Catur, salah satu permainan yang juga merupakan cabang olahraga yang Bapak sukai. Hampir setiap hari bapak bermain catur, entah ketika sedang istirahat di tempat kerja, sepulang kerja dengan tetangga-tetangga rumah atau dengan saya dan Sakti. Ya, kami diajari Bapak bermain catur ketika masih kecil sekali. Awalnya, kami hanya bertugas menjadi pemandu sorak, merajuk ke Bapak untuk terus memakan tokoh-tokoh yang ada di catur dan memenangkan permainan. Hingga terkadang justru saya dan Sakti yang sibuk sendiri karena berebut kuda, benteng, peluncur atau pion yang berhasil Bapak ambil dari lawannya.
Berawal dari sana, saya dan Sakti pun akhirnya ketularan menyukai permainan catur. Bapak melatih kami. Awalnya hanya sekedar bermain “makan-makanan” ya tujuan utama permainan adalah makan, menghabiskan semua pion,kuda, peluncur hingga raja. Tidak ada taktik. Hanya banyak-banyakan biji catur yang berhasil diambil dari lawan saja. Terkadang Sakti sering bertanya kepada Bapak langkah apa yang harus diambil, tak mau kalah saya pun juga bertanya kepada Bapak. Adegan selanjutnya? “curang, aku cuma makan pion, terus kenapa mba’ harni makan kuda. Bapak ngasih taunya ga adil” kami pun berkelahi dan permainan usai. 2 bersaudara dengan jenis kelamin sama membuat saya terkadang menganggap adik saya sebagai rival, competitor.
Seiring dengan waktu, Bapak tetap setia dengan catur. Beliau bahkan membuat papan catur sendiri. Ya dengan tangannya sendiri. Papan besar yang cukup berat, lalu entah dengan cara apa dan bagaimana papan itu disulap dengan kotak-kotak hitam putih, rapi sekali. Plus dilengkapi dengan tokoh-tokoh catur yang beliau beli, asli terbuat dari kayu, besar dan gagah. Kami selalu berhati-hati menggunakan papan catur kebesaran dan kebanggaan ini. Bapak selalu mewanti-wanti agar semua biji catur tidak ada satu pun yang hilang.
Skak mat! Teriak Sakti. Seiring dengan waktu, kami mulai bermain catur dengan taktik. Sakti yang jauh lebih cerdas dari saya sering sekali memenangkan permainan. Saya? Semakin penasaran untuk mengalahkannya. O iya, setiap bulan Agustus, rumah kami juga selalu dipenuhi bapak-bapak yang berlomba bermain catur. Bapak, orang yang sangat humble dengan siapapun, bersedia berkorban banyak untuk orang lain tanpa lelah sedikitpun membuat para tetangga menaruh hormat kepada Bapak. Bapak selalu diangkat menjadi ketua panitia 17 Agustus. Dan setiap bulan itulah, suara skak mat selalu memenuhi rumah kami. Serrrru, semarak.
Saya dan Sakti juga tidak jarang mengajak bertanding Bapak bermain catur. Kekaguman kami dengan kepandaian Bapak bermain catur membuat kami berambisi mengalahkan Bapak. Pertama, kedua, ketiga, keempat, kami kalah. Tetapi selanjutnya kami lebih sering menang. Menang, entah karena memang kami yang semakin pintar bermain catur atau Bapak sengaja mengalah untuk kami. But, it so last decade. Ketika kami mulai kuliah, Bapak lebih sering bermain catur dengan teman-temannya. Kami? Sibuk dengan urusan masing-masing. Dan sudah 3 tahun ini saya dan Sakti juga tidak bermain catur. Bermain menggunakan papan catur kebanggaan dan kebesaran Bapak. Sudah terlalu lama teronggok diam disana. So? Wanna play chess with me?
Mauuu.... tapi ajarin ya... aku ga bisa main catur kecuali makan memakan... typical children's playing chess...;-D
BalasHapus