Mungkin bagi kalian atau kebanyakan orang diluar sana, bepergian dengan burung besi merupakan sebuah hal yang lumrah. Bahkan beberapa dari kalian, saya yakin lebih sering mengendarai burung besi dibanding bis, kereta, ojek atau bahkan bemo. Berbeda dengan kalian, keluarga kami, percaya atau tidak sekalipun belum bepergian menaiki pesawat terbang. Bapak, hingga akhir hayatnya belum pernah sama sekali mencicipi terbang dengan pesawat. Ibu saya? Di usianya ke 46 lah beliau baru pertama kali merasakannya, adik saya? dia jauh lebih beruntung, menjajal di usia 22. Saya? Alhamdulillah, Allah telah memberi kesempatan berpuluh-puluh kali atau mungkin nanti akan mencapai ratusan bahkan ribuan kali terbang dengan burung besi itu.
Disini, saya akan menceritakan sedikit tentang terbang perdana kami. Kami, saya, Ibu dan adik saya. Bapak? Beliau tidak mau, memiih untuk melihat kami bertiga dari atas awan saja.
Tepatnya ketika liburan lebaran di tahun 2009, tahun dimana saya sudah bekerja di salah satu BUMN di Jakarta. Ketika SK pengangkatan sudah ditangan, pundi-pundi yang semakin banyak terisi (saat itu saya juga tercatat sebagai councellor di PKT RSCM, asisiten peneliti dan guru privat untuk 5 anak). Jadilah saya menghadiahi Ibu dan adik saya, pulang kampung merayakan lebaran dengan menggunakan pesawat. Ya, pulang kampung naik pesawat.
Saat itu, hari Sabtu di bulan Oktober 2009. Pukul 11.00, kami sudah stand by di bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta. Pengalaman pertama untuk Ibu dan adik saya, masuk bandara. Excited sekali. Saya pun, menceritakan semua sudut bandara mulai dari proses-proses penumpang, tata cara masuk, check in, bagasi, boarding dan sebagainya. Persis seperti Ibu yang menjelaskan apa itu bandara kepada anak-anaknya.
“Mba’, kalau ibumu ditinggal sendirian disini, aku lebih milih naik kereta. Repot temen tho yo” lirih Ibuku. “nggak boleh begitu, ayo belajar, nanti kalau mau nyusul anak-anaknya di luar kota atau luar negeri piye?” ucapku.
Pukul 12.20, pesawat kami sudah datang, dan kami pun siap boarding. Ibu saya? pucat, diam. Adik? Mmm sama sepertinya. Tegang. Lucu sekali melihat mereka. Sampai diatas pesawat, kami duduk bertiga. Saling bersebelahan. Saya di tengah, Ibu di dekat jendela, adik saya dekat dengan jalan. Ya, saya kembali menjadi guide. Bagaimana menggunakan sabuk pengaman, tombol apa saja yang ada di depan dan diatas bangku kami. Dan memastikan mereka, kalau hey, calm, we are okay. Mereka pun sedikit tenang.
Dan tibalah, sang pramugari memperagakan petunjuk keselamatan udara. Ibu terlihat panic. “iki piye mengko mba’, medeni, wes lah aku pasrah, njebur, mati yo wes” Ibu panik, karena sang pramugari memperagakan apa yang harus dilakukan kalau sewaktu-waktu harus mendarat darurat atau kecelakaan. Saya meyakinkan, ga papa, memang tugas pramugari lah seperti itu. Pesawat mulai take off. Keduanya semakin tegang. Ibu memilih merem. Diam. Sepertinya zikiran. Sampai diatas awan, saya coba mengajak mereka berbincang. Tetap diam. 40 menit kemudian, pesawat kami landing. Mereka tetap diam. Kampi pun ke bandara, keluar dari pesawat. Ketegangan mulai mencair. Mereka mulai berbicara. “ya ampun Jakarta jogja kok kaya rumah kampung melayu ya. Cepet timen. Enak ya. Besok-besok kita kalau kemana-mana naik pesawat lagi aja ya. Bajunya bersih, wangi lagi.”
Ya pengalaman kami terbang bertiga pertama kali membuat Ibu ketagihan, membuat adik saya bermimpi untuk terbang sejauh mungkin dan dia berhasil mencapai mimpinya, ia terbang hingga ujung timur Indonesia, desa Limboro, Majene, mengabdi disana. Saya? tentunya harus lebih giat bekerja lagi, mengumpulkan uang. Karena Ibu sekarang maunya naik pesawat. Mmmm nggayaaaaa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar