Senin, 21 November 2011

Kelak, saya pun akan menyusulnya

Malam ini secara tidak sengaja, saya membereskan berkas-berkas yang ada di kamar, saya menemukan banyak sekali ticket pesawat beserta boarding pass yang masih tersimpan. Beberapa diantaranya jurusan Surabaya dan Solo. Saya pun kembali mengingat-ingat. Ya, awal April tahun ini saya kembali kehilangan wali saya, setelah Bapak di bulan Mei 2008, lalu Pakde Simin (Kakak Bapak di tahun 2010), dan April ini Pakde Sido (Kakak Bapak yang kedua) menyusul mereka. Pakde Sido meninggal secara mendadak, tanpa sakit, tepat seminggu setelah saya bertemu dengan Pakde terakhir kali. Di akhir Maret 2011, Pakde menikahkan Mba’ Asti, anak terakhir, dan saya secara khusus cuti selama 5 hari, pergi ke Surabaya bersama Ibu untuk menghadiri pernikahan Mba’ Asti sekaligus berhoneymoon bersama Ibu. Setelah rangkaian acara pernikahan selesai (Sabtu-Minggu), hari Selasanya saya bersama Ibu, Pakde Sido dan 2 orang cucunya yang juga keponakan saya, jalan-jalan keliling Surabaya. Mulai dari ke lumpur lapindo, kebun binatang Surabaya, pantai Kenjeran, jembatan Suramadu, menicicipi masakan Bu Rudi, Sunan Ampel hingga singgah di beberapa museum di Surabaya. 

Melihat pakde Sido begitu sehat, aktif dan sabar memomong kedua cucunya, mengingatkan saya, seandainya Bapak masih ada, kelak Bapak juga akan sepereti Pakde, sangat memanjakan cucunya. Pakde Sido bersedia ikut naik bombomcar hanya karena cucu lelakinya ingin main tapi karena tetapi karena terlalu kecil tidak bisa sehingga harus didampingi Pakde. Pakde juga bersedia naik turun lebih dari 10 kali, karena cucu-cucunya senang sekali main perosotan. Setelah menghabiskan waktu seharian, esok harinya, Rabu pukul 10:00, saya dan Ibu pun pamit untuk pulang ke Jakarta. Kata terakhir yang saya ingat dari Pakde “hati-hati di Jakarta ya, kalau lagi tugas di Surabaya bilang, nanti tak jemput, aku udah lega udah nikahin semua anakku, tanggung jawabku tinggal nikahin kamu sama Sakti”, saya pun memeluk Pakde, memeluk seperti memeluk Bapak, hangat. Sambil berbisik “doain ya Pakde, Pakde sehat-sehat ya”. Saya dan Ibu pun langsung menuju ke bandara menuju ke Jakarta.

Seminggu kemudian, tepat di hari Rabu, entah kenapa, saya ingin ke kantor menggunakan pakaian serba hitam. Tidak ada firasat apapun sampai saatnya jam 10.00 pagi, saya di telepon Om Tarno (adik ipar Bapak) memberi kabar kalau Pakde Sido meninggal. Ya, Pakde meninggal tepat di hari dan jam terakhir kali saya memeluk beliau. Saya pun menelepon Ibu di rumah, memberi kabar dan meminta untuk menyiapkan pakaian saya dan langsung janjian untuk ketemu di terminal Rawamangun. Saya pergi ke Surabaya sendirian, Ibu tidak ikut, ada mbah putri (Ibu dari Ibu saya) yang harus dijaga di rumah.

Sepanjang jalan, airmata terus turun, mendial nomer Sakti tapi selalu jawaban tidak aktif yang didapat. Ya, dulu saya pernah membenci Pakde Sido, saya benci Pakde, karena ketika Bapak di ICU, pakde dimata saya terlihat cuci tangan mengenai masalah Bapak, semua diserahkan ke saya. Pikiran saya yang sedang ruwet waktu itu membuat saya memvoniskan diri untuk membenci Pakde. Belakangan saya pun baru sadar bahwa Pakde sama kehilangannya seperti saya, bahkan mungkin lebih, karena Pakde dan Bapak sudah hidup bersama lebih lama dibanding dengan saya, anaknya. Semenjak itupun hubungan saya dengan Pakde kembali baik, kami sering bercerita apapun, dan sempat berujar ketika saya menikah Pakdelah yang menjadi wali saya. Tetapi Allah berkehendak lain, ditengah hubungan yang semakin dekat dan semakin membaik, Pakde pergi secara tiba-tiba. Saya pun kembali kehilangan wali saya.

Sampai di Surabaya pada sore harinya, yang saya lihat hanya makam Pakde yang masih basah. Pelukan di hari Rabu tepat seminggu yang lalu merupakan pelukan terakhir dengan Pakde. Kembali, saya harus belajar ikhlas, Allah lah maha pembuat scenario terbaik.

Malam harinya ada acara tahlilan di rumah Pakde, ramai sekali yang datang. Rumah Pakde penuh sesak, selain sebagai RW, Pakde memang ketua pembangunan masjid, setelah pension, pakde mengabdikan dirinya untuk masyarakat. Mengurusi masjid, meminta dana dari pintu ke pintu untuk kegiatan-kegiatan social.  Jadi tak heran, banyak yang kehilangan Pakde. Kembali pelajaran untuk saya, selalulah berbuat baik, karena hanya amal baik yang menjadi teman dan penolong kita kelak.

Tidak hanya sampai disitu, 1 bulan setelah Pakde meninggal, ternyata Allah memberi cobaan lain kepada keluarga besar kami, Bude Simin (istri dari Pakde Simin, kakak tertua dari Bapak) meninggal dunia. Ya, Bude meninggal, tepat di tanggal yang sama dengan meninggalnya Bapak, 13 Mei. Kami pun kembali berduka.
Awalnya saya merasa, awan sudah kembali cerah, kehidupan keluarga besar kami sudah mulai bergeliat kembali, kelahiran beberapa ponakan baru dari sepupu-sepupu saya menambah kesemarakan tersendiri. Tapi lagi-lagi, Allah berencana lain. Tanggal 12 Oktober 2011 pukul 03.50 pagi, Mbah Kakung (Ayah dari Bapak) meninggal. Secara tiba-tiba. Saya yang baru saja tertidur pukul 02.30 pagi harus bangun karena dering HP yang terus berbunyi, Mas Ismail menelepon, memberi kabar kalau mbah Kung meninggal, tanpa sakit yang berarti. Saya, langsung membangunkan Ibu memberi tahu dan bersiap-siap menuju Solo. Setelah menghubungi beberapa kerabat Bapak yang lain, saya membuka netbook, booking ticket, dan segera meluncur ke bandara menuju Solo.

Mbah kung meninggal, sendirian, tanpa ditemani siapapun. Saya mendapat cerita dari Bule Mini (adik dari Bapak), kalau sejak Minggu Mbah Kung memang aga’ susah makan, karena batuk terus-terusan. Tetapi masih dibilang masih normal. Rabu dini hari pukul 03.00, Mbah Kung yang ditemani tidur oleh Le’ Marno (adik terakhir Bapak), terbangun, Le’ Marno pun bilang, kenapa mbah? Subuhnya masih lama, tidur aja dulu, nanti dibangunin. Mbah Kung yang sudah berumur 92 tahun, masih kuat jalan ke masjid untuk sholat. Dan setiap subuh dia pun keluar rumah menuju Masjid untuk sholat berjamaah. Setelah diberi tahu Le’ Marno, Mbah Kung pun tidur kembali.

Pukul 03.50, Le’ Marno bangun dan melihat Mbah Kung tidur meringkuk, bermaksud membangunkan Mbah, tapi beberapa kali tidak ada respon, setelah di balik, ternyata Mbah Kung sudah meninggal. Ya, Mbah Kung meninggal, sendirian, dijemput malaikan izroil dan kembali ke Allah sendiri, tidak ada satupun dari anak-anak atau cucunya yang menemani. Dan tidak ada satupun yang tahu tepatnya pukul berapa Mbah Kung pergi.  Tenang sekali. Sampai Le’ Marno yang tidur di dekatnya pun tidak tahu.

Kepergian Mbah Kung di tahun 2011 ini, membuat saya kehilangan 4 orang wali secara berturut-turut, secara tiba-tiba dan memedihkan luka. Tapi bukanlah memang Allah telah menuliskan jodoh, rezeki dan maut kita? Saya pun sepertinya juga harus bersiap-siap, karena tidak ada satupun yang tahu rahasia Allah, sehingga kelak ketika malaikat Izroil datang, menjemput saya, setidaknya saya sudah dapat mempertanggungjawabkan apa saja yang saya lakukan didunia ini. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa almarhum Bapak, Pakde Sido, Pakde Simin, Bude Simin dan Mbah Kung, menerima amal ibadah mereka, mengangkat sisa kuburnya dan menjadikan kuburannya sebagai taman SurgaNya Allah. Amin, amin, amin Ya Rabb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar