Minggu, 24 Juli 2011

PERUBAHAN SISTEM SOSIAL PADA MASA DEWASA MADYA

Nama               : Harni Wijayanti
NPM               : 0903060182

Masa dewasa madya mempunyai batasan usia antara 40 sampai 60 tahun. Banyak hal yang mempengaruhi pada masa ini, yaitu baik dari faktor biologis, psikologis maupun sosial. Pada kesempatan kali ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang perubahan sistem sosial pada masa dewasa madya.
A.    Masalah di lingkungan kerja.
Pekerjaan adalah pusat perhatian dari hidup khususnya untuk dewasa madya, yang umumnya sebagian besar dari mereka berada dalam puncak karir. Kerja tidak hanya memungkinkan seseorang untuk membiayai kebutuhan sehari-hari tetapi juga dapat menyediakan arti dan harga diri, menyediakan lingkungan kerja dan teman, dan sumber dari pemenuhan diri (aktualisasi diri). Pekerjaan yang menantang dapat membantu seseorang untuk tumbuh secara intelektual, psikologis dan sosial.
            Dalam masyarakat kita, memiliki nilai yang tinggi terhadap etika pekerjaan, dimana kita akan mempertimbangkan pekerjaan untuk menjadi terhormat, produktif dan berguna. Status sosial dari pekerjaan berpengaruh besar terhadap konsep diri, penghargaan orang lain, dan penghargaan diri sendiri, serta berpengaruh juga terhadap rasa bosan dan well being seseorang.
            Maka hal yang ditakuti oleh mereka adalah menjadi pengangguran. Etika kerja yang masih menonjol pada masyarakat kita, ketika seseorang kehilangan pekerjaannya, mereka menghancurkan diri mereka sendiri dan juga kehilangan pengertian tentang harga diri. Banyak dampak yang ditimbulkan dari menjadi pengangguran ini, baik dari segi psikologis maupun sosial. Pada dasarnya pengangguran dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengangguran jangka pendek, terutama apabila seseorang mendapat tunjangan maka hanya akan memberikan efek kecil, sementara pengangguran jangka panjang, mungkin mendapat efek yang sebaliknya, Willensky menemukan bahwa pengangguran jangka panjang sering kali mengarah pada isolasi diri yang ekstrem. Pekerjaan merupakan sentral dari kehidupan banyak orang, apabila terjadi pengangguran maka ikatan kerja terputus, banyak penganggur yang jarang menemui teman-temannya, terputusnya ikatan dengan komunitas dalam kehidupan, hal tersebut terus meningkat menjadi isolasi. Braginsky & braginsky menemukan bahwa pengangguran jangka panjang menyebabkan perubahan perilaku yang tetap ada meskipuan seseorang sudah tidak lagi menganggur. Menjadi tergantung sering kali dipandang oleh mereka yang tidak bekerja sebagai tanda bahwa dirinya adalah orang yang tidak berkompeten dan tidak berarti, harga diri rendah, cenderung mengalami depresi dan mereka terasingkan oleh masyarakat. Banyak yang menderita rasa malu yang mendalam kemudian menghindari masyarakat.
            Brener (1973) menemukan hubungan yang kuat antara pengangguran dan masalah emosional. Selama resesi ekonomi, dia menemukan bertambahnya orang yang masuk rumah sakit jiwa. Angka bunuh diri juga bertambah, ini menunjukkan meningkatnya depresi. Selain itu, yang juga meningkat selama waktu meningkatnya pengangguran adalah tingkat perceraian, insiden kekerasan anak dan angka radang dinding lambung (stress-dihubungkan dengan penyakit). 
Ada beberapa macam kelompok yang mempunyai resiko tinggi untuk menjadi pengangguran, yaitu: Kelompok yang memiliki pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keahlian kerja untuk bersaing. Wanita, akibat dari diskriminasi dalam pekerjaan. Kelompok pekerja dengan usia tua yaitu 40 tahun keatas. Kelompok remaja dan orang muda. Adanya perubahan struktur yang mengakibatkan pengangguran struktural. Sedangkan, faktor-faktor yang dapat menurunkan resiko pengangguran yaitu pertama, tingkat bunga yang rendah mendorong konsumer untuk memperoleh lebih banyak barang melalui pinjaman kredit. Kedua, perang. Ketiga, perkembangan dari produk-produk baru yang membuka peluang untuk pekerjaan baru. Dan yang keempat, adalah perekonomian.
B.     Masalah dalam sistem keluarga.
1.      Pernikahan yang kosong, hampa ataupun jenuh 
Dalam pernikahan yang kosong, hampa, ataupun jenuh didalamnya tidak ada hubungan dan ikatan yang kuat antara sesama anggota keluarga. John F. Cuber dan Peggy B Harrof (1971) mengidentifikasikan tiga tipe dalam perkawinan yang hampa atau kosong, yaitu:
Ø  Devitalized relationship
Antara suami dan istri kehilangan banyak hal yang menyenangkan dalam sebuah pernikahan. Rasa bosan dan apati merupakan karakternya. Pertengkaran argumen jarang terjadi. 
Ø  Conflict-habituated relationship
Antara suami dan istri sering kali mengalami pertengkaran. Mereka juga dapat bertengkar di tempat umum atau tempat lainnya. Karakter hubungan ini erat dengan konflik, tensi, dan kepahitan
Ø  Passive-congenial relationship
Antara kedua pasangan merasakan ketidaksenangan dan memiliki sedikit konflik.
2.      Perceraian
Perceraian biasanya membawa berbagai kesulitan kepada siapa saja yang terlibat. Pertama, orang yang bercerai menghadapi hal-hal yang menyangkut emosional seperti suatu perasaan menerima kegagalan, perasaan untuk menerima dan memberi cinta, perasaan kesepian, perasaan yang meliputi stigma atau cap yang menempel pada perceraian, menyangkut reaksi yang diberikan oleh teman-teman atau kerabat, menyangkut perasaan apakah telah melakukan suatu hal yang benar pada saat melakukan perpisahan atau perceraian, menyangkut apakah dapat melakukan sesuatu dengan baik secara sendiri. Apabila memiliki anak, maka perhatian lebih kepada bagaimana perceraian akan mempengaruhi mereka.
Penelitian (Papalia dan Olds, 1942, p.459) memperlihatkan bahwa melewati sebuah masa perceraian merupakan suatu masa yang sangat sulit. Orang tidak dapat menampilkan kinerja yang baik pada pekerjaanya dan sepertinya banyak yang dipecat dalam periode ini. Orang yang bercerai memiliki angka harapan hidup yang rendah dan angka bunuh diri pada laki-laki yang bercerai sangat tinggi.
Perceraian secara otomatis tidak selalu dianggap menjadi sebuah masalah sosial. Dalam beberapa pernikahan dimana ketegangan, kepahitan dan ketidakpuasan, perceraian terkadang merupakan suatu solusi. Hal ini mungkin merupakan langkah konkret dari orang-orang yang melakukan perceraian untuk mengakhiri ketidakbahagiaan dan memulai ke arah kehidupan yang lebih produktif dan memuaskan.
Ada berbagai macam alasan kenapa seseorang memutuskan untuk bercerai, yaitu:
Ø  Little (1982) menjelaskan bahwa alasan utama orang bercerai yaitu karena adanya ketidakpuasan satu sama lain. Dengan kata lain, pasangannya memiliki sifat-sifat yang tidak dikehendaki seperti yang diharapkan oleh suami/istri mereka.
Ø  Banyak hal yang menjadi sumber dari perceraian. Misalnya alcoholism, percekcokan ekonomi yang disebabkan oleh pengangguran atau masalah ekonomi lainnya, ketidakcocokan dalam hal kesukaan, ketidaksetiaan, kecemburuan, kekerasan lisan maupun fisik dari pasangan dan campur tangan dalam pernikahan oleh sanak famili atau teman-teman.
Ø  Ketidaksediaan seorang laki-laki untuk menerima perubahan status seorang wanita. Banyak laki-laki yang masih lebih memilih ke pernikahan tradisional, dimana suami adalah dominan dan istri memiliki kedudukan yang lebih rendah (supportive) seperti membesarkan anak, mengurus rumah tangga dan memberikan dorongan emosional kepada suami mereka. Banyak wanita yang tidak dapat bertahan pada status tersebut dan meminta kesetaraan dalam pernikahan.
Ø  Berkembangnya individualime. Individualisme meliputi kepercayaan bahwa orang harus mencari untuk dapat mengaktualisasikan diri mereka, menjadi bahagia, mengembangkan kesenangannya.  
Ø  Semakin diterimanya perceraian di masyarakat. orang sudah lagi tidak peduli terhadap stigma buruk bagi pasangan yang bercerai, karena sekarang sudah banyak orang yang tidak merasa bahagia dengan pernikahannya. 
Ø  Adanya nilai-nilai yang diabaikan dalam keluarga modern. Pendidikan, penyedia makanan, hiburan dan kebutuhan lainnya yang seharusnya keluargalah sumbernya, kini ternyata sebagian besar disediakan oleh pihak lain.
Konsekuensi yang timbul dari perceraian tersebut antara lain: orang menjadi marah dan gelisah, merasa bersalah pada diri sendiri, dan dampak utama bagi wanita adalah masalah standar hidup yang menurun.  
Selain konsekuensi tersebut, perceraian juga memiliki dampak bagi anak, seperti yang dikemukakan oleh Hetherington, Cox dan Cox (1973) yang meneliti 48 keluarga yang bercerai selama 2 tahun setelah perceraian untuk meneliti efek perceraian terhadap anak. Mereka menemukan bahwa segera sesudah perceraian, ada gangguan yang sungguh-sungguh dan disorganisasi didalam kehidupan keluarga. Studi tersebut meyimpulkan bahwa 2 tahun pertama setelah perceraian merupakan masa yang penuh tekanan bagi semua anggota keluarga. Papalia dan Olds (1989, p.321) menyebutkan perasaan yang mungkin dialami oleh anak dari perceraian yaitu penderitaan, kebingungan, kemarahan, kebencian, kekecewaan yang mendalam, merasa gagal dan penyangkalan diri.
      Sebuah studi longitudinal focus pada 60 keluarga di California yang sedang mengalami perceraian(Walerstein 1983; Walerstein dan Kelly,1980). Ditemukan bahwa anak–anak perlu bekerja menghadapi 6 isu utama untuk memelihara perasaan yang positif dalam penyesuaian diri, yaitu:
a.       Anak perlu menerima kenyataan bahwa pernikahan orang tua mereka sudah berakhir.
b.      Anak perlu menarik diri dari segala konflik yang mungkin dimilki orang tua mereka.
c.       Anak perlu mengatasi kehilangannya, yaitu kehilangan kontak dengan orang tua, situasi rumah, peraturan dan kebiasaan keluarga.
d.      Anak perlu dapat mengatasi perasaan marah pada diri sendiri.
e.       Anak perlu memahami bahwa situasi ini adalah permanen.
f.       Anak perlu tetap memelihara kontak dengan orang lain yang berhubungan dengan kehidupannya.
3.      Keluarga dengan orang tua tunggal.
Anak yang hidup dalam keluarga dengan orang tua tunggal mengahdapi lebih banyak masalah daripada anak yang dibesarkan dengan orang tua utuh. Meskipun demikian, orang tua utuh tidak selalu ideal dan orang tua tunggal tidak selalu patologis. Orang tua tunggal harus memenuhi seluruh tanggung jawab yang seharusnya dibagi dengan pasangan. Hal ini berarti orang tua tunggal harus berperan sebagai kedua orang tua sekaligus.
4.      Keluarga campuran
Keluarga campuran adalah keluarga yang didalamnya tidak hanya terdiri dari orang tua atau anak kandung saja melainkan juga terdiri dari orang tua tiri atau anak tiri yang meruapakan hasil perkawinan sebelumnya. Keluarga ini mempunyai situasi yang kompleks. Kecemburuan merupakan hal yang pasti akan tumbuh dalam pembagian perhatian dari orangtua kepada anak kandung maupun anak tiri. Untuk itu diperlukan adaptasi dan proses pembelajaran.
Masalah yang paling sering berpotensi menimbulkan tekanan adalah cara membesarkan anak. Anak tiri harus berusaha menyesuaikan dengan satu set peraturan baru yang diterapkan orang tua tiri. Tidak jarang si anak menjadi rindu kepada orangtuanya. Untuk itu, baik anak maupun orang tua harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan masing-masing. Menjadi orang tua tiri umumnya lebih sulit pada wanita, karena pada umumnya anak lebih dekat kepada Ibu kandungnya secara emosional. Terdapat tiga mitos tentang orang tua tunggal yaitu; (1) Ibu tiri jahat seperti dalam cerita Cinderella, (2) Step is less, anak tiri tidak akan menempati hati orangtuanya layaknya anak kandung. (3) instant love untuk semuanya padahal membutuhkan banyak waktu untuk saling mengenal.
5.      Ibu yang bekerja diluar (Ibu sebagai wanita karir)
Sekarang ini, banyak Ibu yang bekerja di luar rumah dan menjadi wanita karir. Dengan bekerja diluar rumah, maka Ibu atau seorang istri yang memegang peranan penting dalam keluarga serta anak-anak mereka tentunya mengalami permasalahan. Anak memerlukan perhatian dan kasih sayang yang ekstra dari seorang Ibu.

Empati, Altruisme dan Egoisme

Helping relationship merupakan suatu usaha menolong orang lain untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dirinya dan lingkungannya, dengan meningkatkan personal well being individu. Helping relationship merupakan dasar hubungan antara Pekerja Sosial dan klien, baik klien individu, kelompok, komunitas atau masyarakat. Profesi Pekerja social secara professional sendiri dimulai sejak abad 19. Pada abad 19, pekerja social berfikir bahwa dirinya sebagai friendly visitor, yaitu teman untuk oprang miskin tetapi hanya dalam loncatan social, moral dan superior intlektual mereka. Sedangkan saat ini, Pekerja social lebih condong untuk berfikir bahwa diri kita sebagai ahli, dengan teknik dan metode yang membuat kita dapat menolong orang lain dan menghormati nilai mereka. Dalam menjalankan peran Helping Relationship, setidaknya seorang Pekerja Sosial dipengaruhi oleh ketiga sifat, yaitu Empati, Altruisme dan egoisme. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut dari masing-masing konsep serta keterkaitan antara ketiga konsep tersebut dengan Helping Re;ationship yang dijalankan terutama oleh Pekerja Sosial.
1. Empati
            Empati merupakan suatu kata yang berasal dari bahasa Yunani kuno, terdiri dari dua suku kata, em dan pathos, em berarti didalam atau ledalam dan pathos yang berarti perasaan (Barret-Lennard, 1981; Pearson, 1983). Sehingga secara harfiah empati dapat diartikan sebagai mendalami atau menyelami perasaan orang lain. Penggunaan konsep empati sendiri, pertama kali digunakan oleh Adler, Adler (1931 dalam Barret-Lennard, 1981) mengatakan bahwa empati adalah “To see with eyes with another, to hear with the ears of another, (and) to feel with the herath of another”. Sedangkan Pearson (1983) mendefinisikan empati sebagai “…the process of detecting and identifying the immediate affective state of another and responding in an appropriate manner.” Dari definisi tersebut, Pearson menjelaskan bahwa dalam empati ada suatu proses untuk memahami orang lain dengan mengidentifikasi perasaannya. Sehingga, esensi dari konsep empati adalah pemahaman(understanding), yaitu bahwa empati merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh konselor untuk memahami kliennya (Patterson, 1979). Definisi lain, mengenai empati, dikemukakan oleh Rogers (1975) secara lebih terperinci. Menurut Rogers Empati memiliki pengertian: “It means entering the private perceptual world of the other and becoming thoroughly a home in it. It involves being sensitive, moment to moment, to changing felt meanings which flow in this other person, to the fear or rage or tenderness or confusion or whatever, that he.she is experiencing. It means temporarily living in his/her life, moving about in it delicately without making judgements, sensing the meaning of which he/she is scarcely aware, but not trying to uncover feelings of which the persons is totally unaware, since this would be threatening. It includes communicating yaour sensing of his/her world as you look with fresh and unfrightened eyes element of which the individual is fearful.” Dari definisi-definisi yang telah diungkapkan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu proses dimana seseorang sevara aktif berusaha untuk memahami keseluruhan perasaan, pikiran dan cara pandang orang lain terhadap diri sendiri dan dunia sekitarnya. Empati sendiri dapat dibedkan menjadi dua jenis yaitu empati afektif dan empati kognitif. Empati afektif merupakan respon emosional terhadap situasi seseorang. Sedangkan empati konitif merupakan kemampuan untuk mengerti pikiran orang lain dan mengambil perspektif orang lain (Davis dalam Schroeder, 1995). 
2. Altruisme
            Konsep altruisme sangat dekat dengan konsep prososial dan menolong. Prososial berarti perilaku yang menguntungkan orang lain dan mempunyai konsekuensi social yang positif (Staub, Wispe dalam Deaux dkk, 1990). Sedangkan perilaku menolong atau helping adalah aksi yang memiliki konsekuensi memberikan keuntungan dan peningkatan kesejahteraan orang lain (Schroeder,1995). Dan altruisme sendiri memiliki pengertian sebagai pertolongan yang diberikan seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan rewards dari sumber-sumber luar (Macaulay dan Berkowitz). Definisi senada juga diberikan dalam Webster’s New World Dictionary, altruisme, sebagai kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa mementingkan diri sendiri. Severy menambahkan, bahwa esensi dari altruisme adalah motivasi untuk menolong yang didasari oleh penyebab sederhana, yaitu karena seseorang individu melihat bahwa orang lain membutuhkan pertolongan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa altruisme adalah sebuah perilaku spesifik yang bertujuan untuk menolong atau memberikan rasa aman kepada orang lain yang membutuhkan, tanpa mengharapkan pamrih atau imbalan apapun.
3. Egoisme
Egoisme sendiri muncul dimulai dari revolusi Perancis, dimana kebebasan seseorang menjadi suatu hal yang bernilai. Ditambah munculnya kelompok moderat yang memiliki egoisme tinggi. Batson, berpendapat bahwa ada dua sifat egois manusia terkait dan menjadi dasar alasan untuk menolong sesama. Pertama, dari segi pembelajaran social dan reinforcement, yaitu adanya pencarian reward dan ada motiv tersendiri dalam tindakan menolong. Sedangkan yang kedua, dari segi pmuasan diri sendiri, yaitu seorang Pekerja social merasa tertantang apabila melihat seorang klien yang memiliki masalah. Sehinga timbul keinginan yang kuat dari dirinya untuk menolong klien tersebut sekaligus sebagai pembuktian kepada diri sendiri. Positifnya adalah bila egoisme itu mendorong seseorang untuk membantu orang lain. Sedangkan negatifnya, egoisme mendorong seseorang untuk memenuhi segala kebutuhan dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain. Negatif inilah yang harus dihindari dalam helping relationship.


Dari ketiga konsep tersebut, dapat dilihat bahwa ketiganya berpengaruh dan menjadi dasar dalam Helping Relationship. Altruistik sendiri dapat menimbulkan atau bisa meningkatkan Helping Behavior dalam diri seseorang, begitu pula dengan empati, dengan empati kita dapat berfikir bagaimana kalau sesuatu itu (masalah yang terjadi pada orang lain) terjadi sama aku. Empati juga sangat berkaitan dengan altruisme. Hal ini dikarenakan oleh 3 hal yaitu: pertama, ada hubungan yang sangat substansial dan penting antara kemampuan untk merasakan empati dan keinginan untuk terlibat dalam perilaku prososial. Kedua, ada bagian spesifik pada otak manusia yang memberikan kemampuan pada manusia secara fisiologis dan neurologis untuk berempati dengan orang lain. Ketiga, empati merupakan reaksi pada manusia yang dapat diobservasi sejak usia dini.
            Sehingga dapat dilihat antara altruisme dan empati memiliki factor yang saling mendorong satu sama lain. Sedangkan dengan egoisme, harus dapat dilihat terlebih dahuliu seperti yang dikemukakan oleh Batson, apabila egoisme bersifat positif maka akan mendorong terciptanya helping behavior dan sebaliknya bila negatif,maka seseorang lebih terdorong untuk memenuhi egonya sendiri. Selain itu, dengan egoisme kita dapat melihat motif dibalik seseorang menolong. Karena egoisme, menilai bahwa motif seseorang menolong lebih kepada untuk kepentingan diri sendiri seperti mendapat reward atau untuk membuktikan diri sendiri sehingga terpenuhinya kepuasan padadirinya sendiri. Hal ini tentunya berbeda dengan empati dan altruisme, seperti yang sudah dijelaska sebelumnya, kedua konsep tersebut sama-sama melihat ingin menolong orang lain dengan merasakan apa yang dirasakanorang lain tanpa menuntut imbalan atau balasan.
              



BELAJAR SEBAGAI USAHA PENCARIAN JATI DIRI

Ada beberapa definisi belajar yang dikenal, tetapi yang perlu lebih dicermati dalam kajian kali ini adalah pengertian belajar yang dikemukakan oleh penulis Amerika, Peter Senge. Menurutnya, melalui belajar kita menemukan kembali diri kita. Melalui belajar kita menjadi mampu melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat dilakukan. Melalui belajar kita menambah kemampuan mencipta kita dan menjadi bagian dalam proses ‘menghasilkan’ dalam kehidupan.  Dari pengertian tersebut point penting yang diambil adalah belajar merupakan suatu proses yang menghasilkan sesuatu, dari tidak bisa melakukan menjadi bisa untuk menjadi sesuatu yang berguna bagi hidupnya.

            Mengembangkan kemampuan untuk belajar adalah inti pengembangan diri. Terdapat beberapa aktivitas yang dapat dilaksanakan yang akan mendorong dan memberikan kemampuan pada pengembangan diri, seperti mengikuti program pelatihan pengembangan diri. Fokus kegiatan biasanya adalah memperkenalkan konsep dan proses pengembangan diri. Fungsi pelatihan dapat juga mendukung pengembangan diri dengan cara menyediakan akses yang mudah dan terbuka ke pusat-pusat sumber daya. Pengembangan diri pada dasarnya merupakan aktivitas perorangan, tetapi aktivitas itu dapat didukung oleh adanya kontak teratur dengan orang-orang lainnya yang melakukan aktivitas serupa. Proses yang mengarah pada pengembangan diri dan pelatihan mencerminkan prinsip keikutsertaan dan yang mendorong pengembangan kemnadirian, inovasi dan tangung jawab. Sehingga, definisi pengembangan diri adalah individu-individu mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan-kemampuan mereka melalui usaha-usaha yang diarahkan oleh diri mereka sendiri. 

            Ada beberapa metode pengembangan diri selain metode formal seperti kursus-kursus dan program-program pelatihan. Beberapa metode yang paling umum adalah sebagai berikut:
  • Observasi
Seorang individu dapat mulai belajar banyak hanya dengan mengamati perilaku orang lain.
  • Refleksi
Metode ini mengacu pada memikirkan dan menganalisis hasil-hasil observasi.
  • Bacaan Penuntun
Membaca buku-buku teks, jurnal-jurnal dan artikel-artikel merupakan cara yang mudah untuk meningkatkan kemampuan
  • Mencari umpan balik
Metode ini dapat merupakan metode  yang sedikit lebih beresiko tetapi umpan balik merupakan hal yang penting dalam proses belajar dan pengembangan, khususnya dalam pengembangan keterampilan.

  • Mencari tantangan
Jika individu menghindari suatu aktivitas karena merasa tidak yakin dengan kemampuannya, maka harus dilakukan usaha-usaha untuk lebih sering ikut terlibat dalam aktivitas tersebut untuk meningkatkan keterampilan melalui praktek.
  • Paket-paket siap pakai
Ada berbagai macam paket belajar otodidak yang tersedia untuk hampir setiap subjek yang dipikirkan. Media yang digunakan berkisar dari teks tertulis sampai program-program video interaktif yang kompleks.
Tetapi dalam prakteknya, sejumlah metode berbeda diatas perlu dikombinasikan dalam sebuah program pengembangan diri.
            Dalam kaitannya uasaha pencarian jati diri, kelompok kami memilih salah satu teman kami yaitu X untuk menjadi objek analisis. Menurut kami, X sedang kehilangan jati diri. Hal ini diketahui dengan adanya perubahan sikap, perilaku dari sebelumnya. X pada awal semester perkuliahan adalah seorang mahasiswa yang rajin. Dia selalu mengikuti perkuliahan, hampir dikatakan sangat jarang ia tidak masuk kuliah. Sekalipun tidak masuk, tentu dengan alasan yang sangat penting. Persentase kehadiran dari tiap matakuliahpun tidak kurang dari 90%. Tetapi dalam semester belakangan ini, kami melihat bahwa X telah berubah. X menjadi sering tidak mengikuti perkuliahan, jarang masuk kelas hingga berulang-ulang kali. Dan yang mengkhawatirkan adalah tidak masuk kuliah dengan alasan yang macam-macam. Selain itu, bila mengikuti perkuliahan pun, tidak memiliki semangat lagi. Dan apabila sudah selesai kulaih, maka X langsung pulang dan tidak melakukan aktivitas apapun di kampus. Menurut pengakuan X, hal tersebut terjadi karena, X sudah jenuh dengan kegiatan perkuliahan. Yang menurutnya sangat monoton. Bahan kuliah berbahasa Inggris yang dibaca tiap perkuliahan, belum lagi tugas review dari bahan berbahasa asing tersebut. Sehingga menurut kami masalah utama dari hilangnya jati diri tersebut adalah dengan kurang menguasainya bahasa asing dan kurangnya motivasi dalam menjalankan rutinitas perkuliahan.

            Mengingat kasus tersebut, berdasarkan pengertian belajar yang diungkapkan oleh Senge, maka perlu diadakan perubahan yang mencangkup proses untuk menemukan kembali jati diri si X agar dapat menambah kemampuan dan mejadikan hasil demi kemajuan. Selain itu, setelah kami mengeksplore perubahan sikap X, maka kami memberi teknik-teknik untuk dapat kembali menemukan jati diri yang terdahulu. Beberapa teknik tersebut adalah:
  1. Motivasi
Motivasi untuk berprestasi, belajar dan berubah yang dipengaruhi oleh sikap individu tersebut. Dalam hal ini, X harus lebih  memotivasi dirinya untuk dapat mengikuti perkuliahan, dan merubah sikapnya agar dapat kembali menemukan jati diri.    


  1. Perubahan
Norma dan sikap yang mendukung fleksibilitas dan keterbukaan, bukan kekakuan yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan. X harus terbuka dengan fleksibilitas, tidak perlu kaku dalam menghadapi situasi tersebut.
  1. Proses belajar
Dengan melakukan beberapa metode pengembangan diri yang telah dijelaskan diatas. X perlu mengobservasi dengan mengamati perilaku orang lain, untuk melihat bagaimana orang tersebut mengatasi kejenuhan dalam kuliah. Dengan observasi tersebut kemudian melakukan refleksi, dengan cara memikirkan dan menganalisis hasil-hasil observasi. Misalnya, setelah observasi, ia melihat bahwa untuk mengatasi kejenuhan kuliah lebih sering berkumpul dengan teman-teman atau mengikuti salah satu cara yang menurut dia menarik. Sedangkan dalam kaitannya dengan kesulitan bahasa asing, dapat dengan lebih memperdalam bahasa tersebut dengan bacaan penuntun seperti membaca buku-buku teks, artikel-artikel atau dengan paket-paket siap pakai untuk belajr otodidak seperti kaset atau video. Dan tentunya salah satu bentuk pengembangan diri tersebut, dapat juga dilakukan dengan melalui kursus. 

Sehingga, menurut kami, teknik-teknik diatas sangat mendukung dalam mempengaruhi perubahan sikap. Perubahan sikap tidaklah mungkin berubah secara langsung melalui pelatihan dan pengembangan. Merubah sikap dan proses belajar itu sendiri berada dalam kontrol pada individu yang bersangkutan.

ASPEK SOSIAL PERKEMBANGAN BAGI ANAK

Nama               : Harni Wijayanti
NPM               : 0903060182

Masa kanak-kanak merupakan salah satu tahapan dalam periode perkembangan dan pertumbuhan manusia. Banyak hal yang mempengaruhi tumbuh kembang dalam periode yang sebagian besar orang berpendapat merupakan suatu periode yang penting bagi kehidupan manusia. Karena dalam periode anak inilah segala sesuatunya dimulai dan berawal. Orang sering menyebutnya dengan “Golden Age”. Banyak hal yang mempengaruhi perkembangan pada periode ini. Hal tersebut meliputi aspek biologis, aspek psikologis dan aspek social. Pada kesempatan kali ini akan lebih menjelaskan tentang aspek social yang mempengaruhi perkembangan anak. 

Pada aspek social ini, sebenarnya keluarga bukanlah hal satu-satunya yang mempengaruhi dan menjadi alat sosialisasi bagi anak. Ada factor lain yang mempengaruhi aspek social si anak, yaitu Kelompok bermain, Televisi dan Sekolah. Berikut penjelasan dari ketiga aspek tersebut.
1.      Pengaruh Kelompok Bermain
Anak-anak bermain mempunyai beberapa manfaat dan tujuan. Dengan bermain, dapat memaksa anak untuk menggunakan tulangnya dan mengembangkan fisiknya. Bermain juga dapat merangsang anak untuk berfantasi dan berpikir kreatif. Dan terakhir, bermain sebagai tempat anak untuk belajar bagaimana berinteraksi dengan teman-temannya. Bermain dapat dilihat sebagai arena sosialisasi. Bermain menyediakan format belajar bagaimana untuk berkomunikasi, bersaing dan berbagi.
Garvey mendefinisikan bermain sebagai suatu aktivitas yang memiliki lima criteria. Pertama, bermain merupakan sesuatu yang yang dilakukan untuk kesenangan bukan untuk mengharapkan reward. Kedua, bermain tidak mempunyai tujuan lain, selain berakhirnya permainan itu sendiri. Ketiga, atas dasar keinginan sendiri, tidak ada paksaan dari seseorang untuk bermain. Keempat, bermain meliputi partisipasi yang aktif  baik mental maupun individual. Kelima, bermain dapat menumbuhkan sosialisasi dan kreatifitas. bermain dapat menyediakan suatu konteks untuk belajar berinteraksi, keahlian fisik maupun mental. Pada dasarnya terdapat 2 jenis cara bagaimana anak bermain yaitu:
Ø  Social play
Parten mengenalkan suatu proses yang terdiri dari enam tahapan anak dalam bemain dalam social play. Tahapan tersebut yaitu:
a.       Unoccupied behavior: Merupakan tahapan, dimana si anak hanya menggunakan sedikit ataupun tidak ada aktivitas. Si anak mungkin hanya duduk atau berdiri dan perhatiannya focus pada benda disekelilingnya.
b.      Onlooker play: Anak melakukan observasi ke tingkah laku temannya yang sedang bermain. Si anak hanya memperhatikan tingkah laku temannya yang sedang bermain tetapi tidak ikut bermain.
c.       Solitary play: Si anak bermain sendirian. Tidak ada perhatian pada temannya, dia hanya asik dengan mainannya sendiri.
d.      Parallel play: Si anak tetap bermain sendiri , tetapi ada anak-anak lain yang juga bermain dengan permainan yang sama dan tetap belum ada interaksi antara mereka.
e.       Assosiative  play: Pada tahap ini, si anak bermain bersama dengan teman lainnya, tetapi interaksinya masih belum teratur.
f.       Cooperative play: Si anak bermain bersama, interaksinya sudah teratur. Anak-anak bermain mempunyai suatu tujuan tertentu, membuat bersama-sama. Si anak merupakan bagian dari kelompoknya.
Ø  Fantasy play
Fantasi merupakan ekspresi diri yang penting bagi anak kecil. Hal ini memungkinkan anak untuk menjadi kreatif, berempati terhadap perasaan dan perspektif orang lain serta mengembangkan keahlian untuk memecahkan masalah. Seltz dkk, melakukan penelitian menarik pada hubungan antara fantasi dan perkembangan intelegensia. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan fantasi dapat membantu anak untuk mengembangkan kemampuan berpikir mereka. Sehingga fantasi harus ditumbuhkan dalam diri anak untuk mengembangkan intelektual mereka. Sehubungan dengan hal tersebut ada hal yang menarik untuk dicatat bahwa, anak yang memiliki keaktifan, permainan kreatif fantasinya hidup, memiliki orang tua yang umumnya banyak berbincang dengan ankanya, mengajarkan anak mereka banyak pengalaman baru, dan memiliki hubungan perkawinan yang harmonis.
Selain hal diatas, pengaruh teman bermain juga berimplikasi pada adanya perbedaan gender. Anak laki-laki cenderung untuk bebas melakukan segala permainan, mereka cenderung lebih agresif. Sedangkan anak perempuan lebih dibatasi pada permainan yang feminim dan cenderung kurang agresif. Selain itu, factor kepopuleran anak dalam kelompok bermainnya juga berpengaruh. Anak yang populer cenderung untuk lebih aktif. Tetapi hal ini dapat dilatih dengan menggunakan metode Social Skill Training, yang menjadi suatu cara yang baik yang dapat Pekerja Sosial lakukan.

2.      Pengaruh Televisi
Akhir-akhir ini televisi merupakan sautu benda yang dekat dengan kehidupan anak-anak.  Dari hal tersebut banyak studi yang mengatakan bahwa ada hubungan sebab-akibat, bahwa televisi sering berpengaruh terhadap tingkah laku anak. Tayangan kekerasan dalam televisi mengakibatkan meningkatnya tingkah laku agresif pada anak. Tayangan kartun yang sering memperlihatkan kekerasan berakibat pada kecenderungan si anak untuk bersikap lebih agresif, sedangkan tayangan mendidik seperti sesame street mempengaruhi anak dalam perkembangan intelegensianya. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa tayangan televisi baik buruk maupun  baik akan mempengaruhi sikap anak. Sehingga dibutuhkan perhatian yang besar kepada orang tua untuk dapat memilih tontonan untuk anaknya yang mendidik dan membmbingnya dalam menonton televisi.

3.      Pengaruh Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan sarana utama sosialisasi bagi anak. Anak-anak diberi informasi, mereka diajarkan kebiasaan social, peraturan dan keahlian komunikasi. Keluarga dan teman bermain juga membantu untuk membentuk kepribadian anak. Sekolah juga mempengaruhi perkembangan anak. Sekolah memberi pengaruh pada cita-cita dan aspirasi anak tentang masa depan. Sekolah membantu membentuk cara anak berpikir. Ada beberapa factor yang ada disekolah mempengaruhi perkembangan anak. Factor tersebut yaitu:
Ø  Pengaruh Guru
Murid sering kali tampil pada level dari harapan gurunya. Harapan guru kepada anak yang tinggi dapat menghasilkan prestasi yang tinggi pula. Sebaliknya, harapan yang rendah tentunya tidak memancing murid untuk berusaha lebih baik.
Ø  Kebebasan didalam kelas
Kelas menyediakan unit struktur uama dalam lingkunga sekolah. Isu dasar mengenai kelas adalah atmosfernya. Atmosfer yang terbuka akan lebih produktif dan menguntungkan untuk belajar dari pada yang tertutup.
Ø  Dampak dari kelas social dan ras
Anak-anak dari keluarga yang tingkat social ekonominya lebih rendah, umumnya tidak dapat berperilaku sebaik anak-anak kelas menengah di sekolahnya. Berbagai alasan dapat diberikan terhadap ketidaksesuaian tersebut. Pertama, sekolah menaruh nilai-nilai kelas menengah dalam berbagai teks. Kedua, bahasa yang digunakan adalah bahasa kelas menengah. Alasan  ketiga, lingkungan sekolah dan tingkat pengajaran guru lebih buruk pada murid yang social rendah. Kelima, terkadang harapan yang diberikan guru sangat rendah (guru berkulit hitam)

Demikianlah penjelasan tentang hal-hal yang mempengaruhi perkembangan anak pada aspek social. Untuk itu, perlu adanya perhatian khusus sebagai orang tua maupun pihak lain untuk memperhatikan, bahwa ada banyak hal seperti factor biologis, psikologis maupun social yang mempengaruhi perkembangan anak. Sehingga, dengan memperhatikan ketiga aspek tersebut perkembangan anak dapat diupayakan dengan maksimal.