1 hari sebelum operasi, saya sempat menghabiskan malam bersama teman-teman kuliah. Kami ke mall. Tempat yang sebenarnya tidak saya sukai. Membuat konsumtif karena akan ada apa saja barang yang dibeli. Secara tidak sengaja kami menyusuri pakaian pria. Dan entah kenapa saya selalu menoleh dan sering berhenti sebentar di barisan polo shirt. Melihat satu persatu model, warna dan kantong! Ya, kantong!
Bapak mempunyai standar tersendiri untuk setiap kaos yang ia kenakan. Berbahan kaos, adem, berkerah dengan 2-3 kancing, dan berkantong di sisi dada kiri. Semua standar itu harus wajib terpenuhi. Sakti, memiliki sense berpakaian jauh lebih baik dari saya lah yang lebih sering memilih model polo shirt untuk Bapak. Setiap ke mall kami selalu menyempatkan diri ke bagian polo shirt, sekedar melihat ada diskonan atau tidak, dan jika ada, kami pun menyisihkan uang membelikannya untuk Bapak.
Ya, Saya dan Sakti selalu tiap tahun memberikan polo shirt ke Bapak. Dan hampir semua yang kami berikan menjadi polo shirt kesayangan Bapak. Dan tidak jarang beliau memakai polo shirt sambil mengurai dibalik cerita polo shirt tersebut “ini kaos yang di kado 4 tahun lalu nih, masih bagus ya” atau “ini yang beliin Mba’ Harni pas dapet uang beasiswa” atau “warna coklatnya sampai sekarang masih bagus ya, ini pas dibeliin barengan sama yang garis-garis” Ya, bapak mengingat semuanya. Sampai ketika terakhir kali bapak berpakaian, Ia menggunakan polo shirt bergaris hijau pupus, polo shirt yang saya, ibu dan Sakti beli untuk kado ulang tahun bapak 6 tahun sebelumnya. Kaos yang setiba di ruang IGD digunting dan dirobek-robek oleh Dokter. Selanjutnya hanya alat-alat yang terpasang. Tidak ada polo shirt lagi, karena pakaian terakhir yang Bapak pakai adalah kain kafan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar