Frustasi dengan kemacetan Jakarta, hampir satu tahun ini saya beralih menggunakan krl menuju kantor. Kembali menjadi anker (anak kereta –red) sama seperti ketika saya kuliah S1 dulu. Pulang pergi ke Depok menggunakan krl. Ya, krl merupakan Mass transportation yang menurut saya sangat ekonomis dan sebenarnya bisa diandalkan. Jika lancar, saya hanya membutuhkan waktu 20 menit dari rumah menuju ke stasiun Sudirman. Seburuk-buruknya, dalam waktu 40 menit saya sudah duduk manis di kantor. Itu semua kalau lancar. Tapi kalau gangguan, mmm ya sallam. Mmm teman-teman krl mania (sebutan pengguna krl) tentu lebih hafal dengan suka duka menggunakan krl ini. Mulai dari penuh sesak, jadwal yang kadang tidak ontime, copet dan sebagainya. Tapi disini saya tidak ingin menyampah. Cukup mereka saja yang berkeluh kesah, dan biarkan para pemimpin dan pembuat kebijakan yang bertanggung jawab langsung kepada Allah.
Yang ingin saya ceritakan disini adalah, begitu tough-nya para wanita, muda, setengah baya dan tua, yang menggunakan krl atau kini lebih sering disebut commuter (krl ac). Ya, saya terbiasa masuk di gerbong wanita commuter, gerbong paling depan dan paling belakang yang memang dikhususkan untuk wanita. Perubahan system dan jadwal commuter per 1 Desember 2011 yang lalu membuat para wanita muda, setengah baya dan tua harus berjuang lebih keras. Kami, pengguna commuter dari Bekasi menuju ke stasiun Sudirman harus transit terlebih dahulu di stasiun manggarai lalu melanjutkan perjalanan dengan commuter yang lain ke arah Sudirman.
Ya, setelah berdesak-desakan di dalam kereta. Berdiri, tanpa bergerak sedikitpun, layaknya ikan teri yang di pepes. Padat. Kami harus turun di manggarai, berebut keluar kereta, berlari menuju peron yang lain, mengejar kereta yang menuju Sudirman. Kembali berjuang masuk kereta yang sudah padat. Sampai di stasiun Sudirman, semua berhamburan keluar, berjalan secepat mungkin, menuju kantor masing-masing.
Hal serupa ketika pulang. Para wanita, muda setengah baya dan tua kembali berebut masuk kereta menuju Manggarai, transit, lalu melanjutkan perjalanan menggunakan kereta lain menuju Bekasi. Padat. Di pagi dan malam, kami pun sering sekali harus melompat dari kereta karena tidak kebagian peron. Berlari menuju peron lainnya, entah dengan menyebrangi kereta yang sedang transit juga, naik dan melompati peron-peron yang lain dan berjuang masuk ke kereta yang sudah padat, yang saking padatnya terkadang pintu pun susah untuk ditutup. Pagi, semua bergegas menuju kantor. Sore-malam, semua bergegas menuju rumah. Ya, para wanita itu berjuang. Dengan tujuan masing-masing. Dan tidak sedikit dari mereka yang harus berjuang lebih ketika sampai di rumah. Memasak untuk keluarga, mengajarkan anak-anaknya, membereskan rumah dan memastikan semua kebutuhan dan urusan rumah terpenuhi. Saya selalu salut dengan mereka, terlebih kepada para Ibu setengah baya yang masih berlari, berebut, melompat, menaiki peron, berdiri padat dengan kokoh. Ya, tidak ada kata manja untuk tinggal di Jakarta, termasuk juga naik commuter. Kami semua berjuang, dengan cara masing-masing menuju tujuan, yang juga masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar