lengkap dengan pudding dan beraneka rupa kue khas Majene. Beliau terlihat amat sangat menyiapkan semuanya untuk saya dan adik saya. Memperlakukan kami layaknya putri raja. Padahal saya hanya membawa apel dan anggur yang dibeli di Makasar serta pakaian muslim untuk bapak dan ibu Kak Alfard yang memang sengaja saya bawa dari Jakarta. Malu rasanya. Ketika asik bertukar cerita, ada seorang pemuda berpakaian adat lengkap datang bertamu. Wow keren, dengan atasan dan celana hitam, lalu dilibatkan sarung khas majene yang indah di pinggang serta topi menjulang ke atas, pemuda itu datang. Mengantar undangan pernikahan dengan menggunakan nampan yang indah. Ibu Kak Alfard bercerita bahwa begitulah tata adat untuk memberikan undangan disini.

Pukul 10:00
Kami pamit untuk mencari beberapa barang yang belum terbeli di Makasar. Destinasi pertama, kami memesan kain korpri untuk para guru di rumah salah satu kerabat Kak Alfard. Menjalankan salah satu amanah yang dititipkan oleh sahabat-sahabat terbaik saya.  Setelah itu, lanjut menuju ke tukang las besi untuk memesan 3 jenis permainan TK (ayunan, perosotan dan gelas putar), yang juga ternyata masih kerabat Kak Alfard. Kemudian dilanjutkan dengan mengunjungi pasar, mencari kain sutra mandar, melengkapi koleksi kain saya.

Pukul 12.30
Siang-siang terik kami menyempatkan diri untuk berkeliling kebeberapa tempat wisata yang terkenal di Majene. Adik saya dan Kak Alfard lah yang menjadi guide sejati. Saya, duduk dibelakang mendengar penjelasan mereka. Beberapa destinasi yang sempat saya kunjungi yaitu:
1.       Pantai Barane
Di pantai ini kita bisa melihat beraneka macam ikan hanya dengan menyebarkan roti di air. Selain itu ada jembatan panjang yang bisa digunakan untuk duduk-duduk santai.

2.       Pantai Dato’
Salah satu pantai terbaik yang dimiliki oleh Majene. Pasir putih dengan dikelilingi tebing. Dan ketika saya kesana, hanya ada kami bertiga. Serasa pantai pribadi. Sempat terpikir untuk mendirikan tenda dan menikmati pantai ini lebih lama lagi untuk sekedar membaca atau hanya bengong.

 
3.       Pantai Taraujung Pokki Taduang
Berlokasi di Desa Lalampanua, yang menarik adalah selain pantai yang tidak kalah indahnya dengan pantai-pantai di sepanjang Majene, di sini ada batu besar yang terbelah menjadi dua, dimana belahannya menjadi jalan lintas utama provinsi.
Perjalanan yang singkat tapi menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan. Lagi, tiada henti-hentinya saya bersyukur kepada Allah yang telah menciptakan alam ini dengan penuh kesempurnaan.

Pukul  15:00
Kami kembali pulang ke rumah untuk segera berkemas menuju desa Limboro. Sakti mewanti-wanti saya untuk mengambil uang di ATM, menyelesaikan semua urusan yang masih terpending. Karena 1,5 jam dari sekarang kami akan memasuki desa tanpa listrik dan sinyal. Saya pun pamit dengan Ibu dan seluruh keluarga Kak Alfard, pertemuan singkat yang sangat berkesan.
Perjalanan menuju desa Limboro pun dimulai. Kak Alfard berusaha untuk menyetir secepat mungkin, berusaha sampai poros utama desa Limboro sebelum pukul 16:30. “ini malam jumat kak, jarang yang mau ke desa” katanya. Ternyata malam jumat menjadi hari yang kramat untuk masyarakat disana. Sakti pun mengurai beberapa cerita seperti sering kali kecelakaan terjadi di malam jumat, setiap masyarakat yang membawa makanan apapun terutama ikan pasti selalu mengalami kejadian aneh, mulai dari hilang beberapa jumlahnya, tiba-tiba rusak motornya atau yang tetap nekad untuk pergi ke desa Limboro membawa ikan, sesampainya disana, semua ikan yang dibawa tidak memiliki mata. Percaya tidak percaya.
Waktu demi waktu kami mulai mendekati desa Limboro. “Desa gw, ada di balik gunung itu mba’. Sampai di poros kita harus ngelewatin 1 gunung dulu, 10 menit dari sekarang udah ga ada sinyal apapun” kata Sakti. Entah mengapa saya menjadi ciut. Antara takut, excited, semua campur aduk. Saya membayangkan bagaimana rasanya adik saya ketika pertama kali datang kesini sendirian. Serba asing.

Pukul  16:30
Kami pun sampai ke poros utama menuju ke Desa Limboro. “Kok berhenti Sak?” Tanya saya. “Iya, sebentar, nunggu supir dulu, ga ada yang berani naik keatas tanpa supir yang biasa ke atas mba’. Jalannya serem, kanan kiri jurang. Apalagi malam jumat kaya gini. O iy, nanti kalau gw kasih kode lo bilang assalamualaikum ya” katanya. “kenapa emangnya? Ah ngerjain gw lo?”. “ngapain juga ngerjainlo mba’, ada beberapa titik yang terjal yang sering kejadian kecelakaan, suka ada yang iseng”. “ah horror lo ah”. 15 menit kami menunggu. Supir yang ditunggu tidakjuga datang. “telpon lah Sak, nanti kemalaman lo”. “mau nelpon pake apa mba’?”. Saya baru ingat, tidak ada sinyal. Tidak ada yang bisa dibuat selain menunggu.

Pukul 17:00
Jawas, supir ahli yang biasa membawa hardtop pun datang. Kami bersiap melewati 1 gunung menuju ke Desa Limboro. Saya beruntung menggunakan rush. Adik saya biasanya naik motor (diantar adik angkatnya) atau hardtop. Sepanjang jalan, muka saya terlihat tegang, tidak berhenti berzikir. Benar. Medannya berat sekali.

Pukul 17:40
“Ibu Sakti pulang, Ibu Sakti pulang” puluhan anak mengarak mobil kami dari lapangan hingga ke depan rumah Bapak. Mereka semua telah menunggu kami. Bapak dan Ibu mencemaskan kami yang tak kunjung datang. Adik angkat Sakti berkali-kali harus turun ke poros utama, hanya sekedar menelpon memastikan kakak angkatnya baik-baik saja. Sakti memang menjadi anak emas buat Bapak dan Ibu. Dulu, ketika Sakti sakit, ibu tidak tidur semalaman menjaga Sakti.  Kami datang disambut masyarakat. Meriah sekali. Ada truck yang juga sudah datang dari siang tadi. Menunggu pembayaran dari kami. 
Saya masuk ke dalam rumah Bapak. Satu-satunya bangunan yang berdinding bata dan berlantai keramik di desa itu. Selebihnya rumah pangung, terbuat dari kayu yang didiami 3-6 keluarga di dalamnya. Beraneka macam minuman dan kue-kue disediakan untuk saya. Merasa sungkan dan tak enak sekali diperlakukan seperti ini. Dan lima menit dari sekarang saya pun terikat oleh adat disini. Sambil berbincang-bincang dengan Bapak, Ibu dan beberapa tokoh masyarakat lainnya, saya dipaksa meminum air aren. Khusus untuk pendatang katanya, biar selama disini dijagain. Baik, saya turuti. Memakan semua snack yang disediakan oleh Ibu. Teringat perkataan Sakti, “mba’ setiap makanan yang ditawarin, lo harus coba semua, biar selamat”. Dan beberapa kali dengkul saya pun di tepok oleh Sakti. “itu kaki ga boleh ditopang, ga sopan” saya yang terbiasa duduk dengan mengangkat kaki kanan dan menyilangkannya di kaki kiripun harus rela ditepok dengkulnya beberapa kali sama Sakti.

Pukul 19:00
Kami makan malam bersama. Makan besar sepertinya.  Sakti bilang biasanya hanya ada 1 jenis lauk di meja. Tapi ini khusus, ada 4 macam lauk sekaligus. Ikan goreng, ikan disambelin, ikan di sayur dan sayur Indomie. Dimana mewahnya, pikir saya. Setelah doa yang panjang, kami pun makan bersama. Ga boleh makan pakai sendok (masa’ makan pake kuah Indomie pake tangan?), tangannya dicuci dulu, ambil lauk sedikit-sedikit , ga boleh 1 ikan sekaligus, kalau sudah selesai air kobokannya dituang diatas piring sedikit. Ga boleh pergi sebelum semuanya selesai makan. Saya pun sukses menjaga behave saya. Setelah selesai makan, ada nasi merah khusus untuk saya. What? Makan lagi?
Dengan penerangan seadanya kami mulai mengiventarisir semua barang bantuan yang sudah di simpan Bapak dirumah belakang. Saling bahu membahu, mengecek semua, dan membuat bingkisan yang berisi tas, buku serta perlengkapan tulis dengan mengandalkan penerangan seadanya. Setiap rumah disini hanya dijatahi 3 buah jenis lampu bohlam. Itupun hanya menyala hingga pukul 10.00 malam. Selebihnya, gelap gulita. 

Pekerjaan pun selesai. Para ibu yang membantu pekerjaan ingin bermain rebana. Ya, jadilah kami menikmati malam dengan bermain rebana. Pintar-pintar sekali mereka. Sakti bilang, kalau Ibu-Ibu ini dulu sering menang lomba rebana. Tapi belakangan jarang ikutan lomba lagi, karena rebananya yang dipakai sudah amat sangat jelek. Ternyata itulah yang membuat para Ibu ini terus senyum dan sangat antusias bermain rebana. Rebana baru yang kami beli di Makasar. Saya? Sukses menjadi pengacau di kelompok rebana ini, beda dengan Sakti yang sudah mulai mahir menggunakan alat music ini.
Tidak terasa malam semakin larut. Letih. Saya pun izin untuk beristirahat. Saya tidur di kamar Sakti. Kamar yang berukuran 2 x 3 meter. Hanya ada tempat tidur dengan lapisan kapuk yang amat tipis dan keras, 1 lemari kayu dan meja belajar. Sederhana sekali. Tidak lama kemudian lampu pun mati. Jam 12 malam. Mereka mengeluarkan 2 jam listrik ekstra untuk menyambut saya.
Gelap semuanya. Aga sedikit sulit bagi saya untuk beradaptasi di malam pertama ini. Saya terbiasa tidur dengan lampu menyala, dan yang paling saya takutkan, jangan sampai di tengah malam saya buang air kecil terlebih buang air besar. Karena saya harus jalan ke belakang rumah, menuju sumur. Berbekal surat Ar Rahman, akhirnya saya pun terlelap. Menyusul adik saya yang sudah terbuai ke alam mimpi.

8 Juli 2011
07:00
Ketika membuka mata, sempat terkaget, sudah tidak ada Sakti di samping saya. Kemana anak itu. Pagi-pagi sekali Ia memulai aktivitas. Setelah mengumpulkan nyawa, saya pun pergi ke dapur, berbincang-bincang dengan Ibu sambil memberikan sedikit cenderamata yang saya bawa dari Jakarta. Sakti sedang mencuci baju rupanya. “biasanya ke kali nak cucinya, cuma karena terlalu banyak cuciannya, jadi mencuci di sumur rumah saja nak” kata Ibu. Adik saya mencuci seluruh bajunya sendiri. Ajaib. Padahal ketika di Jakarta, tangannya sangat alergi dengan detergent. Tak lama bapak pun datang. Kami bertiga terlibat dalam obrolan ringan, saling bertukar cerita, seperti seorang anak yang sudah lama sekali tidak berjumpa dengan orang tuanya. Saya pun berdiskusi tentang masjid yang sering Sakti ceritakan. Kebetulan Bapak lah yang menjadi ketua pengurus masjid. “Bapak, kemarin saya sudah membeli 50 buah sajadah untuk masjid. Titipan dari teman-teman saya di Jakarta. Maaf ya pak, hanya bisa memberikan sedikit. Tapi Insya Allah mudah-mudahan berkah”, kata saya. “Alhamdulillah nak, itu sudah jauh lebih dari cukup. Iya, kemarin Sakti sempat bilang, ada yang mau bantu untuk Masjid kita disini. Bapak sebenarnya miris sekali, masjid satu-satunya di kampung tapi keadaannya tak beda dengan bangunan tua yang tidak terawat. Makanya Bapak sedikit-sedikit merenovasi bangunannya. Ala kadarnya saja nak. Dan kemarin saya minta Sakti, uangnya dibelikan barang material saja. Untuk menambah renovasi yang lagi jalan sedikit-sedikit.” Kata bapak. “Iya Pak, ada uang sebesar Rp. 4.500.000, mudah-mudahan bisa sedikit membantu untuk membeli material ya Pak.” Sahut saya. “Alhamdulilah nak, Insya Allah. Bapak langsung turun kebawah ya, untuk beli semua barang material, nanti biar kuitansi nak Harni bawa ke Jakarta, mudah-mudahan nanti sore barang-barangnya bisa sampai di atas”, ujarnya. Saya pun menyediakan kuitansi lengkap dibubuhi dengan materai, tandatangan bapak dan cap pembangunan masjid. Insya Allah, semua amanah sudah tertunaikan. Hanya bisa melirihkan doa, semoga sahabat-sahabat saya senantiasa diberikan rizki yang berlimpah dan berkah. 

08.00
“Bapak, saya mau keliling desa dulu ya. Sekalian melihat masjidnya.” Dengan berbekal Nikkon DSLR, saya keluar rumah ditemani oleh belasan anak kecil dan Sudi, murid Sakti sekaligus asisten yang ia percayai untuk membantu apapun jika Sakti membutuhkan bantuan. Sudi, anak yang amat rajin. Ia dengan ringan tangan mengangkat semua barang-barang kami. Tak jarang membantu Sakti membereskan kamar atau sekedar membelikan minyak tanah atau mencari buah-buah hutan yang bisa dimakan untuk dibuat rujak. Jiwa-jiwa kecil itu menjadi guide saya. Tak ayal, kami seperti gerombolan sirkus . Saya pun mulai mengeksplore desa yang indah ini. Desa yang diapit oleh 2 buah gunung.
Benar kata Sakti, jumlah balita didesa ini banyak sekali. Setiap kepala keluarga memiliki 4-8 anak. Tidak ada akses KB, bidan hanya 2 minggu sekali datang. Sisanya masyarakat lebih mengandalkan pada dukun. Jumlah kematian balita cukup tinggi. Beberapa kali saya sempat berbincang dengan para Ibu disana “berapa Ibu punya anak?” jawabannya? “8 Bu, tapi mati 3”, “6 Bu, tap mati 2”, “7 Bu, tapi yang ada sekarang hanya  4”. Akses kesehatan yang minim membuat mereka tidak aware dengan kesehatan. Bayangkan mereka harus menempuh 1,5 -2 jam untuk mengakses Puskesmas terdekat. 1 PR untuk pemerintah.
Rumah masyarakat merupakan rumah panggung, terbuat dari kayu, dan dihuni oleh minimal 3-4 kepala keluarga. Saya tidak habis pikir, bagaimana caranya mereka berbagi space diruangan sekecil itu.
Hanya sedikit sekali rumah yang memiliki sarana MCK, sisanya menumpang di sumur-sumur sekitar desa atau di kali. Sayang kemarau panjang membuat kali terlihat sat airnya yang juga berpengaruh terhadap pasokan listrik. Karena memang listrik di desa ini mengandalkan tenaga air. Mereka sepertinya akan bersiap-siap untuk tidak menikmati listrik sedikitpun. Another home work for government.
Di sepanjang jalan, sering kali saya juga melihat hamparan cokelat yang dijemur. Cokelat memang merupakan salah satu komoditas utama di desa ini selain gula aren dan kemiri. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani kebun.
Tidak terasa sudah hampir pukul 10.00. Saya pun kembali ke rumah. Bapak dan Ibu sudah menungggu saya untuk sarapan.
Selesai sarapan, kami melaunching perpustakaan masyarakat. Buku-buku yang sudah dibeli di Makasar, kami keluarkan. Dan yang terjadi setelah ini, anak-anak disini seperti keracunan membaca buku. Pagi, siang, malam selalu datang ke rumah Bapak, untuk membaca. Senang sekali. Mereka terlihat amaze dengan puluhan buku-buku yang ada dihadapan mereka “wah bagus-bagus sekali ya bukunya, dari Jakarta ini” kata mereka. Kami berhasil menyebarkan virus membaca kepada mereka. Ketidakberadaan sikotak ajaib bernama TV menjadi keberuntungan tersendiri. Karena mereka akan terus meluangkan waktunya untuk membaca.
Menjelang siang, saya bersama dengan Bapak, Sakti, Kak Alfard serta guru-guru yang lain mulai menyiapkan untuk acara nanti sore. Bapak mengumumumkan dari rumah ke rumah kalau nanti Sore jam 15:00 di Sekolah ada acara pemberian bantuan secara simbolis, pembagian perlengkapan sekolah untuk anak SD dan TK sekaligus dengan perpisahan dan pengambilan raport. Baru kali ini mereka memiliki raport. Tidak ada satupun dokumen akademik yang mereka punya, kecuali ketika lulus SD nanti, selembar ijazah.
Rumah Bapak semakin ramai. “nanti jam 3 kalian semua kumpul di sekolah ya, pakai seragam, bawa orang tua kalian, mandi dulu semua sebelum datang, yang bersih, malu kalian semua nanti kalau di foto” kata Sakti. “Sak seragamnya warna merah putih aja” bisik saya. “nggak bisa begitu mba’, disini yang namanya seragam ya sudah cuma satu, mereka ada yang pakai merah putih, ada yang pramuka, ada juga olahraga atau kombinasi dari ketiganya, nanti lo lihat deh” What? Tidak ada seragam khusus. Kecuali ketika upacara di hari Senin. Mereka berusaha untuk memakai seragam merah putih. Dan baru tahun ini pula mereka mengenal upacara bendera.

Pukul 15:00
Puluhan anak sudah berkumpul di rumah Bapak, kami mulai mengangkut semua barang bantuan ke sekolah. Anak-anak membantu semuanya. Ada yang berjalan kaki sambil membawa peralatan olahraga, ada yang dengan menggunakan sepeda, motor, dan yang berat-berat dibawa Kak Alfard dengan mobil. Serru sekali. Sore itu sangat semarak. Sampai di sekolah, semakin ramai. Mereka semua menggunakan pakaian terbaik mereka.
Acara pun dimulai, setelah Bapak memberikan sambutan, giliran saya yang ingin memompa semangat anak-anak hebat itu. “Ibu ingin melihat kalian selalu belajar, membaca buku-buku yang ada di rumah Bapak, merawat semua bantuan yang sudah diberikan dan ayo susul Ibu di Jakarta, Ibu tunggu disana” dan acara pembagian perlengkapan sekolah pun dimulai. Senyum tidak pernah terlepas dari bibir-bibir mereka. Dada ini juga sesak, disesaki oleh semua senyuman mereka.

“Ibu, terima kasih sekali bantuannya, sampai 50 tahun yang akan datang, kami pasti selalu ingat hari ini” beberapa orang tua mengatakan kalimat itu kepada kami. “baru kali ini Desa kami diberi begitu banyak, diperhatikan dari Jakarta”
See? Sedikit yang kita berikan amat sangat berarti untuk mereka.

Pukul 17:30
Selesai acara, kami pergi ke pemandian air panas. “pergi berendam dulu nak, biar tidak terlalu cape’ badannya, kata Bapak” kami pun menuju kolam pemandian, menikmati hangatnya air. Sudi? Dia memetik buah-buahan yang bisa dimakan oleh gurunya, Sakti.

Pukul 19:30
Setelah makan malam bersama, saya diminta Ibu untuk keluar rumah. Ada pertunjukkan untuk saya. Subhanallah. Mereka menyiapkan acara khusus untuk saya. Pertama, saya disajikan kelompok anak yang bermain rebana. Mereka menggunakan rebana baru. O iy, kalian lihat deh, mereka menggunakan make up. Niat sekali ya persiapannya. Dengan menggunakan mukena, mereka memberikan 8 buah lagu untuk saya. Mereka menggunakan mukena, karena memang tidak memiliki kostum khusus. Jadi setiap tampil diperlombaan manapun, ya beginilah tampilan mereka. Tapi itu semua tertutupi dengan keindahan dan keharmonisan suara dan rebana.
Pertunjukkan berikutnya, rebana. Berbeda dengan sebelumnya, rebana ini besar-besar. Dimainkan oleh para pria dewasa. Mereka menabuh rebana dengan sangat riang sambil melantunkan ayat-ayat Aquran. Semarak sekali. Salut saya dengan mereka. Termasuk bapak. Biasanya rebana ini bisa kita lihat di setia acara pernikahan adat di desa ini. Lebih dari 20 menit, saya terpukau dengan alunan tabuhan rebana itu.
Selanjutnya kami pun makan-makan bersama. Saling bersenda gurau. Menikmati sejuknya udara desa dengan penerangan yang terbatas. Ibu yang menyiapkan semua makanan, dibantu oleh beberapa orang tua murid yang membawa beberapa jenis makanan khas yang sengaja mereka buat dari rumah.

Tidak terasa sudah pukul 23.00, efek berendam di air panas sore tadi membuat saya amat sangat mengantuk. Saya memilih untuk beristirahat di kamar. Padahal ternyata masih ada 1 pertunjukkan lagi. Keke. Alat  musik dari bamboo, seperti suling. Tapi dengan berat hati dan mohon maaf, saya hanya bisa mendengar sayup-sayup dari dalam kamar.

9 Juli 2011
Pukul 05:30
Selesai sholat, saya harus mengemasi semua barang. Pukul 08:00, kami akan keluar dari Desa Limboro, menuju Mamuju. Karena hari Minggu siang, saya harus terbang ke Makasar lanjut ke Jakarta. Berat sekali rasanya. Tidak ingin berpisah dengan mereka. Pertemuan yang amat singkat membuat saya benar-benar jatuh hati.
Pukul 08:00
“Ini dibawa semua ya nak” kata Ibu. “aduh Ibu mohon maaf, kalau saya bawa semua oleh-oleh ini saya tidak boleh naik pesawat. Keberatan pesawatnya.” Melirik 1 dus besar gula aren, 1 plastik besar beras ketan dan 1 toples besar kue-kue khas Mandar. “Ibu, saya ambil beberapa saja ya. Saya bawa ke Jakarta untuk Ibu dan teman-teman saya”. “terlihat kekecewaan di muka Ibu”. “udah mba’, bawa aja semuanya, nanti kita atur pas di Mamuju.” Bisik Sakti. Walhasil, semua oleh-oleh itu pun masuk mobil.
Kami siap menuju ke Mamuju, saya, Kak Alfard, Sakti, Sudi dan 2 orang anak terhebat dan terpintar di SD 19 Limboro, Nanda dan Tony. Sehari sebelumnya Sakti memang meminta izin ke saya, boleh tidak mengajak Sudi dan 2 anak terpintar disana. Tanpa ragu saya pun mebolehkan. Karena perjalanan pasti akan sangat serru.
Saya pun pamit dengan Bapak, Ibu, dan semua masyarakat yang berkumpul di depan rumah Bapak. Sedih sekali. Ada rasa tidak ingin pergi dari sini. “terima kasih banyak ya semuanya, maaf selalu merepotkan, ini yang pertama bagi saya datang kesini, tapi saya berjanji ini bukan yang terakhir. Suatu saat saya akan datang lagi” tidak terasa air mata saya pun menetes. Saya sempat berfikir, bagaimanadengan Sakti nanti ya. Ketika tugas pengabdiannya selesai. Pasti akan menjadisangat berat bagi dirinya meninggalkan desa ini.
Pukul 08:40
Kami sudah ada di puncak desa. Menunggu Jawas, supir yang mengantar mobil kami menuju poros utama. Ya lagi-lagi hanya orang tertentu yang bisa menyetir mobil melewati 1 gunung yang ada didepan kami menuju ke poros utama. Kak Alfard? Tidak berani mengambil resiko.  Sambil menunggu, kami pun menikmati alam rimba. Indah sekali. Ada laut terhampar luas di depan mata kami. Subhanallah.
Sudah hampir 40 menit, Jawas belum juga datang. Telepon? Tidak mungkin. Kak alfard pun menyetopi beberapa motor yang mau turun ke bawah, menitip pesan kalau Jawas sudah di tunggu.
Setelah menunggu 1 jam, Jawas pun datang. Kami bersiap melewati gunung. Bismillah.
Pukul 09:50
Kami tiba di poros utama dengan selamat. Dan siap menikmati perjalanan yang disuguhi pemandangan luar biasa indah.
Pukul 13.30
Selamat datang di kota Mamuju.
Kami tiba di kota Mamuju dengan selamat. Langsung mencari hotel yang layak. Saya ingin memanjakan anak-anak itu. Sakti memilih Hotel Srikandi. Fasilitasnya cukup baik. Dengan harga kamar Rp.330.000 per malam include breakfast. Letaknya di Jl. Pattalundru No. 10 (no telp. (0426) 21766, tidak jauh dari pantai Manakara. Salah satu pantai yang menjadi ikon kota Mamuju. Sebenarnya jika disuruh memilih saya lebih prefer hotel D’Maleo, salah satu hotel terbaru dan termegah di Mamuju yang terletak tepat dipinggir pantai Manakara (No telp: (0426)21937). Tapi rate per kamarnya Rp. 900.000 per malamnya. Sayang uangnya. Walaupun di ganti kantor, tapi saya harus mengcover 1 kamar yang lain dengan uang dari kantong saya. Lebih baik uangnya untuk mengajak mereka jalan-jalan. Lagi pula, menurut Sakti, Hotel Srikandi sudah cukup baik, karena hotel ini juga menyediakan antar jemput ke bandara secara gratis.
Pukul 14:00
Kami check in di hotel Srikandi, mengambil 2 kamar. 1 untuk saya, Sakti dan Nanda. 1 lagi untuk Kak Alfard, Sudi dan Tony. Kami memutuskan untuk istirahat sebentar. Jam 15:00 akan langsung meluncur ke acara kemilau Sulawesi.
Selama 1 jam istirahat, ada-ada saja kelakuan mereka yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Mulai dari Sudi yang mengeluh karena air di kamar mandi sangat panas, lebih panas dari air panas yang ada di Limboro (ternyata Sudi memutar kran terlalu ke kanan, jadi air yang keluar dari shower terlalu panas), Tony yang terlalu excited dengan telepon yang ada di kamar (setelah diajari kak Alfard, jadilah Tony menelepon ke kamar kami berkali-kali) dan sempat membuat Sakti marah “jangan kau main-main dengan telepon terus, 1 kali telepon kau bayar Rp. 10.000, sudah berapa kali kau telepon? Punya uang kah kau?” Adik saya ternyata memang galak. Lebih terbahak-bahak lagi melihat kelakukan si Nanda, kebiasaan mandi di kali, Nanda mandi di kamar mandi menggunakan kain. “tidak usah pakai kain nak mandinya, pintunya ditutup saja, putar kran ini, nanti akan keluar air dari atas” kata saya. Akhirnya kami pun tidak adi istrahat, mereka excited melihat TV, remote, perlengkapan mandi yang lengkap dan sandal hotel. “kalau kalian suka, kalian boleh ambil sandal hotel dan semua perlengkapan mandi yang ada di kamar, ketika kita pulang besok” ujar saya. Senang sekali melihat tingkah laku mereka.
Pukul  15:00
Kami siap keluar hotel menuju acara Kemilau Sulawesi di Pantai Manakara. Sesampai dipantai, ramai sekali, penuh. Acara pembukaan baru saja dimulai. Blessing sekali untuk kami. Bisa masuk ke acara itu. Mengikuti semua prosesi acara dengan lengkap. Sore yang indah dan semarak.

Selesai acara, kami berjalan-jalan di pesisir pantai manakara, menikmati kelapa muda sambil menunggu sunset. Lalu lanjut mengunjungi pameran. Ketiga kurcaci itu terlihat sangat menikmati jalan-jalannya. Mereka yang terbiasa tinggal di Desa sangat takjub begitu ramainya kota Mamuju. Mmm apalagi kalau ke Jakarta ya.


Puas berkeliling, saatnya mencari tempe. Saya kangen sekali dengan makanan yang berasal dari kedelai itu. Ada salah satu warung makan yangmenjadi andalan Sakti dan teman-teman Indonesia Mengajar lainnya ketika kangen masakan jawa. Warung pecel ayam. Slurp. Beberapa hari selalu disuguhi ikan, melihat ayam dan tempe, membuat perut saya berteriak kesenangan.

Pukul 21.30
Kami kembali ke hotel. Beristirahat. Tapi tidak untuk saya dan Sakti. Karena kami harus merekap semua pengeluaran, mengecek semua bukti-bukti transaksi keuangan dan meresume lewat excel via lapotop yang Sakti bawa. Melihat sakti yang sudah sangat lelah, saya memintanya untuk istirahat saja, biar saya yang merekap semuanya. Kalau nanti ada beberapa bukti transaksi yang tidak ada baru besok pagi kita cek kembali.

11 Juni 2011
05:30
“bukti-buktinya sudah ada semua?” kata Sakti. “udah kok, semuanya ada, nanti di rekap di Jakarta aja. O iya, nanti breakfastnya kalian pakai aja. Gw ga ikutan sarapan. Kasihan Sudi, Tony sama Nanda pasti belum pernah sarapan di hotel” ujar saya.
Pukul 07:00
Saya mengemasi barang, sedangkan sakti dan yang lainnya menikmati breakfast hotel. Pasti banyak kejadian lucu lagi dari tingkah laku anak-anak itu. “mba’ turun ke bawah donk. Sekalian bawa foto ya. Ini anak-anak lucu banget” sakti menelepon saya. “batere kameranya habis Sak, baru aja di charge, yah sayang ya” 1 jam kemudian mereka semua pun datang ke kamar, menceritakan betapa excitednya anak-anak melihat makanan yang begitu banyak, Nanda yang kebingungan mencari tempat mencuci piring, Sudi yang melihat roti seperti melihat intan di laut, Tony yang terus menerus menguyah merasa tidak ingin rugi. Ya, kami pun terhanyut dalam tawa.
Pukul 09:00
Semua barang sudah dikemasi, kami siap check out. Sebelum mengantar saya ke bandara Mamuju, kami ingin berkeliling kota Mamuju kembali sebentar. “kalian tidak bawa apa-apa kan dari kamar? Ingat hanya perlengkapan mandi saja dan sandal yang boleh kalian bawa. Selebihnya tidak. Nanti dibawah kalian diperiksa, jika ketahuan mencuri, dipenjara lah kalian” tiba-tiba Sakti bilang seperti itu ke Nanda, Tony, dan Sudi. Sepertinya Ia memiliki feeling yang tidak beres dengan anak-anak itu. Sudi dan Tony cengar cengir. “ayo apa yang kalian bawa, sini Ibu lihat, kalau ada barang yang kalian ambil, lalu kalian ditangkap, Ibu tidak mau bantu, Ibu tinggal kalian disini.” Tambah Sakti. 1 menit kemudian, Sudi dan Tony mengeluarkan handuk hotel, kain keset dan remote TV. “apa lagi yang kalian ambil? Keluarkan” . “sudah Bu, tidak ada lagi”. Sahut Sudi. “Benar?”  ujar Sakti sambil menyelidik. “benar Bu”. Aku Tony. “ya sudah, tidak boleh ya kalian mengambil yang bukan haknya” tambah Sakti. “Nak, kalau kalian mau, kalian bisa membeli semuanya nanti. Rajin belajarlah selalu, kelak ketika kalian sukses kalian bisa membelikan barang itu semua untuk Ibu kalian” saya menengahi. Sempat kagum dengan Sakti, begitu menjiwainya dia sebagai pengajar.
Pukul 11:00
Setelah berkeliling kota Mamuju, saya pun sampai di bandara. Sama seperti dengan kota-kota kecil lainnya di Indonesia. Bandaranya kecil sekali, sangat sederhana. Saya ingin menunjukkan kepada anak-anak itu rupa pesawat seperti apa. Tapi sayang mereka tidak boleh masuk. “ya sudah, ditinggal aj Sak, gw gapapa kok sendirian. Langsung ke Gentungan aja” ujar saya. Sakti memang ingin mengajak anak-anak bermain di wisata air Gentungan, sejenis waterboom mini seperti di Jakarta. Saya pun memeluk adik saya. “terima kasih banyak ya. Jaga diri baik-baik. Gw bangga punya adik kaya lo”. “sama-sama Mba’, titip mami ya” ujarnya. Air mata saya pun kembali menetes. Mengucapkan selamat tinggal kepada Kak Alfard dan anak-anak hebat itu.
Pukul 12:00
Setelah menunggu selama 1 jam di bandara yang sederhana ini, pesawat wings air yang akan membawa saya ke Makasar datang juga. pesawat kecil dengan seat 2-2, tapi jauh lebih besar dibanding pesawat-pesawat perintis yang pernah saya naiki di papua. Di Mamuju memang hanya ada 2 jenis flight, wings air beroperasi setiap hari, pukul 12.15 dari Mamuju ke Makasar, ada juga merpati, tapi hanya beroperasi di jumat-sabtu-minggu pukul 08:00 pagi.

Pukul 12.15, Pesawat saya sudah mulai take off menuju Makasar lanjut ke Jakarta. Sedih meninggalkan mereka. Tetapi hidup harus terus berjalan. Rezeki saya ada di Jakarta. Harus lebih bekerja keras untuk bisa lebih berbuat banyak. Terimakasih Ya Rabb untuk semua anugrah ini. 


Untuk Limboro

Allah maha baik, setelah sebelumnya saya hanya dapat mendengar cerita dari Sakti, Allah mengizinkan saya untuk menyusulnya kesana. Tidak hanya sekedar menyusul tetapi juga membawa hati dan cinta untuk mereka. Tanggal 5-10 Juli saya akan berangkat ke Limboro, sendiri. Menjalankan 2 program bantuan, menemui adik dan menikmati waktu bersamanya disana.

Beberapa hari sebelum keberangkatan saya berkomunikasi secara aktif dengan Sakti, menanyakan apakah ada hal lain yang bisa dibantu untuk mereka. Karena jika iya, saya akan menodong sahabat-sahabat saya disini. Dan hasilnya adalah, saya menuliskan notes seperti dibawah ini yang saya kirimkan ke sahabat-sahabat terbaik saya: 

Suara azan telah berkumandang di senja cerah itu, di hari-hari awal adik saya menginjakkan kaki di tempat yang tidak pernah dia kunjungi sebelumnya. Di sebuah desa terpencil di pelosok Majene, Sulawesi Barat. Desa yang berada tepat di tengah-tengah pegunungan. Dia pun beranjak menuju ke tempat suara azan yang telah memanggil tersebut. Jaraknya tidak jauh dari tempat dia tinggal di desa ini. Tempat tinggal dimana dia, mendapatkan keluarga baru, termasuk bapak baru.
Sakti begitu kaget ketika pertama kali dia menginjakkan kaki di gerbang pintu masjid. Masjid tersebut tampat tidak seperti masjid. Dia pikir, bangunan tua itu adalah rumah tua yang sudah lama tidak dihuni. Kondisi bangunannya sangat buruk. Beberapa pagar depan sudah rubuh. Catnya sudah tidak kelihatan lagi karena luntur terkikis air hujan. Kayu-kayunya pun sudah lapuk termakan rayap.
Ketika dia mulai memasuki masjid, dia baru yakin bahwa itu memang mesjid karena ada tempat mimbar di depan. Masjid itu terlihat gelap. Hanya ada satu lampu kecil di dekat mimbar. Dan memang Desa itu belum masuk listrik. Jadi, listrik yang dipakai adalah dari tenaga air yang hanya hidup dari jam 6 sampai jam 10 malam. Kadang kurang dari jam jatah jam tersebut. Tentunya juga dengan daya yang sangat terbatas. Jadi wajar saja jika mesjid itu hanya diterangi oleh sedikit sekali cahaya.
Jangan bayangkan mesjid itu berkarpet indah seperti masjid di kota-kota. Keramik saja tidak ada. Jadi jika ingin shalat di masjid itu, kita harus menyapu sendiri dulu, kemudian baru menggelar sajadah yang kita bawa sendiri. Kondisi masjid yang kurang baik di sini bukanlah karena masyarakat di desa ini tidak peduli pada masjid. Desa ini termasuk desa yang miskin. Penghasilan mereka hanya didapat dari hasil berkebun. Mencari kopi, coklat atau menanam apa sajalah untuk makan.
Ditengah keadaan masjid tersebut ada lentera lain, yang menyala terus, tanpa padam. Mereka lah para pahlawan tanpa tanda jasa. Mengabdikan hidupnya untuk mendidik para penerus bangsa. Salah satu lentera itu bernama Pak Basir. Lebih lengkapnya, sahabat bisa membaca link blog adik saya di http://blog.indonesiamengajar.org/saktianahastuti/2010/12/09/keteladanan-di-tengah-keterbatasan/untuk mengenal lebih jauh tentang lentera bersahaja tersebut.
Tidak hanya Pak Basir, para pahlawan tanpa tanda jasa lainnya pun, sepertinya keterbatasan sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Dengan fasilitas yang terbatas dan akses yang juga sangat terbatas, mereka tetap setia mengajar di desa itu. Seperti yang diceritakan adik saya, ada salah satu guru perempuan di sekolah ini. Namanya Ibu Salwati. Ia merupakan guru olahraga di sekolah. Tempat tinggal Ibu Salwati sangat jauh dari sekolah. Ia tinggal di Pamboang yang jaraknya 45 km dari SD Limboro. Ia tidak di Limboro karena harus menjaga ibunya yang sakit. Oleh karena itu, ia harus bolak-balik Limboro—Pamboang.
 Jangan bayangkan jalan menuju SD 19 Limboro seperti jalan-jalan mulus dan datar di sekolah-sekolah Jakarta. Perlu keberanian dan kemampuan yang tinggi dalam berkendaraaan untuk sampai ke sekolah itu. Kondisi jalan yang rusak, berkelok-kelok, jurang-jurang di tepi jalan dan kemiringan jalan yang mencapai 45—60 derajat harus dilalui untuk menuju ke sekolah itu.
Di tengah keterbatasan akses tersebut, Ibu Salwati juga tidak menyerah. Setiap hari, ia berangkat mengajar dari Pamboang ke Limboro dengan menaiki sepeda motor. Perempuan yang memang perkasa. Begitulah kira-kirasebutan yang pantas untuknya. Jika melihat kondisi jalan, jelas terlihat ia menaruhkan nyawanya untuk sampai ke sekolah. Namun ia tidak pernah mengeluh. Ia tetap setia mengabdi menjadi guru di desa terpencil.
Sahabat-sahabat ku yang terbaik, tidak lama lagi kita memasuki bulan Ramadhan. Masjid tentunya menjadi tempat yang paling semarak selama 30 hari tersebut. Dan terlihat lebih semarak apabila kita ikut menyemaraki dari koin-koin yang ada di pundi-pundi kita untuk membeli karpet masjid. Hanya sebatas karpet masjid, mungkin terlihat ‘hanya’ bagi kita, tapi bagi mereka, tentu merupakan suatu hal yang ‘bukan hanya’.
Dan sahabat, tanpa bermaksud menghitung-hitung dengan Allah, sedikit yang sahabat berikan, akan menjadi Investasi besar untuk bekal kita di akhirat kelak. Bulan Ramadhan, seluruh masyarakat di Desa Limboro akan berbondong-bondong ke masjid itu, banyak, semarak, pahala berkali lipat. Sepertinya akan menjadi Investasi yang cukup besar untuk bekal kita kelak.
Dan sebagai sedikit balas jasa kita kepada para guru, saya mengetuk teman-teman untuk memberikan seragam kepada para lentera ilmu di Desa itu. Ya, ada 7 guru yang setelah berpuluh-puluh tahun mengabdikan dirinya tidak memiliki seragam batik korpri. Seragam yang seharusnya mereka pakai ketika ada upacara, seragam yang menjadikan mereka terlihat gagah dan berwibawa di depan para siswanya, seragam yang mengidentikan mereka bahwa mereka pahlawan, walau tanpa symbol, seragam yang bisa memecut semangatnya untuk terus menelurkan generasi hebat di negeri ini.
Sahabat, hanya karpet dan seragam korpri, itu saja. Estimasi biaya yang dibutuhkan:
-          Karpet: Rp. 60.000-250.000 per meter, dibutuhkan minimal 45 meter.
-          Seragam korpri:  Rp. 80.000 untuk bahan, dan Rp. 50.000 untuk ongkos jahit. Jadi butuh Rp. 130.000 untuk 1 guru.
Jika berkenan, sahabat bisa menitipkan sebagian rezekinya kepada saya. Hari Rabu dini hari, saya berangkat ke Majene. 2 jam 20 menit menggunakan pesawat udara ke makasar, lanjut dengan bis selama 8-9 jam menuju Majene dan naik motor selama 50 menit menuju Desa Limboro. Semoga sedikit yang kita berikan bisa menjadi keberkahan yang tiada henti untuk kita semua.

1 hari menjelang keberangkatan, sudah ada uang sebesar berjumlah Rp. 7.193.000. Jumlah yang bisa dibilang cukup besar sekali untuk mereka, dan menjadi amanah yang tidak kecil juga bagi saya untuk menyampaikan kepada mereka.  Dan sesuai dengan rencana, uang tersebut akan digunakan untuk membeli seragam korpri dan karpet masjid serta sedikit menambah untuk renovasi masjid. Semoga Allah membantu saya untuk memberikan amanah ini dengan sebaik-baiknya.