Senin, 30 Januari 2012

Panen Pisang

Salah satu hobi bapak selain beternak, berolahraga ya menanam. Mewarisi darah orangtuanya yang petani. Bapak dengan sangat apik dan telaten menanam dan merawat tanaman. Rumah kami yang terletak di perkampungan, memungkinkan Bapak untuk bercocok tanam. Dengan menggunakan lahan tidur milik perum Masnaga, yang terletak 10 meter dari rumah. Bapak mematok tanah seluas kira-kira 400 meter, memagari keliling, menanam berbagai jenis pohon pisang disekililingnya dan aneka sayuran di dalamnya. 

Bapak mencari bibit pisang sendiri, mulai dari pisang batu, kepok dan ambon, menggotong bibit pisang, menanam dan merawatnya hingga besar dan berbuah, bertunas baru dan terus berkembang biak. Untuk di dalamnya Bapak pernah menanaminya dengan sawi, bayam, kangkung. Ya, menuai dengan membeli bibit sendiri, ketika panen, 1 RT akan kebagian sayuran secara gratis. Saya? Paling hobi memanen. Bagian memetik. Tidak dengan menanam dan merawat. 

Bosan menanam, Bapak pun mengubah lahan sayur jadi kolam lele. Digalinya tanah membentuk persegi panjang dan dimasukkan bibit lele. Ini yang sering membuat Ibu marah-marah ke Bapak. Ya, karena Bapak akhirnya lebih sering menghabiskan waktunya di kebun. Belum lagi pulang dengan baju penuh getah pisang atau membawa piring berisi makanan-makanan kecil dan botol minum yang sering sekali tertinggal di kebun. Tapi ya itulah Bapak. Sepertinya sudah kebal dengan cerewetan Ibu. Esoknya, Bapak pun terus mengulangi. Tetap pergi ke kebun, pulang dengan baju kotor, dan lupa membawa pulang botol minum dan piring. 

Tahun berganti, pohon pisang Bapak semakin banyak, lebat dan terus berbuah. Beliau dengan sangat bangga, membopong pisang 1 tandan ke rumah dan dipamerkan ke kami. Kadang sekali panen bisa 3-4 tandan. Semua tetangga di stock pisang, termasuk beberapa teman SMA saya yang memang keluarganya menyukai pisang, maka Bapak dengan motornya, riang mengantar pisang ke beberapa rumah teman saya. Karena pohon pisang ini, Bapak juga menjadi idola para Ibu. Setiap sore ada saja Ibu yang datang ke rumah atau ke kebun, untuk meminta daun pisang. “kalau bikin lemper pake daun pisangnya Pak Ari, rasanya sedep banget” celoteh para Ibu. Dan Bapak dengan senang hati menebas beberapa daun pisang, menyesetnya, melipat dan memberikan ke para Ibu. Dan esoknya tidak jarang kami pun kebagian kue lemper, unti, botok atau bahkan pepes.  

Hingga kini, pohon-pohonnya terus berbuah. Masih banyak. Ibu-ibu pun masih suka ke kebun untuk mengambil daun pisang. Pakde Herman, teman bapak yang juga berkebun yang kini mengurusi kebun bapak. Satu hal yang saya pelajari, menanamlah sebanyak mungkin. Jika bukan kita yang menuai dan menikmati, biarkan anak-anak atau keturunan kita serta orang lain yang menikmatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar