Nama : Harni Wijayanti
NPM : 0903060182
Masa dewasa madya mempunyai batasan usia antara 40 sampai 60 tahun. Banyak hal yang mempengaruhi pada masa ini, yaitu baik dari faktor biologis, psikologis maupun sosial. Pada kesempatan kali ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang perubahan sistem sosial pada masa dewasa madya.
A. Masalah di lingkungan kerja.
Pekerjaan adalah pusat perhatian dari hidup khususnya untuk dewasa madya, yang umumnya sebagian besar dari mereka berada dalam puncak karir. Kerja tidak hanya memungkinkan seseorang untuk membiayai kebutuhan sehari-hari tetapi juga dapat menyediakan arti dan harga diri, menyediakan lingkungan kerja dan teman, dan sumber dari pemenuhan diri (aktualisasi diri). Pekerjaan yang menantang dapat membantu seseorang untuk tumbuh secara intelektual, psikologis dan sosial.
Dalam masyarakat kita, memiliki nilai yang tinggi terhadap etika pekerjaan, dimana kita akan mempertimbangkan pekerjaan untuk menjadi terhormat, produktif dan berguna. Status sosial dari pekerjaan berpengaruh besar terhadap konsep diri, penghargaan orang lain, dan penghargaan diri sendiri, serta berpengaruh juga terhadap rasa bosan dan well being seseorang.
Maka hal yang ditakuti oleh mereka adalah menjadi pengangguran. Etika kerja yang masih menonjol pada masyarakat kita, ketika seseorang kehilangan pekerjaannya, mereka menghancurkan diri mereka sendiri dan juga kehilangan pengertian tentang harga diri. Banyak dampak yang ditimbulkan dari menjadi pengangguran ini, baik dari segi psikologis maupun sosial. Pada dasarnya pengangguran dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengangguran jangka pendek, terutama apabila seseorang mendapat tunjangan maka hanya akan memberikan efek kecil, sementara pengangguran jangka panjang, mungkin mendapat efek yang sebaliknya, Willensky menemukan bahwa pengangguran jangka panjang sering kali mengarah pada isolasi diri yang ekstrem. Pekerjaan merupakan sentral dari kehidupan banyak orang, apabila terjadi pengangguran maka ikatan kerja terputus, banyak penganggur yang jarang menemui teman-temannya, terputusnya ikatan dengan komunitas dalam kehidupan, hal tersebut terus meningkat menjadi isolasi. Braginsky & braginsky menemukan bahwa pengangguran jangka panjang menyebabkan perubahan perilaku yang tetap ada meskipuan seseorang sudah tidak lagi menganggur. Menjadi tergantung sering kali dipandang oleh mereka yang tidak bekerja sebagai tanda bahwa dirinya adalah orang yang tidak berkompeten dan tidak berarti, harga diri rendah, cenderung mengalami depresi dan mereka terasingkan oleh masyarakat. Banyak yang menderita rasa malu yang mendalam kemudian menghindari masyarakat.
Brener (1973) menemukan hubungan yang kuat antara pengangguran dan masalah emosional. Selama resesi ekonomi, dia menemukan bertambahnya orang yang masuk rumah sakit jiwa. Angka bunuh diri juga bertambah, ini menunjukkan meningkatnya depresi. Selain itu, yang juga meningkat selama waktu meningkatnya pengangguran adalah tingkat perceraian, insiden kekerasan anak dan angka radang dinding lambung (stress-dihubungkan dengan penyakit).
Ada beberapa macam kelompok yang mempunyai resiko tinggi untuk menjadi pengangguran, yaitu: Kelompok yang memiliki pendidikan yang rendah dan tidak memiliki keahlian kerja untuk bersaing. Wanita, akibat dari diskriminasi dalam pekerjaan. Kelompok pekerja dengan usia tua yaitu 40 tahun keatas. Kelompok remaja dan orang muda. Adanya perubahan struktur yang mengakibatkan pengangguran struktural. Sedangkan, faktor-faktor yang dapat menurunkan resiko pengangguran yaitu pertama, tingkat bunga yang rendah mendorong konsumer untuk memperoleh lebih banyak barang melalui pinjaman kredit. Kedua, perang. Ketiga, perkembangan dari produk-produk baru yang membuka peluang untuk pekerjaan baru. Dan yang keempat, adalah perekonomian.
B. Masalah dalam sistem keluarga.
1. Pernikahan yang kosong, hampa ataupun jenuh
Dalam pernikahan yang kosong, hampa, ataupun jenuh didalamnya tidak ada hubungan dan ikatan yang kuat antara sesama anggota keluarga. John F. Cuber dan Peggy B Harrof (1971) mengidentifikasikan tiga tipe dalam perkawinan yang hampa atau kosong, yaitu:
Ø Devitalized relationship
Antara suami dan istri kehilangan banyak hal yang menyenangkan dalam sebuah pernikahan. Rasa bosan dan apati merupakan karakternya. Pertengkaran argumen jarang terjadi.
Ø Conflict-habituated relationship
Antara suami dan istri sering kali mengalami pertengkaran. Mereka juga dapat bertengkar di tempat umum atau tempat lainnya. Karakter hubungan ini erat dengan konflik, tensi, dan kepahitan
Ø Passive-congenial relationship
Antara kedua pasangan merasakan ketidaksenangan dan memiliki sedikit konflik.
2. Perceraian
Perceraian biasanya membawa berbagai kesulitan kepada siapa saja yang terlibat. Pertama, orang yang bercerai menghadapi hal-hal yang menyangkut emosional seperti suatu perasaan menerima kegagalan, perasaan untuk menerima dan memberi cinta, perasaan kesepian, perasaan yang meliputi stigma atau cap yang menempel pada perceraian, menyangkut reaksi yang diberikan oleh teman-teman atau kerabat, menyangkut perasaan apakah telah melakukan suatu hal yang benar pada saat melakukan perpisahan atau perceraian, menyangkut apakah dapat melakukan sesuatu dengan baik secara sendiri. Apabila memiliki anak, maka perhatian lebih kepada bagaimana perceraian akan mempengaruhi mereka.
Penelitian (Papalia dan Olds, 1942, p.459) memperlihatkan bahwa melewati sebuah masa perceraian merupakan suatu masa yang sangat sulit. Orang tidak dapat menampilkan kinerja yang baik pada pekerjaanya dan sepertinya banyak yang dipecat dalam periode ini. Orang yang bercerai memiliki angka harapan hidup yang rendah dan angka bunuh diri pada laki-laki yang bercerai sangat tinggi.
Perceraian secara otomatis tidak selalu dianggap menjadi sebuah masalah sosial. Dalam beberapa pernikahan dimana ketegangan, kepahitan dan ketidakpuasan, perceraian terkadang merupakan suatu solusi. Hal ini mungkin merupakan langkah konkret dari orang-orang yang melakukan perceraian untuk mengakhiri ketidakbahagiaan dan memulai ke arah kehidupan yang lebih produktif dan memuaskan.
Ada berbagai macam alasan kenapa seseorang memutuskan untuk bercerai, yaitu:
Ø Little (1982) menjelaskan bahwa alasan utama orang bercerai yaitu karena adanya ketidakpuasan satu sama lain. Dengan kata lain, pasangannya memiliki sifat-sifat yang tidak dikehendaki seperti yang diharapkan oleh suami/istri mereka.
Ø Banyak hal yang menjadi sumber dari perceraian. Misalnya alcoholism, percekcokan ekonomi yang disebabkan oleh pengangguran atau masalah ekonomi lainnya, ketidakcocokan dalam hal kesukaan, ketidaksetiaan, kecemburuan, kekerasan lisan maupun fisik dari pasangan dan campur tangan dalam pernikahan oleh sanak famili atau teman-teman.
Ø Ketidaksediaan seorang laki-laki untuk menerima perubahan status seorang wanita. Banyak laki-laki yang masih lebih memilih ke pernikahan tradisional, dimana suami adalah dominan dan istri memiliki kedudukan yang lebih rendah (supportive) seperti membesarkan anak, mengurus rumah tangga dan memberikan dorongan emosional kepada suami mereka. Banyak wanita yang tidak dapat bertahan pada status tersebut dan meminta kesetaraan dalam pernikahan.
Ø Berkembangnya individualime. Individualisme meliputi kepercayaan bahwa orang harus mencari untuk dapat mengaktualisasikan diri mereka, menjadi bahagia, mengembangkan kesenangannya.
Ø Semakin diterimanya perceraian di masyarakat. orang sudah lagi tidak peduli terhadap stigma buruk bagi pasangan yang bercerai, karena sekarang sudah banyak orang yang tidak merasa bahagia dengan pernikahannya.
Ø Adanya nilai-nilai yang diabaikan dalam keluarga modern. Pendidikan, penyedia makanan, hiburan dan kebutuhan lainnya yang seharusnya keluargalah sumbernya, kini ternyata sebagian besar disediakan oleh pihak lain.
Konsekuensi yang timbul dari perceraian tersebut antara lain: orang menjadi marah dan gelisah, merasa bersalah pada diri sendiri, dan dampak utama bagi wanita adalah masalah standar hidup yang menurun.
Selain konsekuensi tersebut, perceraian juga memiliki dampak bagi anak, seperti yang dikemukakan oleh Hetherington, Cox dan Cox (1973) yang meneliti 48 keluarga yang bercerai selama 2 tahun setelah perceraian untuk meneliti efek perceraian terhadap anak. Mereka menemukan bahwa segera sesudah perceraian, ada gangguan yang sungguh-sungguh dan disorganisasi didalam kehidupan keluarga. Studi tersebut meyimpulkan bahwa 2 tahun pertama setelah perceraian merupakan masa yang penuh tekanan bagi semua anggota keluarga. Papalia dan Olds (1989, p.321) menyebutkan perasaan yang mungkin dialami oleh anak dari perceraian yaitu penderitaan, kebingungan, kemarahan, kebencian, kekecewaan yang mendalam, merasa gagal dan penyangkalan diri.
Sebuah studi longitudinal focus pada 60 keluarga di California yang sedang mengalami perceraian(Walerstein 1983; Walerstein dan Kelly,1980). Ditemukan bahwa anak–anak perlu bekerja menghadapi 6 isu utama untuk memelihara perasaan yang positif dalam penyesuaian diri, yaitu:
a. Anak perlu menerima kenyataan bahwa pernikahan orang tua mereka sudah berakhir.
b. Anak perlu menarik diri dari segala konflik yang mungkin dimilki orang tua mereka.
c. Anak perlu mengatasi kehilangannya, yaitu kehilangan kontak dengan orang tua, situasi rumah, peraturan dan kebiasaan keluarga.
d. Anak perlu dapat mengatasi perasaan marah pada diri sendiri.
e. Anak perlu memahami bahwa situasi ini adalah permanen.
f. Anak perlu tetap memelihara kontak dengan orang lain yang berhubungan dengan kehidupannya.
3. Keluarga dengan orang tua tunggal.
Anak yang hidup dalam keluarga dengan orang tua tunggal mengahdapi lebih banyak masalah daripada anak yang dibesarkan dengan orang tua utuh. Meskipun demikian, orang tua utuh tidak selalu ideal dan orang tua tunggal tidak selalu patologis. Orang tua tunggal harus memenuhi seluruh tanggung jawab yang seharusnya dibagi dengan pasangan. Hal ini berarti orang tua tunggal harus berperan sebagai kedua orang tua sekaligus.
4. Keluarga campuran
Keluarga campuran adalah keluarga yang didalamnya tidak hanya terdiri dari orang tua atau anak kandung saja melainkan juga terdiri dari orang tua tiri atau anak tiri yang meruapakan hasil perkawinan sebelumnya. Keluarga ini mempunyai situasi yang kompleks. Kecemburuan merupakan hal yang pasti akan tumbuh dalam pembagian perhatian dari orangtua kepada anak kandung maupun anak tiri. Untuk itu diperlukan adaptasi dan proses pembelajaran.
Masalah yang paling sering berpotensi menimbulkan tekanan adalah cara membesarkan anak. Anak tiri harus berusaha menyesuaikan dengan satu set peraturan baru yang diterapkan orang tua tiri. Tidak jarang si anak menjadi rindu kepada orangtuanya. Untuk itu, baik anak maupun orang tua harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan masing-masing. Menjadi orang tua tiri umumnya lebih sulit pada wanita, karena pada umumnya anak lebih dekat kepada Ibu kandungnya secara emosional. Terdapat tiga mitos tentang orang tua tunggal yaitu; (1) Ibu tiri jahat seperti dalam cerita Cinderella, (2) Step is less, anak tiri tidak akan menempati hati orangtuanya layaknya anak kandung. (3) instant love untuk semuanya padahal membutuhkan banyak waktu untuk saling mengenal.
5. Ibu yang bekerja diluar (Ibu sebagai wanita karir)
Sekarang ini, banyak Ibu yang bekerja di luar rumah dan menjadi wanita karir. Dengan bekerja diluar rumah, maka Ibu atau seorang istri yang memegang peranan penting dalam keluarga serta anak-anak mereka tentunya mengalami permasalahan. Anak memerlukan perhatian dan kasih sayang yang ekstra dari seorang Ibu.