Senin, 30 Januari 2012

Huznudzaan Billah Agni!


Awal tahun yang cukup berat bagi saya. Seandainya ada Bapak, saya mungkin meminta beliau untuk memeluk saya, erat, lama, dan memintanya untuk tidak melepaskannya. Pasca operasi, saya masih harus terapi hormon, and still dealing with my endo. Sekali ke dokter minimal 2,1 juta uang harus keluar. Walaupun diganti tapi tetap mengacaukan cashflow saya. Mmm tepatnya memporak porandakan. Karena sejak control jahitan pertama hingga suntikan ke dua, belum ada satupun yang direimburs pihak asuransi. 

Ujian belum selesai. Ada soal tambahan. Allah menganugrahkan nilai D di IPK pertama saya. NIlai terburuk yang pernah yang dapatkan sepanjang saya menuntut ilmu. Reimburse 27 juta bagai telur di ujung tanduk. Kelanjutan kuliah? Entahlah. Sempat saya membenci Allah, kenapa harus saya kembali? Toh uang yang akan direimburs itu untuk pembayaran kuliah semester berikutnya lagi dan saya benar-benar ingin umroh. Kemudian saya diingatkan. 

“Dan apabila Kami memberikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila Dia ditimpa kesusahan niscaya di berputus asa” (QS Al Israa: 83)
Saya memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung. Malam ini saya beristighfar sebanyak mungkin. Maafkan hamba karena telah berprasangka buruk kepadaMu Rabb. Allah maha kaya, maha pengasih dan penyayang. Tentu Dia memiliki scenario yang jauh lebih baik dari yang saya pikirkan. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. 

Saya juga mengingat salah satu posting yang dikirimkan oleh teman saya: “Jalaludin Rumi: Aku sanggup mengabulkan permintaanmu tapi ratapan kesedihanmu lebih Aku sukai…”

Ya, Allah menyukai suara dan untaian doa-doa saya. Allah ingin saya menatapNya terus menerus. Allah cemburu ketika saya berpaling. Semoga Allah memaafkan saya karena telah berprasangka buruk kepadaNya. Dan Apapun itu rencana dan takdirmu Ya Rabb, saya Ikhlas, karena akan lebih banyak waktu bagi saya dan Engkau untuk bercinta.

Skak Mat!

Catur, salah satu permainan yang juga merupakan cabang olahraga yang Bapak sukai. Hampir setiap hari bapak bermain catur, entah ketika sedang istirahat di tempat kerja, sepulang kerja dengan tetangga-tetangga rumah atau dengan saya dan Sakti. Ya, kami diajari Bapak bermain catur ketika masih kecil sekali. Awalnya, kami hanya bertugas menjadi pemandu sorak, merajuk ke Bapak untuk terus memakan tokoh-tokoh yang ada di catur dan memenangkan permainan. Hingga terkadang justru saya dan Sakti yang sibuk sendiri karena berebut kuda, benteng, peluncur atau pion yang berhasil Bapak ambil dari lawannya. 

Berawal dari sana, saya dan Sakti pun akhirnya ketularan menyukai permainan catur. Bapak melatih kami. Awalnya hanya sekedar bermain “makan-makanan” ya tujuan utama permainan adalah makan, menghabiskan semua pion,kuda, peluncur hingga raja. Tidak ada taktik. Hanya banyak-banyakan biji catur yang berhasil diambil dari lawan saja. Terkadang Sakti sering bertanya kepada Bapak langkah apa yang harus diambil, tak mau kalah saya pun juga bertanya kepada Bapak. Adegan selanjutnya? “curang, aku cuma makan pion, terus kenapa mba’ harni makan kuda. Bapak ngasih taunya ga adil” kami pun berkelahi dan permainan usai. 2 bersaudara dengan jenis kelamin sama membuat saya terkadang menganggap adik saya sebagai rival, competitor. 

Seiring dengan waktu, Bapak tetap setia dengan catur. Beliau bahkan membuat papan catur sendiri. Ya dengan tangannya sendiri. Papan besar yang cukup berat, lalu entah dengan cara apa dan bagaimana papan itu disulap dengan kotak-kotak hitam putih, rapi sekali. Plus dilengkapi dengan tokoh-tokoh catur yang beliau beli, asli terbuat dari kayu, besar dan gagah. Kami selalu berhati-hati menggunakan papan catur kebesaran dan kebanggaan ini. Bapak selalu mewanti-wanti agar semua biji catur tidak ada satu pun yang hilang. 

Skak mat! Teriak Sakti. Seiring dengan waktu, kami mulai bermain catur dengan taktik. Sakti yang jauh lebih cerdas dari saya sering sekali memenangkan permainan. Saya? Semakin penasaran untuk mengalahkannya. O iya, setiap bulan Agustus, rumah kami juga selalu dipenuhi bapak-bapak yang berlomba bermain catur. Bapak, orang yang sangat humble dengan siapapun, bersedia berkorban banyak untuk orang lain tanpa lelah sedikitpun membuat para tetangga menaruh hormat kepada Bapak. Bapak selalu diangkat menjadi ketua panitia 17 Agustus. Dan setiap bulan itulah, suara skak mat selalu memenuhi rumah kami. Serrrru, semarak. 

Saya dan Sakti juga tidak jarang mengajak bertanding Bapak bermain catur. Kekaguman kami dengan kepandaian Bapak bermain catur membuat kami berambisi mengalahkan Bapak. Pertama, kedua, ketiga, keempat, kami kalah. Tetapi selanjutnya kami lebih sering menang. Menang, entah karena memang kami yang semakin pintar bermain catur atau Bapak sengaja mengalah untuk kami. But, it so last decade. Ketika kami mulai kuliah, Bapak lebih sering bermain catur dengan teman-temannya. Kami? Sibuk dengan urusan masing-masing. Dan sudah 3 tahun ini saya dan Sakti juga tidak bermain catur. Bermain menggunakan papan catur kebanggaan dan kebesaran Bapak. Sudah terlalu lama teronggok diam disana. So? Wanna play chess with me?

Panen Pisang

Salah satu hobi bapak selain beternak, berolahraga ya menanam. Mewarisi darah orangtuanya yang petani. Bapak dengan sangat apik dan telaten menanam dan merawat tanaman. Rumah kami yang terletak di perkampungan, memungkinkan Bapak untuk bercocok tanam. Dengan menggunakan lahan tidur milik perum Masnaga, yang terletak 10 meter dari rumah. Bapak mematok tanah seluas kira-kira 400 meter, memagari keliling, menanam berbagai jenis pohon pisang disekililingnya dan aneka sayuran di dalamnya. 

Bapak mencari bibit pisang sendiri, mulai dari pisang batu, kepok dan ambon, menggotong bibit pisang, menanam dan merawatnya hingga besar dan berbuah, bertunas baru dan terus berkembang biak. Untuk di dalamnya Bapak pernah menanaminya dengan sawi, bayam, kangkung. Ya, menuai dengan membeli bibit sendiri, ketika panen, 1 RT akan kebagian sayuran secara gratis. Saya? Paling hobi memanen. Bagian memetik. Tidak dengan menanam dan merawat. 

Bosan menanam, Bapak pun mengubah lahan sayur jadi kolam lele. Digalinya tanah membentuk persegi panjang dan dimasukkan bibit lele. Ini yang sering membuat Ibu marah-marah ke Bapak. Ya, karena Bapak akhirnya lebih sering menghabiskan waktunya di kebun. Belum lagi pulang dengan baju penuh getah pisang atau membawa piring berisi makanan-makanan kecil dan botol minum yang sering sekali tertinggal di kebun. Tapi ya itulah Bapak. Sepertinya sudah kebal dengan cerewetan Ibu. Esoknya, Bapak pun terus mengulangi. Tetap pergi ke kebun, pulang dengan baju kotor, dan lupa membawa pulang botol minum dan piring. 

Tahun berganti, pohon pisang Bapak semakin banyak, lebat dan terus berbuah. Beliau dengan sangat bangga, membopong pisang 1 tandan ke rumah dan dipamerkan ke kami. Kadang sekali panen bisa 3-4 tandan. Semua tetangga di stock pisang, termasuk beberapa teman SMA saya yang memang keluarganya menyukai pisang, maka Bapak dengan motornya, riang mengantar pisang ke beberapa rumah teman saya. Karena pohon pisang ini, Bapak juga menjadi idola para Ibu. Setiap sore ada saja Ibu yang datang ke rumah atau ke kebun, untuk meminta daun pisang. “kalau bikin lemper pake daun pisangnya Pak Ari, rasanya sedep banget” celoteh para Ibu. Dan Bapak dengan senang hati menebas beberapa daun pisang, menyesetnya, melipat dan memberikan ke para Ibu. Dan esoknya tidak jarang kami pun kebagian kue lemper, unti, botok atau bahkan pepes.  

Hingga kini, pohon-pohonnya terus berbuah. Masih banyak. Ibu-ibu pun masih suka ke kebun untuk mengambil daun pisang. Pakde Herman, teman bapak yang juga berkebun yang kini mengurusi kebun bapak. Satu hal yang saya pelajari, menanamlah sebanyak mungkin. Jika bukan kita yang menuai dan menikmati, biarkan anak-anak atau keturunan kita serta orang lain yang menikmatinya.

D for Drauma

“Ni, IPK lo berapa” Tanya Olsa, salah satu rekan kampus saya. Pertanyaan serupa dengan beberapa teman lainnya. Entah mengapa mereka begitu curious dengan IPK saya. “gw belum ngelihat, ini masih di kereta menuju kampus, lo berapa?” Tanya saya. “Gw 3,18. Ya lumayanlah. Mau gw liatin ga ni?”, “mmm boleh, ini password sama username gw ya”. 1 menit kemudian “IPK lo 2,86 Ni. IEM B+, IFM A-, IB A-, SBD dapet D.” pintu commuter kebuka, hujan deras, dan kereta tertahan di stasiun jatinegara. Speechless

D! nilai terburuk yang pernah saya dapat. Begitu bodohnya kah saya? Sepanjang saya kuliah S1 dulu, jangankan C atau D, nilai B- pun belum pernah saya dapat, nilai B? mmm bisa dihitung dengan jari. Karena transcript saya monoton A. Dan saat ini saya diberi nilai D untuk mata kuliah statistic. How come?
Entah kenapa tiba-tiba langkah saya lunglai, lemas. Ada 27 juta yang harus direimburs ke kantor. Dengan nilai seperti ini bagaimana mungkin bisa? Malu sekali harus menghadap Pak Heru (direktur SDM) dan Pak Boyke (direktur utama) dengan nilai seperti ini. “easy, masih banyak kemungkinan yang bisa kita coba” kata Agung, mantan ketua BEM UGM yang bersedia menemani saya ke kampus. Kami pun menuju ke kampus, lunglai, linglung, disorientasi. 

Untuk me-makesure, saya ke lab computer, bertemu dengan Pak Nathan sang ketua kelas dan Teddy. Mereka juga sedang mengecek nilai. “Pak Nathan, SBD saya dapet D”. “hah? Kok bisa? Salah mungkin” dan berita sang Ibu Sekum mendapat nilai D pun beredar di bb grup kelas. Tidak sedikit yang akhirnya bertanya langsung kepada saya. Tidak percaya, kata mereka. 

Saya pun berjuang dengan segala kemungkinan yang masih ada. Kemungkinan 1: menghubungi dosen, beliau mengatakan tidak pernah memberikan nilai D. Ya, saya dapat D memang kemungkinan besar karena ikut ujian susulan. Ujian susulan statistic, pilihan ganda 40 soal dengan waktu 90 menit dan dengan materi yang 80% diantaranya tidak pernah diajarkan oleh dosen, karena memang soal ujian dikeluarkan langsung oleh pihak akademik.  2 orang teman saya yang lain yang juga ikut ujian susulan, mendapat nilai D. Ujian perbaikan? Kemungkinan tipis, menurut pihak akademik. Sudah tidak ada waktu. Kemungkinan ke 2: postpone kuliah semester 1, mengulang matrikulasi kembali, khususnya untuk mata kuliah statistic saja. 27 juta tertunda untuk direimburs, saya harus meninggalkan kelas yang sudah mulai saya cintai ini. Saya sempat mengutarakan opsi ini ke teman-teman, tetapi 100% dari mereka menolak. Mereka sangat tidak ingin Bu Sek atau Bu Menteri (panggilan saya sebagai Ibu Sekum), pergi. Saya menelepon Mba’ Arika (pihak SDM kantor) beliau menyetujui, karena yang terpenting uang 27 juta dapat tereimburs. Saya menelepon Pak Hendy, antara percaya atau tidak dengan nilai D yang saya dapat, beliau mengatakan jangan mundur. Tidak usah di postpone. Maju saja. Beliau bersedia maju ke direksi bersama saya. Karena setelah di fight hanya sekitar 7-8 jutaan yang akan tidak direimburs. Tapi uang segitu besar untuk saya, terlebih saya berniat dan bermimpi untuk umroh. Speechless. 

Saya kemudian pergi makan, stress, airmata keluar, mami yang dari tadi sms menanyakan IPK saya dan belum juga dibalas-balas. Layaknya ingin perang, saya dibantu Agung me-mapping strategy dan kemungkinan-kemungkinan lain. Selalu berada di top prestasi membuat saya begitu desperate mendapatkan nilai D. Saya pun merasa kurang yakin dapat melalui semester berikutnya termasuk mengkaji ulang kembali keputusan untuk melanjutkan kuliah atau tidak. Self esteem saya turun, terjun bebas.

Pak Hendy, terus menyemangati saya, dan berjanji akan menuntaskan di Senin nanti. Saya? Pusing. Tidak bisa berfikir. Belasan bbm tidak saya balas. Ibu terus menanyakan kabar IPK saya “Mba’ berapa IPKnya, mami penasaran”. Dan saya pun memberanikan diri menelpon Ibu, “mi, IPKnya jelek, masa’ ada nilai Dnya.” “kok bisa? Salah kali?” “aku sudah berjuang mi, tapi tetap ga bisa merubah nilai” “mmm mba Harni masih dikasih ujian lagi, gapapa, kan usahanya sudah maksimal, diterima aja”. Saya, lega. Ya, Ibu lah yang paling tahu bagaimana saya berjuang, belajar, bangun malam, merelakan tidur hanya 3-4 jam saja. Menghabiskan hari minggu dengan buku-buku. Sholat malam dan puasa tiada henti. Tetapi, Sudahlah, mari dihadapi saja. Ada Allah.  

Senja di China Town

Merah. Mendominasi di setiap sudut klenteng di petak Sembilan, Kota. Merah, salah satu warna favorit saya. Full of energy. Semarak. Bersemangat. Hari ini, saya melihat langsung dan ikut menjadi bagian perayaan Imlek di dalamnya. Saya sampai di klenteng sore hari, sekitar pukul 15:40. Suasana sudah mulai ramai, banyak yang sudah mulai ibadah, banyak yang juga sudah stand bye dengan camera-camera terbaiknya untuk hunting foto dan banyak juga para pengemis memadati di halaman klenteng. Semua berbaur, datang ke klenteng dengan tujuan masing-masing.

Kerudung yang saya gunakan, bukan suatu masalah untuk mereka. Mereka hilir mudik dari satu dewa ke dewa yang lain, sembahyang dengan membawa dupa, berdoa untuk diri serta keluarga mereka. Tidak sedikit pengunjung seperti saya yang juga datang, masuk, hilir mudik, mengamati, mengambil gambar. Dan tidak ada satupun dari mereka yang beribadah, merasa terganggu dengan kedatangan kami. Semua berbaur. Sama halnya dengan asap dari lilin dan dupa yang semakin sore semakin tebal yang membauri semua ruangan ibadah. Absurb.

Unik. Saya pun berterima kasih kepada Gus Dur, presiden RI ke empat, yang terkenal nyentrik, nyeleneh dan demokratis. Sejak beliau menjadi Presiden lah, budaya dan agama berkembang, tak terkecuali untuk masyarakat Tionghoa.  Imlek, menjadi lebih membumi dan semarak.
Mmm tidak ingin mengulas lebih jauh, karena mungkin banyak orang-orang cerdas dan berpikiran kritis diluar sana yang dengan permainan katanya dapat mengurai lebih jauh masalah imlek, perayaan, tionghoa dan Gus Dur. Untuk melihat bagaimana suasana senja di China Town, saya mencoba untuk mendokumentasikan di link berikut. http://www.facebook.com/media/set/?set=a.2863226314006.131647.1660194039&type=3  
Enjoy!

Naik Commuter? Dilarang Manja!

Frustasi dengan kemacetan Jakarta, hampir satu tahun ini saya beralih menggunakan krl menuju kantor. Kembali menjadi anker (anak kereta –red) sama seperti ketika saya kuliah S1 dulu. Pulang pergi ke Depok menggunakan krl. Ya, krl merupakan Mass transportation yang menurut saya sangat ekonomis dan sebenarnya bisa diandalkan. Jika lancar, saya hanya membutuhkan waktu 20 menit dari rumah menuju ke stasiun Sudirman. Seburuk-buruknya, dalam waktu  40 menit saya sudah duduk manis di kantor. Itu semua kalau lancar. Tapi kalau gangguan, mmm ya sallam. Mmm teman-teman krl mania (sebutan pengguna krl) tentu lebih hafal dengan suka duka menggunakan krl ini. Mulai dari penuh sesak, jadwal yang kadang tidak ontime, copet dan sebagainya. Tapi disini saya tidak ingin menyampah. Cukup mereka saja yang berkeluh kesah, dan biarkan para pemimpin dan pembuat kebijakan yang bertanggung jawab langsung kepada Allah.

Yang ingin saya ceritakan disini adalah, begitu tough-nya para wanita, muda, setengah baya dan tua, yang menggunakan krl atau kini lebih sering disebut commuter (krl ac). Ya, saya terbiasa masuk di gerbong wanita commuter, gerbong paling depan dan paling belakang yang memang dikhususkan untuk wanita. Perubahan system dan jadwal commuter per 1 Desember 2011 yang lalu membuat para wanita muda, setengah baya dan tua harus berjuang lebih keras. Kami, pengguna commuter dari Bekasi menuju ke stasiun Sudirman harus transit terlebih dahulu di stasiun manggarai lalu melanjutkan perjalanan dengan commuter yang lain ke arah Sudirman.

Ya, setelah berdesak-desakan di dalam kereta. Berdiri, tanpa bergerak sedikitpun, layaknya ikan teri yang di pepes. Padat. Kami harus turun di manggarai, berebut keluar kereta, berlari menuju peron yang lain, mengejar kereta yang menuju Sudirman. Kembali berjuang masuk kereta yang sudah padat. Sampai di stasiun Sudirman, semua berhamburan keluar, berjalan secepat mungkin, menuju kantor masing-masing.

Hal serupa ketika pulang. Para wanita, muda setengah baya dan tua kembali berebut masuk kereta menuju Manggarai, transit, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan kereta lain menuju Bekasi. Padat. Di pagi dan malam, kami pun sering sekali harus melompat dari kereta karena tidak kebagian peron. Berlari menuju peron lainnya, entah dengan menyebrangi kereta yang sedang transit juga, naik dan melompati peron-peron yang lain dan berjuang masuk ke kereta yang sudah padat, yang saking padatnya terkadang pintu pun susah untuk ditutup. Pagi, semua bergegas menuju kantor. Sore-malam, semua bergegas menuju rumah. Ya, para wanita itu berjuang. Dengan tujuan masing-masing. Dan tidak sedikit dari mereka yang harus berjuang lebih ketika sampai di rumah. Memasak untuk keluarga, mengajarkan anak-anaknya, membereskan rumah dan memastikan semua kebutuhan dan urusan rumah terpenuhi.  Saya selalu salut dengan mereka, terlebih kepada para Ibu setengah baya yang masih berlari, berebut, melompat, menaiki peron, berdiri padat dengan kokoh. Ya, tidak ada kata manja untuk tinggal di Jakarta, termasuk juga naik commuter. Kami semua berjuang, dengan cara masing-masing menuju tujuan, yang juga masing-masing.