Salah satu hal yang membahagiakan saya bersama Bapak adalah ketika saya pergi ke Palang Merah Indonesia bersama bapak. Kami naik bis tingkat dari pondok kopi lalu turun di Jatinegara dan kembali naik bis besar lagi menuju kantor PMI pusat, mengantar bapak donor darah. Bapak terbiasa mendonorkan darahnya setiap 3 bulan sekali, sejak beliau berumur 28 tahun. Beliau mendonorkan darahnya secara rutin tanpa absen sekalipun.
“Hallo dek, ikut bapak donor lagi ya?” sapa salah seorang dokter disana. “iya, mau nemenin bapak sama mau makan indomi sama susu”, jawab saya. Ya, pergi donor bersama bapak, mengisyaratkan saya kalau setelah ini ada Indomie rebus, plus telor rebus serta segelas susu yang akan diberikan untuk kami.
Setelah diperiksa, kami memasuki ruangan yang besar sekali, banyak tempat tidur disana. Tidak hanya bapak, ada juga teman-teman bapak yang lain, sedang tidur dan diambil darahnya. Bapak kemudian tidur, ada suster yang menyuntik lengan kiri bapak, menyambungkan dengan selang ke kantong plastik yang berada tidak jauh dari tangan bapak. “sakit ga pak?” pertanyaan yang selalu saya lempar ke bapak ketika donor, dan bapak selalu bilang “nggak, nggak sama sekali kok, kaya digigit semut, cekit”. “darahnya keluar pak, udah masuk kantong, ntar sampai penuh ya Pak?” Tanya saya. Kami pun terus berbincang-bincang. “suster, kantong darahnya bapak udah penuh” saya berlari ke tempat suster. Dan setelah itu jarum yang masih menancap di lengan Bapak tak lama dicabut. Darah bapak disimpan di lemari dingin khusus penyimpan darah. Dan selanjutnya, saat-saat yang ditunggu tiba. Kami menuju ke restorant PMI dan disediakan 2 indomie rebus, 2 telur rebus dan 2 gelas susu untuk kami. Sepulang dari sana, biasanya kami mampir ke pasar jatinegara, entah hanya sekedar melihat-lihat saja.
Bulan demi bulan, Bapak terus mendonorkan darahnya. Bapak mendapat penghargaan yang ke 10, 25, 40, 50 hingga yang terakhir 75. Ya, ketika saya SMA, bapak telah mendonorkan darahnya hingga 75 kali. Sudah ada 75 kantong darah yang Bapak berikan. “alhamdulilah Mba’, ga bisa nyumbang uang, ya Bapak nyumbang darah aja.” Celetuk bapak.
Sedikit spesial, bapak mendapat undangan ke kantor gubernur Jakarta, mendapat penghargaan karena telah secara rutin menyumbangkan darahnya hingga ke 75. Pihak PMI memberikan undangan kepada Bapak untuk menghadiri pemberian penghargaan tersebut. Bapak bersama Ibu pergi ke kantor gubernur, naik motor, menghadiri acara penghargaan tersebut. Mereka menggunakan pakaian terbaik.
Sesampai dirumah, Bapak bercerita dengan antusias sekali, betapa bangga dirinya karena bisa bersalaman dengan pak Gubernur, diberi goodybag yang berisi baju batik lengan panjang merk Danar Hadi, uang saku sebesar Rp. 100.000 dan 1 lencana emas berukir PMI yang disematkan di dada bapak serta piagam penghargaan.
Batik Danar Hadinya pun menjadi pakaian kebanggaan Bapak untuk menghadiri acara-acara penting, piagam penghargaan langsung di bingkai di pajang bersama piagam-piagam penghargaan yang lainnya. Tetapi lencana emas kebanggaan bapak, harus direlakan terjual di toko emas.
Saat itu, saya duduk di SMU, adik saya di SMP. Kami sedang butuh-butuhnya uang untuk sekolah. Keuangan kami yang terbatas, memaksa Bapak untuk menjual lencana emas berukir PMI untuk membiayai uang sekolah kami. Sedih sekali. Lencana emas seberat 6 gram itu harus pergi dari bapak. Setelah sebelumnya cincin kawin Ibu yang dijual untuk membiayai kelahiran adik saya, maka lencana emas itulah, satu-satunya emas yang keluarga kami punya. Tetapi kami harus merelakan kembali.
“gapapa mba’, nanti kalau kamu sudah kerja kan juga bisa beliin lagi. Lagipula yang penting kan bapak bisa nolong orang yang butuh darah, bukan penghargaannya”, ucapnya. “Nanti, kalau donornya sudah sampai seratus kali, dikasih lencana lagi mba’, lebih gede deh kayanya, sama dikasih jas hitam, bukan batik. Jd gapapa” tambah bapak.
Dan bapak pun terus mendonorkan darahnya, hingga 2 tahun terakhir menjelang kepergian Bapak. Beberapa kali bapak ditolak untuk mendonorkan darahnya. Darah bapak terlalu kental atau tensi bapak cukup tinggi. Bapak pun kemudian kembali pulang tanpa mendonorkan darahnya. “sudah 92 niy mba’, mmm kira-kira bisa sampai seratus ga’ ya?” ucap bapak. Di kartu donornya ada cap di kolom nomer 92, 8 kali lagi mencapai 100.
Setelah ditolak, biasanya Bapak kembali ke PMI 3-5 hari kemudian. Tidak enak kalau pas jatahnya donor, tapi tidak donor, kata bapak. Kadang diterima, kadang bapak juga harus ditolak kembali, karena kualitas darahnya tidak membaik, atau terkadang tetap diambil darahnya, tetapi dibuang, tidak dipakai.
Mei 2008, sepeningalan Bapak, saya lah yang megurus semua surat-surat termasuk memegang dompet bapak. Disitu ada kartu PMI milik bapak. Tercatat sudah 95 kali bapak mendonorkan darahnya, 5 kali lagi menuju 100. Menuju mendapatkan jas hitam dan lencana emas. Lencana yang sempat beliau idam-idamkan dan berharap tidak lagi terjual. Tetapi Allah berkendak lain, cukup 95 kantong darah saja yang bapak berikan, tidak perlu sampai 100.
Saat ini tugas saya lah yang harus meneruskannya, memulai dari 1 hingga jika dikehendaki mencapai 100 nantinya. Harus membulatkan tekad, meneruskan amalan baik bapak, dan menghadiahinya sebagai amal jariyah Bapak. Toh, hanya itu saja kan yang bisa saya lakukan untuk beliau.
keren :)
BalasHapusmemang... kangen bgt yaaa...
BalasHapusjaman kapan sih jakarta msh ada bis tingkat??
Hapus:)
sungguh mulia hati bapak anda yang selalu setia mendonorkan darahnya untuk menolong sesama smoga tuhan membalas amal ibadah beliu
BalasHapus