“Ni, IPK lo berapa” Tanya Olsa, salah satu rekan kampus saya. Pertanyaan serupa dengan beberapa teman lainnya. Entah mengapa mereka begitu curious dengan IPK saya. “gw belum ngelihat, ini masih di kereta menuju kampus, lo berapa?” Tanya saya. “Gw 3,18. Ya lumayanlah. Mau gw liatin ga ni?”, “mmm boleh, ini password sama username gw ya”. 1 menit kemudian “IPK lo 2,86 Ni. IEM B+, IFM A-, IB A-, SBD dapet D.” pintu commuter kebuka, hujan deras, dan kereta tertahan di stasiun jatinegara. Speechless
D! nilai terburuk yang pernah saya dapat. Begitu bodohnya kah saya? Sepanjang saya kuliah S1 dulu, jangankan C atau D, nilai B- pun belum pernah saya dapat, nilai B? mmm bisa dihitung dengan jari. Karena transcript saya monoton A. Dan saat ini saya diberi nilai D untuk mata kuliah statistic. How come?
Entah kenapa tiba-tiba langkah saya lunglai, lemas. Ada 27 juta yang harus direimburs ke kantor. Dengan nilai seperti ini bagaimana mungkin bisa? Malu sekali harus menghadap Pak Heru (direktur SDM) dan Pak Boyke (direktur utama) dengan nilai seperti ini. “easy, masih banyak kemungkinan yang bisa kita coba” kata Agung, mantan ketua BEM UGM yang bersedia menemani saya ke kampus. Kami pun menuju ke kampus, lunglai, linglung, disorientasi.
Untuk me-makesure, saya ke lab computer, bertemu dengan Pak Nathan sang ketua kelas dan Teddy. Mereka juga sedang mengecek nilai. “Pak Nathan, SBD saya dapet D”. “hah? Kok bisa? Salah mungkin” dan berita sang Ibu Sekum mendapat nilai D pun beredar di bb grup kelas. Tidak sedikit yang akhirnya bertanya langsung kepada saya. Tidak percaya, kata mereka.
Saya pun berjuang dengan segala kemungkinan yang masih ada. Kemungkinan 1: menghubungi dosen, beliau mengatakan tidak pernah memberikan nilai D. Ya, saya dapat D memang kemungkinan besar karena ikut ujian susulan. Ujian susulan statistic, pilihan ganda 40 soal dengan waktu 90 menit dan dengan materi yang 80% diantaranya tidak pernah diajarkan oleh dosen, karena memang soal ujian dikeluarkan langsung oleh pihak akademik. 2 orang teman saya yang lain yang juga ikut ujian susulan, mendapat nilai D. Ujian perbaikan? Kemungkinan tipis, menurut pihak akademik. Sudah tidak ada waktu. Kemungkinan ke 2: postpone kuliah semester 1, mengulang matrikulasi kembali, khususnya untuk mata kuliah statistic saja. 27 juta tertunda untuk direimburs, saya harus meninggalkan kelas yang sudah mulai saya cintai ini. Saya sempat mengutarakan opsi ini ke teman-teman, tetapi 100% dari mereka menolak. Mereka sangat tidak ingin Bu Sek atau Bu Menteri (panggilan saya sebagai Ibu Sekum), pergi. Saya menelepon Mba’ Arika (pihak SDM kantor) beliau menyetujui, karena yang terpenting uang 27 juta dapat tereimburs. Saya menelepon Pak Hendy, antara percaya atau tidak dengan nilai D yang saya dapat, beliau mengatakan jangan mundur. Tidak usah di postpone. Maju saja. Beliau bersedia maju ke direksi bersama saya. Karena setelah di fight hanya sekitar 7-8 jutaan yang akan tidak direimburs. Tapi uang segitu besar untuk saya, terlebih saya berniat dan bermimpi untuk umroh. Speechless.
Saya kemudian pergi makan, stress, airmata keluar, mami yang dari tadi sms menanyakan IPK saya dan belum juga dibalas-balas. Layaknya ingin perang, saya dibantu Agung me-mapping strategy dan kemungkinan-kemungkinan lain. Selalu berada di top prestasi membuat saya begitu desperate mendapatkan nilai D. Saya pun merasa kurang yakin dapat melalui semester berikutnya termasuk mengkaji ulang kembali keputusan untuk melanjutkan kuliah atau tidak. Self esteem saya turun, terjun bebas.
Pak Hendy, terus menyemangati saya, dan berjanji akan menuntaskan di Senin nanti. Saya? Pusing. Tidak bisa berfikir. Belasan bbm tidak saya balas. Ibu terus menanyakan kabar IPK saya “Mba’ berapa IPKnya, mami penasaran”. Dan saya pun memberanikan diri menelpon Ibu, “mi, IPKnya jelek, masa’ ada nilai Dnya.” “kok bisa? Salah kali?” “aku sudah berjuang mi, tapi tetap ga bisa merubah nilai” “mmm mba Harni masih dikasih ujian lagi, gapapa, kan usahanya sudah maksimal, diterima aja”. Saya, lega. Ya, Ibu lah yang paling tahu bagaimana saya berjuang, belajar, bangun malam, merelakan tidur hanya 3-4 jam saja. Menghabiskan hari minggu dengan buku-buku. Sholat malam dan puasa tiada henti. Tetapi, Sudahlah, mari dihadapi saja. Ada Allah.