Berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya, tulisan berikut mungkin akan sedikit panjang dan menjadi beberapa seri. Tulisan yang berisi, keindahan skenario Allah yang memilih saya untuk bersahabat dengan Endometriosis. Mmm, mungkin saya akan menceritakan sesuai dengan kronologis tanggal saja ya. Sekaligus menjadi special rekam medis versi saya.
Oktober 2010
Tahun ini sama dengan tahun sebelumnya, saya melakukan medical check up dari kantor di RS Sahid Sahirman sebagai salah satu kebijakan dari kantor. Kebijakan yang sangat baik, dimana perusahaan sangat aware tentang kesehatan karyawannya. Ya, jadilah saya diperiksa dari ujung kaki sampai ujung rambut, komplit. Hasilnya? Alhamdulillah, saya sehat. Fungsi hati, jantung, pencernaan dan semua panca indera masih normal. Tetapi tidak dengan rahim saya. Dalam hasil MCU tersebut saya didiagnosa terkena kista 2,8x2,3 cm. Shock. Saya pun langsung menghubungi Mba’ Vina, seorang obgin yang saya kenal ketika kami sama-sama bekerja sebagai relawan di Pusat Krisis Terpadu RSCM utnuk menangani kasus-kasus rape, Child sexual abuse dan kasus-kasus KDRT. Berkecimpung di PKT RSCM selama lebih dari 3 tahun (semenjak kuliah semester 7 hingga Mei 2010) membuat saya mengenal dekat banyak dokter, yang kami pun mendefinisikan para kru PKT ini sebagai saudara, ya kru yang berisi para wanita hebat, tangguh dan memiliki pengabdian luar biasa.
Kembali ke Mba’ Vina, setelah menghubungi beliau, saya pun membuat janji untuk bertemu di RS MMC Kuningan, pada hari Sabtu, sepulang saya belajar akuntansi madya di FEUI. Sedikit aneh, datang di Sabtu sore ke Obgin, sendirian, membawa tumpukan buku akuntansi. Di depan dan samping saya, banyak sekali Ibu, hamil, ditemani dengan sang suami, beberapa disertai anak atau ada juga yang bersama Ibu atau Ibu mertuanya. Sempat risih, tapi saya memilih menyibukkan diri dengan membaca saja. “Mba’ Vina, aku udah diluar ya”, sms saya. Beberapa menit kemudian saya pun masuk. Awalnya kami bercerita, temu kangen, memang semenjak PKT RSCM berubah struktur, sebagian besar dari kami terpaksa tidak dapat bergabung kembali di PKT RSCM. Then, saya pun di USG, kista hilang, bersih, tidak ada sama sekali. Kesimpulannya adalah kista fungsional, kista yang memang tumbuh menjelang haid, dan akan hilang setelah haid. “tuh ga ada, kosong kok rahimnya, oke, sudah siap banget niy untuk dibuahi” katanya. Saya pun pulang bernapas lega. Beban dipundak selama beberapa minggu langsung hilang. Alhamdulillah
17 Oktober 2011
Pagi-pagi buta, saya dan Kepala Grup saya sudah siap berpetualang menuju Bandung Utara lanjut ke Bandung Selatan. Saya sudah siap dengan netbook, buku dan beberapa kerjaan yang bisa dikerjakan sepanjang perjalanan panjang hari ini. Tapi sesampai di tol Cipularang, tiba-tiba perut saya kram. Hebat. Keringat dingin pun keluar. Saya hanya bisa menahan sakit sambil beristigfar. Kepala Grup saya dan driver tidak tahu. Memang belakangan ini, saya sering diserang kram perut. Hingga beberapa kali terpaksa tidak masuk kantor. Diagnosa awal saya, setiap kali stress tinggi maka kram perut pun datang. Atas dasar itu saya pun berusaha rileks, beristigfar, kram mulai mereda. Aktivitas outdoor sudah didepan mata.
18 Oktober 2011
Setelah menikmati kram dan berpetualang Bandung Utara-Selatan. Selasa pagi, saya menuju ke RS Siloam Kebun Jeruk. Kembali untuk medical check up. Yup, seperti di tahun 2010, di tahun ini pun saya kembali MCU, fasilitas dari kantor. Tes dimulai, kembali dari ujung kepala hingga ujung rambut. Alhamdulillah semua normal. Tetapi, perasaan dan pikiran saya mulai kacau ketika pemeriksaan USG rahim. Dokter yang memeriksa melihat ada 2 kista sebesar 6 cm, 1 di ovarium kiri dan 1 di ovarium kanan serta 1 miom berukuran 3 cm di rahim saya. Shock. Bagaimana mungkin, tahun lalu rahim saya bersih. Tahun ini mengapa begitu ramai di rahim saya. Saya mencecar berbagai pertanyaan kepada dokternya, mulai dari meminta dia memeriksa ulang, sambil terus memperhatikan layar USG, bertanya, kista atau miom? Atau kanker? Atau itu sebenarnya kista folikel karena saya menjelang haid? Bagaimana mungkin dalam waktu 10 bulan bisa secepat itu pertumbuhannya, selama ini ketika haid saya pun tidak pernah sakit, pola hidup dan pola makan sehat, memang beberapa kali saya kram perut tetapi stress-lah sebagai pemicunya bukan 2 jenis benda asing itu. Namun sayang, saya tidak mendapat jawaban yang baik. “udah mumpung belum nikah diberesin aja semuanya, nanti konsul ke obgin” kata dokternya. Hah? Mumpung? Diberesin? Pikiran saya pun kacau, sempat linglung dan berjalan seperti melayang.
Then, saya meminta penanggungjawab MCU untuk memeriksa ulang kembali dengan dokter lain dan dengan alat lain yang lebih cangggih. Saya meminta USG 4 dimensi, dengan menggunakan USG Doppler. Beruntung ada alat baru yang baru saja datang dari luar negeri, ada beberapa dokter asing yang juga sedang mencoba Doppler. Dan saya pun menjadi model alat baru itu. Tetapi hasil menunjukkan bahwa memang benar, ada kista 6 cm sebanyak 2 buah dan miom sebesar 3 cm sebanyak 1 buah. Saya pun meminta melihat keganasan dari 3 benda asing itu, dari USG Doppler kita memang bisa melihat apakah benda-benda asing itu ganas (kanker) atau tidak melalui perubahan warna, grafik kekentalan dan adanya pembuluh darah didalam benda-benda asing tersebut. Alhamdulillah layar USG menunjukkan jenis ke 3 benda itu bukan kanker.
Sedikit tenang, saya pun langsung menghubungi Mba’ Vina kembali, menceritakan kronologis dan janjian untuk bertemu hari Kamis sore tgl 27 Oktober 2011 di MMC Kuningan.
27 Oktober 2011
Hasil dari MCU semuanya sudah keluar, termasuk hasil pemeriksaan USG 2 dimensi dan Doppler. Pukul 16:30, saya izin pulang kantor lebih cepat menuju MMC Kuningan. Sebelum berangkat, saya sempat berujar ke Mba’ Vena, salah satu teman kantor “Mba’ perasaanku kok ga enak ya, baru kali ini aku periksa terus ngerasa takut”. Sesampai di MMC, ternyata pasien Mba’ Vina cukup banyak, saya sms mba’ Vina, dan ya, kondisi datang ke obgin, seorang diri, kadang membuat saya tidak nyaman. Saya pun memilih membuka netbook. Menyendiri. 30 menit kemudian saya pun dipanggil masuk. Setelah berhahahihihi, saya pun kembali di USG. Dan yang saya takutkan pun ternyata menjadi kenyataan. Mba’ Vina dengan sangat wisenya menjelaskan kalau benar ada 2 kista sebesar 6 cm, dan miom 3cm. jenisnya adalah endometrium sehingga saya di diagnosa terkena endometriosis. Tanpa sadar saya pun meneteskan mata. Mba’ Vina kemudian dengan sabar menceritakan, Endometriosis menurut penjelasan Mba’ Vina, merupakan salah satu kelainan gen dan hormonal, endometrium secara normal letaknya di dalam rahim (dinding rahim) lapisan ini ketika haid akan meluluh dan keluarlah darah haid. Tetapi ternyata di ovarium saya juga memiliki lapisan endometrium di luar tempat yang semestinya, yatu di ovarium, sehingga setiap kali haid, dia juga akan menghasilkan cairan darah tetapi karena tidak bisa keluar, maka ditampunglah. Dan setiap kali saya haid, lapisan endometrium ini pun ikutan haid (mengeluarkan cairan darah) dan karena tidak bisa keluar, maka akan menumpuk. Begitu seterusnya. Kista endometriosis ini juga sering disebut kista coklat, karena memang isinya berupa cairan coklat (darah haid). Selama saya haid, maka selama itulah kista akan terus tumbuh. Semakin besar. Penyebabnya? Belum ada yang tau secara pasti. Tapi sudahlah daripada memikirkan penyebabnya, yang terbaik adalah bagaimana dengan pengobatannya. Berbeda dengan jenis kista yang lainnya, yang bisa mengecil tau bahkan menghilang, untuk kasus kista endometrius terutama untuk ukuran diatas 5 cm, pilihannya adalah: suntik trapos yaitu suntik untuk menghentikan hormon estrogen, dengan kata lain, saya harus menopause dini. Karena jalan satu-satunya untuk membuat kista tidak semakin besar adalah dengan membuat badan saya tidak haid. Dampaknya, ya seperti orang haid, hot flush, terus berkeringat walaupun diruangan ber AC, nyeri disetiap sendi, pegal-pegal, emosi tidak stabil dan kulit kering. Ya sepanjang umur saya. Tidak lagi haid. Opsi kedua, operasi. Baik laparotomy (cesar) maupun laparoskopi (membuat sayatan sebesar 2 cm di pusar dan 1 cm dimasing-masing perut kanan dan kiri, untuk kemudian dimasukkan kamera dan diambil kistanya). Tidak ada cara untuk mengecilkan ukuran kista apalagi menghilangkannya. Dan operasi SEGERA. Saya, lemas. “Terus Mba’ untuk saat ini aku harus apa?”, Mba’ Vina menyarankan untuk cek keganasan (kanker) lewat test darah CA 125. Berdasarkan informasi, Test CA 125 penanda tumor (tumor marker) merupakan suatu protein yang konsentrasinya sangat tinggi pada sel tumor. Meskipun CA 125 juga terdapat pada berbagai jenis kanker namun konsentrasi zat ini paling tinggi ditemukan pada kanker ovarium. CA sendiri merupakan singkatan dari Cancer Antigen. CA 125 umumnya diukur dari sampel darah yang diambil dari orang yang dicurigai menderita kanker atau untuk memonitor keberhasilan pengobatan kanker ovarium. CA 125 juga bisa diukur berdasarkan pemeriksaan cairan yang diambil dari rongga perut dan rongga dada. Nilai normal CA 125 bervariasi pada setiap laboratorium, namun sebagaian besar laboratorium menggunakan angka dibawah 35 U/ml. Karena Mba’ vina masih ada beberapa pasien dan saya pun sudah hampir 1 jam konsultasi di dalam, akhirnya, saya pun menuju ke Lab untuk periksa CA 125, dan membuat janji untuk ketemu hari Kamis depannya untuk konsultasi lebih lanjut.
Saya. Lemas. Pucat dan mulai menangis. jalan menuju ke ruang Lab, tetapi seperti tidak menapak. Selesai ambil darah, menuju ke kasir, saya langsung keluar mencari taksi dan menelpon Putu, salah satu sahabat saya atau bisa dibilang seperti adik saya sendiri. Putu lah yang menjadi tempat sampah saya pengganti Sakti. “Putu gw kalut, pengen cerita, gw kekosan ya”. Jalanan yang macet, kalut, menelepon Sakti tetapi selalu tidak aktif, menelepon Ibu, mmm sepertinya malah akan menambah masalah. Saya pun menelepon Ibu Andam, salah satu Kepala Grup di divisi saya, yang sudah saya anggap seperti Ibu sendiri. “Ibu Andam, saya harus operasi, kista dan miom harus segera diangkat, supaya tidak semakin membesar, tidak ada jalan lain.” Saya kemudian histeris. Tidak bisa berpikir. Tumpul. Ketakutan-ketakutan muncul. Pertanyaan-pertanyaanpun muncul, “Kenapa harus saya lagi Bu yang dicoba?, saya cape’. Ga kuat.” Ibu Andam pun mengayem-ngayemkan. Tapi saya denial. “Kenapa bukan orang lain, kenapa harus saya?, Selama ini saya sebisa mungkin berbuat baik sama orang lain, kenapa saya terus yang dicoba?”, kembali Bu Andam menenangkan, tapi saya semakin histeris. “Bu Andam, saya harus operasi, kuliah saya gimana? Aktivitas saya?” Ibu Andam menjelaskan. Saya kembali denial. Semua yang dibicarakan Bu Andam, saya mentalkan kembali. “Bu Andam, saya pasti susah hamil, mana ada yang mau sama saya.” Ibu Andam pun kemudian mengatakan kalau ada Allah dibelakang semuanya, berprasangka baik. Tetapi sayang kembali saya mentalkan. Sesampai di tempat Putu, saya hanya duduk, dipeluk dan menangis. lama sekali. Menangis yang terasa perih. Ya, saya ingin memuaskan diri menangis di kosan Putu. Karena ketika saya pulang, saya tidak mau Ibu tahu. Karena yang ada, Ibu pasti lebih terpukul. Saya memilih menyembunyikan cobaan ini sendiri hingga kelak saya kuat untuk bercerita kepada Ibu. Kepala saya pening sekali malam itu. Ingin rasanya tidak pulang, tetapi ada Ibu yang menunggu dirumah. Dengan keadaan yang payah seperti ini, kami pun berdua melakukan konseling dengan menlist ketakutan-ketakutan saya. Derajat pertama: saya operasi, recovery yang tidak nyaman selama 6 bulan kedepan, aktivitas yang tidak bisa lagi seheboh sekarang. Selebihnya saya akan tetap bisa menikah, memiliki anak, banyak. Derajat kedua: setelah operasi, endometrius yang memang memiliki kekambuhan tinggi, saya pun harus merelakan 4 tahun kemudian untuk operasi lagi, terapi hormone 6 bulan lagi dan seterusnya, tidak ada pria yang mau dengan saya ketika mereka tau kondisi saya, dan tidak ada anak. Derajat ketiga, saya hidup dengan endometriosis,merelakan sebagai single seumur hidup, dan berdamai dengan kondisi tersebut. Namun sayang, kondisi saya kembali kalut. Tidak bisa berfikir secara baik.
Setelah menenangkan diri, pukul 23:00, saya pun pulang ke rumah. Ibu sudah mengantuk, saya pun langsung menuju ke kamar, kembali menangis.
28 Oktober 2011
Keadaan yang masih atau bahkan makin payah membuat saya tidak kuat ke kantor. Saya pun izin tidak masuk kantor, dan yang saya lakukan adalah tidur. Ya tidur, berharap semuanya mimpi. Semua handphone saya matikan. Really need Me Time to answer why Allah Choose me? Saya pun berbohong kepada Ibu, kalau hari itu saya cuti, tidak masuk kantor.Ya hari itu, saya seharian hanya tidur, ketika bangun yang ada hanya menangis. Setiap kali saya mengaca didepan cermin, saya sangat benci melihat perut saya. Didalamnya ternyata ada 3 benda asing yang memenuhi rahim saya. Beberapa kali saya sempat mengngrues perut saya. Benci sekali melihatnya. Menelepon Sakti, kembali tidak aktif. Semakin kalut.
Berkali-kali saya bertanya, Ya Allah kenapa harus saya yang menerima penyakit ini? Kenapa bukan wanita-wanita jahat diluar sana. Setiap kali keluar kamar saya harus menata hati, kuat, tegar dan berperilaku seolah tidak terjadi apa-apa di depan Ibu. Paper terbengkalai, bahan-bahan materi ujian belum tersentuh sama sekali. Penat sekali. Malas memikirkan apapun.
Saya pun kemudian menghubungi salah satu sepupu saya (dokter spesialis patah tulang), hasilnya ya, saya harus operasi untuk mencegah infertile. Karena ukurannya masih dibawah 8 cm, maka bisa dilakukan dengan laparoscopy, untuk meminimalisir invasi. Ya dengan laparoscopy, saya tidak perlu dibelah lebar perutnya untuk mengambil benda-benda asing itu. Cukup 2 cm di pusar, masing-masing 1 cm di kiri dan kanan. Dengan begitu, recoverynya juga semakin cepat. Bisa meminimalisir ganguan aktivitas yang saya punya.
Sabtu, 29 Oktober 2011
Untung saja kuliah libur, jadi saya bisa lebih mengoptimalkan menata hati. Saya pun konsultasi psikologis ke salah satu teman psikiater dan sepupu saya. Mereka mengubah mindset saya secara total. Pertanyaan kenapa harus saya? Ya karena memang saya termasuk orang-orang terpilih, saya terus dipilih untuk diuji oleh Allah karena saya orang pilihan. Living with Endo tidak seburuk yang saya bayangkan. Kemungkinan hamil selalu ada. Pasrah kan semuanya kepada Allah, karena ketika Allah memberikan cobaan, Allah pulalah yang memberi jalan keluar. Banyak wanita diluar sana yang rahimnya dalam keadaan sehat dan normal tapi juga tidak bisa hamil karena ya Allah lah yang belum menghendaki mereka hamil, dan tidak sedikit mereka yang terkena penyakit entah kista, miom atau bahkan kanker, tetapi ketika Allah menetapkan untuk hamil dan memiliki banyak anak, maka ya sudah. Kun fayakun. Banyak contoh yang diberikan kepada saya, seperti shanaz haq yang dengan 1 indung telur pun bisa hamil 4 anak, sahabat jauh yang sudah disteril rahimnya tetapi tetap memiliki 3 anak, atau bahkan teman di UGM saya yang tiba-tiba memberi kabar bahwa dia hami, padahal sebulan sebelumnya ketika mereka baru saja menikah, baru diketahui kalau rahimnya terbalik, sehingga butuh effort yang amat keras agar bisa hamil, tetapi hari ini dia memberi kabar, kalau dia hamil. Ya, masalah rezeki, jodoh, maut semua sudah diatur. Saya pun belajar untuk mencerna semuanya, dan menerima. Ya, menerima kondisi ini merupakan pelajaran yang cukup sulit untuk saya. Selebihnya saya harus pasrah.
Senin, 31 Oktober 2011
Saya mengumpulkan semua energy positif di Senin pagi. Masuk kembali ke kantor, melakukan aktivitas senormal mungkin, berdamai ketika melihat rahim saya. Dan Allah pun mempertemukan dengan Upay, salah satu sahabat terbaik saya di stasiun Pondok Kopi. Kami pun berangkat ke kantor bareng. Saya pun bercerita tentang kondisi saya, ya sebagai latihan diri menghadapi teman-teman kantor, terutama teman 1 divisi. Saya bisa bercerita dengan tenang. Yup! Saya sudah mulai bisa menerima kalau ya, Im living with Endo.
Kamis, 3 November 2011
Sesuai jadwal saya kembali ke MMC untuk bertemu dengan Mba’ Vina, kembali konsul mengenai hasil test Lab CA 125. Setelah berbuka puasa saya segera meluncur ke MMC. Hasil Lab CA 125 saya sebesar 159. Ya, jauh diatas normal. Baik ada benda asing maupun tidak di dalam rahim ketika di cek CA 125 seharusnya nilainya berkisar 0-35. Tetapi, saya, 159, artinya high potencial to cancer. Kaki saya kembali lemas. Tetapi kali ini saya terus beristigfar. Sembari mengabarkan Putu. Dan tanpa disangka, 10 menit kemudian Putu datang menyusul saya. Entah mengapa kehadiran dia begitu luar biasa bagi saya. Ya, saya butuh support. Saya butuh orang-orang disekeliling saya. Pukul 20:15, saya masuk ke ruangan Mba’ Vina bersama Putu dan Mba’ Alva (salah satu teman kantor yang juga ikut second opinion ke Mba’ Vina). Ya, kami pun menganilisis factor CA yang tinggi dengan kriteria kanker. Ada beberapa kriteria kenapa sebuah tumor atau kista dikategorikan sebagai kanker, Kriteria pertama, nilai CA tinggi, beberapa ada yang 800an atau ribuan, saya 159, cukup tinggi tetapi masih bisa dibilang rendah juga. Kriteria kedua, berat badan terus menurun, saya, mmm stabil dalam posisi montok. Kriteria ketiga, kepadatan kista, semakin padat maka semakin potensi tinggi kanker, saya, berupa cairan darah kental. Kriteria ke empat, ada jaringan pembuluh darah di dalam kista, saya, Alhamdulilah tidak. Kesimpulannya adalah saya berpotensi tetapi saat ini belum menjadi kanker. Oleh karena itu, tindakan laparoscopy harus segera dilaksanakan. Mba’ Vina kemudian merekomendasikan nama dokter Andon Hestiantono dan dokter Wachyu Hadi Saputra di RS Bunda dan YPK. Keduanya memiliki kemampuan laparoscopy yang diandalkan dan kedua RS tersebut merupakan RS Ibu dan Anak terbaik di Indonesia. Yup. Dengan berbekal surat rujukan dan koneksi dari Mba’ Vina, sayapun pulang ke kosan Putu, mencoba berdamai dengan hati kembali dan harus mulai memikirkan plan action berikutnya.
Jumat, 4 November 2011
Setelah menghabiskan malam dengan mengadu kepadaNya. Saya masuk ke kantor dengan perasaan yang lebih damai, ya berdamai dengan endo. Fokus saya hari ini adalah memutuskan dokter siapa dan dimana. Tahap pertama: googling. Kedua dokter bisa dibilang memiliki kredibiltas tinggi, keahlian tinggi, hanya saja dokter Wachyu lebih senior, lebih banyak pengalaman, dan memiliki track record jauh lebih banyak dibanding dengan dokter Andon. Saya pun mencoba cara kedua: mencari referensi dari teman-teman yang pernah ditangani oleh kedua dokter tersebut, kesimpulannya lebih banyak memilih dokter Wachyu. Tetapi mereka mewanti-wanti pasien dokter Wachyu sangat banyak. Terkadang untuk periksa kehamilan saja hingga pukul 01.00 dini hari baru selesai dan harus segera mendaftar jauh-jauh hari untuk konsultasi di pertemuan berikutnya. Ok, untuk dokter berarti saya memutuskan dokter Wachyu lah yang akan mengoperasi saya. Selanjutnya adalah memilih RS. Antara YPK dan Bunda, keduanya sama baik. Hasil dari tanya sana-sini pun imbang. Tetapi entah kenapa akhirnya saya memilih YPK, mungkin karena sudah beberapa kali saya datang ke YPK, jadi merasa lebih nyaman ketika operasi di sana. Dua keputusan sudah diambil. Selanjutnya menghubungi YPK untuk jadwal konsul dengan dokter Wachyu. Saya pun mendialed nomer telepon di bagian pendaftaran. Jadwal dokter Wachyu full untuk Jumat sore dan Sabtu pagi. Saya baru mendapat jadwal hari Senin malam pukul 21:00.
Planing selanjutnya adalah melihat range harga kamar rawat inap dan biaya laparoscopy. Wow! Harganya berkisar antara 22 juta untuk kamar kelas 3 hingga 32 juta untuk kamar Super VIP. Saya mungkin cukup di kamar utama saja, berkisar 26-29 juta. Sesuai dengan plafond asuransi. Alhamdulillah biaya rawat jalan, rawat inap maupun operasi selama ini dan kedepannya sudah di cover oleh kantor. Jadi mungkin saya hanya cukup mengeluarkan biaya wira-wiri rumah sakit saja.
Jumat sore, ternyata ada tawaran untuk operasi laparoscopy di RS Bunda saja, biayanya memang sedikit mahal dibanding YPK beda sekitar 2-3 juta untuk setiap kelasnya. Saya pun mencoba bertanya kepada dua orang teman kantor yang memang pernah memiliki pengalaman untuk melahirkan. Dengan list perbandingan yang saya bawa, saya meminta pendapat beliau dan apa saja yang harus disiapkan menjelang operasi atau masuk RS dan menghubungi provider asuransi termasuk jenis kamar yang sebaiknya saya masuki dengan menyesuaikan plafond asuransi. Adisty (salah satu teman kantor saya) mungkin sedikit bingung, mengapa saya terlalu detail membandingkan dan worry mengenai hal teknis seperti ini sekaligus merasa tidak perlu memikirkan semuanya. Jawabannya: pertama, kalau bukan saya yang memikirkan, siapa lagi? Adik saya, hingga sekarang pun dia belum tau kondisi kakaknya. Ibu saya, mmm beliau pasti tidak bisa diajak untuk berfikir, dulu saya pernah mengalami kram perut hebat hingga keringat dingin, yang dilakukan Ibu saya adalah hanya bolak-balik kamar mandi saja, sedangkan saya? Masih tergeletak menahan sakit. Ya, saya harus jalan sendiri, memutuskan semua sendiri. Kedua, ini merupakan pengalaman pertama saya, masuk RS sebagai pasien dan operasi. Ketiga, operasi terkait dengan rahim amat sangat sensitive bagi saya, wanita yang belum menikah. Itu kenapa sejak awal ditemani dengan para sahabat (dokter) terbaik saya mencari referensi terbaik menurut mereka. Dan entah, tiba-tiba kepala saya pusing. Teringat Sakti. Kalau ada dia setidaknya saya tidak perlu mengurusi semuanya sendiri. Saya kembali down. Dan tiba-tiba menangis tidak terkontrol. Saya diboyong ke ruang GM, menangis hebat didalam, dan seperti biasa ketika menangis terlalu perih saya cenderung menyakiti diri sendiri, entah mencubit atau mencengkeram paha dan tangan saya sendiri. Mba’ Vena dan Adis terus menemani saya, menemani saya menangis, memberikan support tiada henti. Saat itu, entah kenapa, saya hanya ingin menangis saja. Setelah 30 menit menangis, Ibu Andam pun masuk ke ruangan langsung duduk disamping saya, langsung memeluk, dan menangis bersama. Yaaa, pelukan yang damai sekali, seperti pelukan Ibu saya. Ibu Andam terus menguatkan saya, wise sekali. Saya harus tetap kuat, ada Ibu dan Sakti, saya baru saja memulai kuliah, memulai babak baru untuk meningkatkan ilmu, saya baru saja menlist target dan cita-cita kedepan, ada banyak proyek sosial yang harus saya fikirkan juga. Ibu Andam pun menyakinkan kalau Allah selalu baik sama hambanya, maka berprasangka baiklah. Setelah ini ada banyak sekali hadiah yang akan saya dapat. Jadi saya harus terus kuat, bersabar dan terus berikhtiar. Terima kasih banyak ya Ibu Andam, pelukan Ibu benar-benar menyamankan saya. Terima kasih kepada Allah yang telah mengirimkan teman, sahabat dan Ibu yang terbaik.
Senin, 7 November 2011
Sesuai dengan jadwal, setelah berbuka puasa, saya bersiap untuk pergi ke RS YPK, karena baru dapat giliran jam 21:00, saya lebih memilih memanfaatkan waktu untuk mengerjalan beberapa tugas kuliah di kantor saja, sekitar pukul 20:30 baru ke YPK. Pukul 19:00 ternyata saya di telepon YPK untuk datang segera, mumpung antrian kosong. Dan saya pun segera bergegas ke YPK. Pukul 19:30, saya sudah sampai di YPK, menuju ke bagian pendaftaran dan dengan duduk anteng di ruang tunggu dekat dengan kamar periksa dr. Wachyu. Lagi-lagi, menunggu di ruang tunggu pasien RS Bersalin membuat saya tidak nyaman. Kanan-kiri semua Ibu Hamil, ditemani dengan suami, Ibu, mertua, anak. Saya? Lagi-lagi sendiri. Ya untuk menghilangkan jengah, saya pun buka netbook. Mengerjakan tugas kuliah sambil membunuh waktu.
Pukul 20:40, saya belum juga dipanggil, saya pun menghampiri suster menanyakan antrian. Dan ternyata, antrian sesuai dengan pendaftaran, saya sempat bilang, saya ditelepon diminta untuk segera datang tetapi sudah menunggu lebih dari 1 jam belum juga dipanggil. Yup, ternyata jadwal tetap sesuai dengan pendaftaran, berarti sekitar pukul 21:30 saya baru bisa ketemu dengan dokter Wachyu. Wow, sebegitu populernya ya ternyata dokter Wachyu. Dan tak jarang mereka rela mengantri hingga pukul 01.00 dini hari untuk konsultasi kehamilan ataupun masalah kesuburan.
Masih menunggu giliran masuk, ada mba’-mba’ di sebelah saya dengan perut gendut yang mungkin sedang hamil sekitar 5-6 bulan. Kami pun berbasa-basi, dia datang bersama suami dan ibu mertuanya untuk control kehamilan. Ya, ini memang kehamilan pertama bagi Mba’ itu, terlihat antusias sekali memang. Dia pun bertanya kepada saya “sedang hamil juga mba’? berapa bulan? Masih baru ya hamilnya?”, saya menjawab ”mmm nggak kok Mba’, saya belum menikah, saya dikonsul oleh dokter saya sebelumnya untuk datang ke dr. Wachyu.”. Mba’ itu menjawab “oh gitu, memang kenapa Mba’?”. “mmm, iya rahim saya ada 2 kista dan 1 miom, kemungkinan besar harus segera dioperasi.”, dan diluar dugaan saya Mba’ itu merespon “duh amit-amit ya, amit-amit, jangan sampe deh ya.” Sedih sekali rasanya dibilang seperti itu. Dugaan awal saya mengira Mba’ itu akan berempati, tetapi ternyata. Untungnya, Mba’ tersebut langsung dipanggil masuk ke dr. Wachyu, jadi saya pun tidak perlu berlama-lama menata hati. Yang saya lakukan adalah pergi menjauh, duduk di pojok, dengan netbook terbuka tetapi pikiran entah kemana.
Pukul 21:50, akhirnya saya mendapat giliran juga untuk konsul dengan dr. Wachyu. Saya pun menjelaskan kronologis rekam medis saya, lalu dengan sangat bersahabat layaknya seperti seorang Bapak kepada anaknya, saya kembali di USG. Ya, entah ini USG yang keberapa yang sudah saya lakukan. Dengan hangat, dr. Wachyu memeriksa rahim saya, beliau menjelaskan, kalau ternyata ukurannya memang sudah cukup besar ditambah dengan hasil CA saya yang cukup tinggi. Maka operasi lah jalan terbaik. Saya pun langsung mengatakan “ok dok, mengingat aktivitas saya yang padat, saya request laparoscopy saja, untuk meminimalisir invasi”, dr Wachyu membalas” kamu sudah siap ya? Sudah tau banyak sekali tentang langka-langkah yang harus diambil”. “Ya dok, harus siap.”. dr. Wachyu menjawab “ ok, untuk operasi mungkin kita di Bunda aja ya, peralatannya jauh lebih lengkap. Saya jadwalkan Jumat atau Sabtu ini gimana?” Saya pun gelagepan, “hah? Minggu ini dok? Mmm adik saya belum pulang, tidak ada yang mengurusi semuanya nanti.”. “ok, sabtu depan aja ya, karena kalau akhir bulan kamu sudah haid lagi niy?”. “mmm, sabtu depan saya ujian dok di kampus, kalau awal desember?”. Ya, akhirnya setelah mencocokkan jadwal saya diputuskan untuk melakukan operasi laparoscopy tanggal 12 Desember pukul 06:00. “nah sebelum tanggal 12, minum beberapa vitamin dulu yaa, terus nanti setelah operasi disuntik tapros dulu, biar endonya ga kambuh dalam waktu singkat. Kemungkinan endo masih akan muncul, jadi dari sekarang apalagi nanti setelah operasi ga boleh makan kedelai, susu kedelai sama sekali ga boleh, tahu tempe masih boleh tapi 2 minggu sekali, itupun sedikit saja”, saya membalas “Dok, kenapa tahu tempe, kenapa ga larang saya makan daging aja, tahu tempe makanan favorit saya”, dr. Wachyu menjelaskan kalau kedelai memiliki kandungan yang dapat memicu meningkatnya hormon estrogen tinggi. Nah kasus dengan endo, sebisa mungkin adalah meminimalisir estrogen, itu dia kenapa untuk bayi-bayi laki-laki sebisa mungkin tidak diberi susu kedelai, karena ya untuk meminimalisir hormon estrogen di tubuhnya, karena jika bayi laki-laki diberi susu kedelai yang ada hormone estrogen (perempuan) yang lebih berkembang. Gosh, no tahu tempe di hidup saya, mmm berat sekali. Finally, saya mendapat kepastian tanggal operasi hanya tinggal menghubungi provider asuransi saja. Pukul 22:40, saya keluar dari YPK, menuju ke kosan Putu, tidak pulang kerumah, kebetulan karena Putu sedang di Singapore, saya bisa menyendiri, ya, saya kembali butuh waktu untuk menerima semuanya.
Selasa, 8 November 2011
Setelah melakukan dialog intensif dengan sang Maha Pencipta, pukul 07:00 pagi, saya meluncur ke Bandung, sendiri, ada peresmian renovasi Masjid dan pemotongan hewan kurban di desa terpencil Desa Arjasari, Bandung. Sepanjang perjalanan, saya berpikir, bagaimana caranya memberi kabar ini kepada Ibu. Menelpon Sakti, still not active.
Setelah seharian beraktivitas di Desa Arjasari, saya merasa Allah begitu sayang dengan saya. Saya hanya diberi cobaan penyakit. Mereka? Mmm, saya akan menceritakan lebih jauh Desa ini dikesempatan lain ya. Pukul 20:10, saya sampai di rumah, misi saya malam ini adalah bercerita dengan Ibu tentang keadaan saya dengan endo dan rencana operasi. Setelah ngobrol ngalur ngidul saya pun bilang “Mi, ternyata aku ada kista sama miom di rahim, nah kemarin udah sempat beberapa kali ke Mba’ Vina, aku juga udah Tanya sama mas Gatot, katanya siy lebih baik dioperasi aja, terus aku disuruh ke dr. Wachyu, dokter hebat lah, Senin kemarin udah kesana, diliat semuanya, nah terus udah dijadwalin operasi juga, tanggal 12 Des besok jam 06:00, sekalian nunggu Sakti.” Saya membuat cerita sesimple mungkin, dan sebisa mungkin santai agar Ibu tidak khawatir. Respon Ibu “ lha piye tho, kok bisa? Terus piye?” dialog berikutnya pun penuh dengan kata “piye” bahasa jawa yang berate gimana. Saya menjawab “ ya gapapa, penyebabnya ga tau kenapa, tapi ya udahlah udah di kasih sama Allah, diterima aja. Mau ditolak kan juga ga bisa. Lagi pula kan tinggal jalanin aja, semyua biaya kantor yang nangung, urusan hamil dan lain-lain pasrah aja lah sama Allah, ada yang maha mengatur” saya berusaha kuat dan menahan agar todak ada 1 tetes pun air mata yang keluar. Ibu, sepertinya masih bingung. Saya memastikan kembali ‘ udah gapapa, nanti operasinya juga bukan cesar, namanya laparoscopy, Cuma dibelah sedikit, mudah-mudahan seminggu udah sembuh. Nanti dirumah aja ga usah ikut ke RS, aku sama Sakti aja berdua. Doain dari rumah aja ya. Berangkat hari minggu sore, mungkin paling lama Rabu udah pulang. Insya Allah ga kenapa-kenapa. Setelah operasi aku di suntik setiap bulan, biar ga haid dulu, supaya penyakitnya ga muncul lagi. Udah gausah bilang siapa-siapa nanti malah geger semua. Kita diem-diem aja. Nanti Minggu aku berangat berdua sakti, pulangnya juga berdua. Aku gapapa kok. Didoain aja.” Ya saya membuatnya semuanya menjadi simple. Melihat saya yang tenang dan sudah tau apa yang harus dilakukan, sepertinya Ibu tidak begitu semrawut pikirannya.
Alhamdulillah Ibu sudah tau, tinggal Sakti. Still not active. Dan seperti malam-malam sebelumnya, pukul 22:00 saya tidur, bersiap untuk bangun di jam 02:22, berkomunikasi dengan sang pencipta, dan ada paper yang harus segera dikerjakan.
22 November 2011
Selasa pagi, seperti biasa saya pergi ke kantor menggunakan kereta. Sesampai di stasiun pondok kopi, ternyata kereta menuju Sudirman baru saja jalan, ya, saya terlambat. Walhasil, saya naik kereta menuju kota, turun di Manggarai lalu berganti kereta menuju Sudirman. Menungu kereta lingkar ciliwung yang tak kunjung datang, saya pun memutuskan untuk naik kereta dari Bogor menuju ke Sudirman. Padat. Sesak. Saya berdiri di gerbong perempuan persis dipinggir pintu kereta. Mepet sekali. Tidak bisa bergerak sama sekali. Tiba-tiba perut saya kram. Ya, hari ini hari kedua saya haid. Entah kenapa, setelah mengetahui ada 3 benda asing di rahim saya. Saya menjadi sadar bahwa ternyata memang sakit. Selama ini saya selalu menyangkal ketika ada rasa celekit-celekit di rahim. Dan sekarang saya harus berjuang dengan kram ini. Setidaknya bertahan sampai kantor. Sampai di stasiun Sudirman, saya memilih untuk duduk sejenak. Keringat dingin keluar, menahan sakit. 10 ment kemudian saya menguatkan diri untuk jalan dan mencari bis menuju kantor. Finally, saya berhasil sampai di kantor. Terkadang mengetahui ada penyakit di tubuh memang membuat saya merasa lebih cengeng, lebih memaklumkan diri, tapi saya harus terus bersikap menjad icowboy, hey I’m okay, its just endo.
Pagi itu, Allah dengan caranya menghubungkan saya dengan dr. Mutia Prayanti, seorang obgin yang hebat, cantik fisik dan hati yang merupakan mantan ketua PKT RSCM yang juga berarti mantan atasan saya ketika saya bekerja di PKT dulu. Obrolan kami menyimpulkan bahwa sore hari saya harus bertemu beliau untuk dilihat lebih jauh. Beliau pun sudah menghubungi dr. Andi Darma Putra, teman dr. Mutia yang juga merupakan Obgin tapi memiliki sub spesialis di bidang usg kanker dan tumor. Awalnya saya sempat ragu untuk datang ke dr. Mutia. Pertama, selain tempatnya yang jauh, di Hermina Depok, saya juga sudah mantap untuk melakukan laparoscpy dengandr. Wachyu di RS Bunda. Tetapi setelah bertanya ke beberapa teman, tidak ada salahnya untuk sixth opinion lagi pula tidak enak sm dr. Mutia yang sudah menghubungi dr. Andi untuk sama-sama melakukan pemeriksaan. Dan saya pun memutuskan untuk ya sudah tidak ada salahnya untuk mencoba memeriksa kembali, saya menelepon orang rumah untuk mengantarkan semua rekam medis saya beserta semua hasil pemeriksaan dan USG, lalu meminta izin ke kepala grup saya untuk pulang lebih awal untuk bertemu dengan dr. Mutia yang ternyata juga merupakan dokter kandungan dan dokter yang melahirkan anak terakhir dari Kepaa Grup saya itu.
Pukul 14:00, dr Mutia bbm, kalau nanti jadwal prakteknya mundur 2 jam menjadi jam 19:00, berarti saya tidak perlu izin pulang cepat, pulang kantor tenggo sepertinya masih mengejar.
Pukul 17:30, saya langsung menuju stasiun Sudirman naik kereta menuju Depok. Entah kenapa saya merasa blessing sekali, banyak sekali yang mendoakan saya, kelelahan karena kerja, kuliah dan wira-wiri rumah sakit, seperti tidak terasa. Saya terus berenergi tiada henti. Dan blessing pertama terjadi, awalnya saya sempat berfikir naik kereta dari stasiun Sudirman menuju Depok pasti sangat melelahkan, berdiri, padat. Tetapi entah kenapa, kereta yang ingin saya naiki berhenti dan pintunya tepat di depan saya berdiri menunggu kereta, dan hap! Saya dapat tempat duduk. Setelah melihat-lihat depan, samping kiri kanan, tidak ada bumil dan manula, maka saya pun menikmati perjalanan menuju Depok. Sampai di stasiun Depok Baru, saya langsung naik ojeg menuju Hermina, sudah pukul 19:00. Masuk ke RS, menuju bagian pendaftaran, membuat kartu (lagi). Ya, saya mengoleksi kartu RS mulai dari RS Jakarta, MMC, Siloam, YPK, Bunda, Islam Pondok Kopi, dan sekarang Hermina Depok. Semua kartu tersebut memenuhi dompet saya. Setelah selesai di bagian pendaftaran, saya duduk di ruang tunggu pasien. Lagi, saya merasa tidak nyaman. Memilih menjauh dari para kerumunan Ibu Hamil, saya takut dibilang amit-amit lagi. Karena lapar, saya membuka jeruk, kini memang saya selalu menstock buah-buahan di tas saya. Saya pun bbm ke dr. Mutia, “Ibu dokter yang cantik, aku udah di ruang tunggu ya” dan tidak sampai 5 menit saya pun masuk. Setelah cipika cipiki dan ngerumpi, saya memberikan hasil-hasil pemeriksaan. Dr Mutiapun bilang “udah ga usah langsung operasi deh, jangan apa-apa langsung operasi, liat dulu yang bener semuanya, lagi pula gw punya banyak pasien dengan endo, mereka tetap bisa hamil dan melahirkan dengan normal. Dan banyak dari mereka endonya langsung hilang ketika melahirkan. Jadi mending lo nikah dulu aja, cari suami, kalau 6 bulan ga hamil dengan catatan suami lo normal hormonnya dan kualitas spermnya baik, baru kita evaluasi lagi, kemungkinan nanti baru operasi ngangkat endo lo. Orang endo yang dioperasi, kemungkinan untuk operasinya lagi tinggi, ada yang satu tahun setelah operasi langsung operasi lagi, bakalan operasi berulang, walaupun ada juga yang setelah dioperasi ya sudah selesai, endonya hilang. Singkirin jauh-jauh deh pikiran lo masih bisa punya anak apa nggak”. Ya memang, pertanyaan penting yang selalu saya ajukan di setiap dokter dan disetiap konsultasi adalah “Apakah saya masih bisa punya anak?”. “gini aja, kita liat dulu ya sama si Andi, sebenernya apa sih yang ada di rahim lo”. Dr. Mutia pun mendial telp dr Andi “Ndi, masih ada pasien ga? gw masuk ya.” Kemudian saya bersama dr Mutia dan susternya menuju ruangan dr Andi. Sampai diruangan, yang ada kami bertiga justru ngobrol bersama 3 suster lainnya. Tetapi tidak lama dr Mutia bilang “Niy ndi, anak gw disuruh operasi sama si Wachyu, lo liat dulu deh yang bener” selanjutnya, dr Mutia pun kembali keruangan periksanya dan saya konsul dengan dr Andi. Nyaman sekali berdiskusi dengan dr. Andi, beliau melihat keseluruhannya menjadi lebih komprehensif. Menurut beliau, dengan kasus endo dan CA yang cenderung tinggi, sebaiknya saya harus memonitor dulu dengan 2 jenis tumor marker lainnya. dr Andi meminta saya untuk melakukan tes CA lagi, karena jika dalam 1 bulan CAnya cenderung meningkat drastis, kenaikan lebih dari 50%, maka perlu dievaluasi ulang. Selain itu untuk saya yang masih single juga diharapkan tes AFP dan CEA, keduanya merupakan tumor marker. Saya pun dikonsul untuk melakukan tes lab (lagi), beliau bilang lebih akurat tes di prodia saja, kalau bisa prodia kramat, biar bisa dimonitor langsung dengan beliau. Saya juga diminta untuk USG trans anal dengan Doppler untuk melihat letak posisi sebenarnya, jenisnya apa, apakah ada pembuluh darah didalamnya. USG trans anal, memang dilakukan untuk melihat lebih akurat posisi dan keadaan rahim kita dan biasanya dilakukan untuk wanita yang belum menikah, sedangkan yang sudah menikah dilakukan USG trans vagina. Ada alat yang dimasukkan ke anal, lalu dilihat di layar monitor 4 dimensi. Tapi saya menolak dengan alasan sedang haid dan lagi banyak-banyaknya. Bagaimana kalau minggu depan saja. Dr Andi pun menyetujui, saya langsung di list menjadi pasien nomer 1 di Selasa minggu depan. Di hari Selasa itu saya juga diharapkan sudah membawa hasil tes lab, atau jika sudah tes cukup kabari beliau saja. By the time, akan dievaluasi kembali kondisinya.
Setelah dari dr. Andi, saya kemudian keluar dan bbm dr Mutia “dok, udah selesai niy sama dokter Andi, terus gimana? Saya pulang atau ke dr dulu?” tidak lama dr Mutia menjawab “tunggu sebentar, habis pasien ini lo masuk keruangan lagi ya”. Dan tidak lama kemudian saya pun masuk ke ruangan “gimana, si Andi bilang apa?” saya menjawab “iya dok, saya cek CA, AFP dan CEA dulu, terus minggu depan USG trans anal.” “O ya udah, gapapa, biar komprehensif dulu, baru nanti di evaluasi lagi. Udah ga usah mikir macem-macem, gw tadi juga udah telp-telp-an sama Vina, lo stress sama endo. Masalah anak mah kalau di medis masih bisa banget. Makanya cepet-cepet nikah, terus punya anak, kalau bisa hamil berturut-turut, Insya Allah endonya hilang.” “iya dok, saya juga maunya gitu, punya anak 4. Tapi mana pasangannya belum dikasih sama Allah, apalagi kondisi saya seperti ini, mana ada yang mau. Fans siy banyak.” “ah elu, ga boleh ngomong gitu, apa siy yang ga mungkin, siapa tau besok lo ada yang ngelamar, terus bulan depan nikah, udah positif thinking aja. Yang pasti endo ga berbahaya, Cuma lo harus jaga makanan, ga boleh stress, selebihnya pasrah aja, ada yang Maha Mengatur kok” Mengobrol dengan dr Mutia sama halnya dengan sahabat-sahabat PKT lainnya selalu menyamankan saya. Ada Allah yang maha mengatur, pasrahkan saja, ikhlas, karena Allah tidak pernah zholim sama hambanya.
Pukul 20.30, saya pun keluar dari ruangan dr Mutia, kami berjanji untuk reuni PKT sambil karaoke bareng, rencana awal, kami akan merayakan 10 muharam dengan anak yatim di manggarai sama dengan tahun-tahun sebelumnya, setelah itu lanjut karaoke. Mmm kangen sekali dengan para wanita hebat itu. Sampai di kasir, saya mengeluarkan kartu kredit. Sistem pengobatan yang reimbursement membuat saya sering kali harus menggunakan kartu kredit. Dan memang kartu kredit yang saya punya hanya saya pakai untuk hal-hal seperti ini tidak dengan konsumtif. Tetapi ternyata saya hanya dikenakan biaya Rp. 29.000, ya hanya biaya pembuatan kartu saja, konsultasi dr Mutia dan dr Andi gratis tis. Subhanallah. Saya pun langsung bbm dokter Mutia “dok, saya kok ga bayar apa-apa ya? Jangan gitu lah dok, saya di cover kantor kok” dr Mutia menjawab “iihhh, gapapa kali”. Saya pun membalas “iya tapi dokter Andi kok juga ikutan ga dibayar”. Dr Mutia menjawab “biarin aja, dia udah kaya, baru dapet 2 ipad juga dari lomba international” , “ya ampun, terima kasih banyak ya dok, semoga Allah selalu membalasnya dengan sebaik-baiknya balasan, ya udah saya pulang ya dok, again many thanks”.
Keluar Hermina, ada taksi tepat persis didepan saya, saya pun langsung masuk dan menuju stasiun Depok baru menuju Sudirman. Malam ini saya tidak pulang ke rumah, numpang di kosan Putu. Sepanjang perjalanan saya menelepon Ibu, beliau pasti khawatir dengan kondisi anaknya. Wira-wiri sendirian dealing with endo.
Ya, saya berencana untuk tes lab di Prodia Kramat jumat siang, lalu mengambil hasilnya di jumat malam, dan hari selasa sore sepulang dari padang, dari Soekarno Hatta langsung menuju ke Hermina Depok. Mudah-mudahan hasil lab di Prodia nanti seperti yang diharapkan, CA tidak meningkat drastis, AFP dan CEMnya normal dan pemeriksaan USG di hari Selasa depan juga positive Endo saja.