6 hari yang teramat berat bagi saya. Seperti tidur panjang dihiasi mimpi buruk yang silih berganti tiada henti, ingin sekali bangun, tapi tidak bisa. Karena ya, ini memang nyata. Harus dihadapi.
Kamis, 8 Mei 2008
Pukul 13.30
Seperti biasanya, setelah sholat zuhur dan makan, bapak leyeh-leyeh di bawah kipas angin kamarnya. Saat itu saya sedang menyiapkan bahan ajar untuk kelas sore.
“Nanti ngajar jam berapa mba’?”, tanya bapak.
“Cuma satu kelas kok jam 4 sore, terus langsung ngajar private mba’ Arza”, jawabku
“Kalau begitu, bapak tidur dulu aja ya”
“Iya pak, masih lama kok”
Ya, itulah beliau, sangat senang mengantar dan menjemput putri-putrinya. Terlebih setelah kantornya bermasalah dan sering berada di rumah.
Pukul 14:30
“Mba’, bapak kok pusing ya? Tumben-tumbenan pusingnya kaya gini” keluhnya, setelah tidur beberapa saat.
Ibu saya pun kontak langsung memijat dan mengerok bapak. Tidak merah. Bukan masuk angin sepertinya. Bapak pun muntah, terus-terusan muntah hingga tidak ada yang dimuntahkan lagi. Saya dengan pakaian seadanya lari ke klinik terdekat. Tapi tutup. Tidak ada dokter.
Kembali pulang dengan kaki gemetaran, karena panas, bingung, panik, tetapi logika harus tetap jalan. “Kita lakukan sebisa mungkin saja Bu. Nanti sore baru kita bawa ke Rumah Sakit sekalian saja” Ucapku.
Kami pun berdua mengganti baju bapak, membersihkan muntahnya, memberikan terapi di badan, menggosok minyak angin, dan meminta bapak untuk tidur sejenak.
Sambil terus berfikr, saya menelepon Vega, ya vega adalah laki-laki terdekat saya saat itu. Meminta bantuannya apakah bisa membantu membawa Bapak ke Rumah Sakit. Bisa. Sedikit lega.
Pukul 15:30
Selesai sholat ashar, bapak terus menerus mengigau, memanggil nama saya. Saya dekati.
“Bapak pusing mba’, pusing banget. Ga kuat kalau kaya gini” lirihnya.
“Iya sabar ya, Vega sebentar lagi datang, nanti kita berobat ke Rumah Sakit, tahan ya Pak”
“ga kuat mba’, ga kuat”
“pasti kuat, bapak pasti kuat”
Ibu kemudian menggantikan seluruh baju bapak, kaos terbaik, hadiah dari kami, 3 wanita, ketika beliau ulang tahun dan celana panjang hitam. 10 menit kemudian Vega datang, dibantu oleh para tetangga untuk membopong bapak, kami pun langsung menuju ke Rumah Sakit Islam Pondok Kopi. Sepanjang jalan, bapak terus mengorok. Alhamdulillah, tertidur pulas rupanya.
Pukul 16:10
Kami sampai di Rumah Sakit, bapak di bawa ke UGD, dipasang banyak sekali alat. Ditangan, di sela-sela jari, dihidung, di dada, jantung dan kepala. Baju yang dikenakan, digunting dan disobek oleh suster. Baju kenangan kami . Dokter pun menghampiri kami.
“Maaf mba’, mba’ anaknya?” Tanya dokter
“Iya dok, saya anaknya, ini Ibu saya, istri dari Bapak Ari”
Ya saat itu, hanya ada saya, ibu dan Vega
“Mba’ sepertinya bapak terkena stroke, tekanan darahnya tinggi sekali, kita harus melakukan CT scan dan rontgen secara menyeluruh”
“Oh iya, silahkan dok”
10 menit kemudian, saya mengantar bapak keruangan tertutup. Tanpa daya, bapak dimasukkan kembali peralatan-peralatan. Cukup singkat, kemudian bapak dikembalikan di ruang UGD, menunggu 1 jam untuk mendapatkan hasil pemeriksaan.
Sambil menunggu, saya mencoba untuk sms adik saya
“Aslm. Sak, lagi dimana? Cepet pulang ya, Bapak masuk RS Islam pondok kopi, nanti langsung kesini aja”
Adzan magrib, saya bersama ibu buka puasa bersama, buka puasa ala kadarnya, air putih terasa amat sangat mengeyangkan saat itu. Ibu terlihat amat shock, linglung, pucat, dan terus menangis. Saya? tidak boleh menangis. Mengambil air wudhu, sholat dan meminta kepada Allah semoga bapak baik-baik saja.
Ternyata Allah tidak menjawab doa saya, selesai sholat, saya dipanggil dokter, dijelaskan. Bapak terkena stroke batang otak. Menyerang kesadaran dan pernafasan, penolongan sementara, harus di ICU. Karena keadaannya amat sangat tergantung dari alat bantuan.
Oke, pindahkan langsung saja ke ICU. Tidak semudah itu. Ruangan ICU penuh. Tidak ada satu bed pun untuk bapak.
Tidak ada waktu untuk menangis dan meratapi. “Kita harus keliling mas, kita harus cari ICU untuk bapak, aku telepon Pakde buat nemenin Ibu disini, Sakti mungkin sebentar lagi sampai”
Pukul 19:40
Saya dan Vega berkeliling Jakarta membawa hasil CT scan dan rontgen bapak. Tangan kanan dan kiri berkoordinasi dengan otak kanan dan kiri, mencari semua kemungkinan rumah sakit yang bisa untuk bapak.
RSCM. Menelepon PKT, saat itu yang jaga Mba’ Icha, saya meminta tolong untuk menanyakan apakah ada ruang ICU atau tidak.
Persahabatan. Menelepon Mba’ iponk, obgin sekaligus teman jaga di PKT RSCM. Dia berjanji sebisa mungkin mendapatkan ruag ICU untuk bapak
Carolus. Penuh
Thamrin. Mas Gatot, sepupu sekaligus ortopedi berhasil mendapatkan kamar di RS Thamrin. Tapi harus menyerahkan uang muka Rp. 16 juta. “Mas, saya ga ada uang sebanyak itu”.
Fatmawati. “Harni, ini ada kamar kosong, bapak dibawa ke sini saja” kata Mba’ Ari, istri mas gatot yang juga sebagai dokter anak. “Alhamdulillah, iya mba’, tapi aku masih ngusahain Cipto dan Persahabatan dulu. Lebih murah. Termaksih banyak ya mba’. Kamarnya di hold dulu aj.”
Saya pun sampai di RSCM. Mengenal orang-orang dalam termasuk para petinggi RSCM pun ternyata tidak menjamin, dapat bed di ICU untuk bapak. Putus asa.
Tak lama kemudian “Harni, ini ada bed kosong di persahabatan, bed khusus, kamu pakai aja. Sekarang kamu dimana? Aku tunggu di Persahabatan ya” Mba’ Iponk menelepon, dan ya, ada bed untuk bapak di persahabatan. Alhamdulillah. Kami pun langsung ke persahabatan untuk mengurus semuanya, jika sudah beres, bapak bisa pindah segera.
500 meter menuju Persahabatan.
“Kak, kakak dimana? Ini bunda. Ini barusan bunda di kasih tau, ada yang meninggal di ICU RS Islam, jadi kalau mau, bapak bisa masuk.”
“Bener bun? Kalau memang benar, ya sudah, bapak disana saja, kasihan kalau dipindah-pindah. Lagi pula dekat rumah, lebih gampang, minta tolong untuk sekalian diurusin ya bun, saya segera kesana.”
Bunda, ya begitulah saya memanggil beliau, orang tua dari salah satu murid private saya. Yang seharusnya saya ajar malam itu. Beliau langsung datang ke RS, ketika tahu kalau bapak masuk RS. Baik sekali, seperti saudara. Bunda lah yang mengurus administrasi dan keuangan sekaligus penjamin bapak.
Pukul 21:40
Bapak dibawa masuk ke ICU. Ibu semakin histeris, tidak dapat sedikitpun menata hati. Melihat adik saya, kami hanya bisa berpelukan. Tanpa kata. Di tangannya menenteng roti breadtalk kesukaan bapak. Roti yang biasa dia belikan ketika gajian. Special untuk bapak. Saya memintanya untuk pulang, beristirahat, dan bertugas untuk menelepon saudara-daudara bapak. Dia tidak mau.
“Sak, kalau lo sayang sama gw, pulang, istirahat, kita akan ngelewatin hari-hari berat kedepannya. Harus sama-sama kuat.” Dia pun pulang
Pukul 23.50
Saya masuk ruang ICU, berdiskusi dengan dokter. Dan, Banyak sekali berkas-berkas yang harus saya tanda tangani, mulai dari ventilator, ya, ventilator hingga kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya. Saya tidak menandatangani satupun. Melainkan, merobek semuanya. Semua kertas yang mereka kasih. Histeris. Menangis sendiri. Tapi cukup 20 menit saja. Selebihnya tidak ada satu tetes air matapun yang jatuh.
Jumat, 9 Mei 2011
Ibu masih terlihat sangat kuyu, tidak ada semangat sedikitpun, menangis tiada henti, tidak ada satupun makanan yang masuk. Keluarga yang tinggal di Jakarta mulai berdatangan, silih berganti menemani menjaga bapak. Bapak masih tertidur di salah satu ranjang di ruangan itu. Hening. Dingin.
Menjelang siang, tamu terus berdatangan, menunjukkan simpati kepada kami. Saudara jauh, teman, sahabat, tetangga, semua, tumpah ruah di Rumah Sakit. Tetapi ibu memilih untuk terus diam, tidak mau sedikitpun berbincang dengan mereka. Dia hanya tertarik terus menerus membaca Al-Quran disamping bapak. Tidak mau jauh sedikit pun. Praktis selama 6 hari berikutnya, Ibu hanya bergerak di ruangan ICU dan ruangan tunggu.
Menjelang malam, tamu terus berdatangan. Kaki saya mulai lemas, kepala terasa berat sekali. Saya mohon izin kepada ibu untuk istirahat di rumah malam itu, adik saya dan beberapa sepupu lah yang menunggu bapak. Saya ingin istirahat, ingin sekali bangun dari mimpi ini. Teringat siang tadi, berdiskusi panjang dengan teman-teman di RSCM, secara jujur mereka mengatakan kalau hanya mukzizatlah yang bisa menyembuhkan bapak. Selebihnya tidak ada. Operasi? Tidak mungkin. Ventilator? Sampai kapan? Serasa seperti menghitung hari. Hari berpisah bersama bapak.
Sabtu, 10 Mei 2008
Sabtu pagi, keluarga bapak dari Solo, Sragen, Surabaya sudah mulai berdatangan, kakak dan adik-adiknya datang untuk melihat bapak. Yang terjadi justru tangisan pilu. Melihat bapak tanpa berdaya dipasang sekian banyak alat. Menggantungkan hidup dari alat-alat itu. Tetapi dengan kedatangan mereka, setidaknya beban saya sedikit berkurang. Tamu terus berdatangan, semakin banyak. Para dokter dan suster pun berkali-kali berbincang kepada saya.
“Mba’, bapak pasti orang baik, dari hari pertama banyak sekali yang menjenguk, tidak berhenti-henti, justru semakin banyak”
“Insya Allah sus, mohon doanya ya” jawabku.
Jika dihitung, memang sepertinya 1000 orang lebih sudah datang kesini, menjenguk bapak, memberikan simpati kepada kami, mulai dari anak-anak kecil yang sering bermain bola dengan bapak, kelompok tarang taruna pimpinan bapak, para tukang ojeg, teman dan sahabat saya, murid-murid saya hingga sekelompok mahasiswa korea, teman adik saya. Ya, Bapak memang orang baik. Sangat baik.
Minggu, 11 Mei 2011
Setelah sholat subuh, saya dan Ibu masuk ke ruang ICU, kami secara bergantian membacakan surat-surat indah untuk bapak. Ar Rahman, salah satunya. Selesai, kami pun bertiga berbincang.
“Bapak, ayo pak, yang kuat, bapak pasti bisa sembuh, bapak ga mau ngelihat sakti di wisuda?” tanyaku
Bapak, diam
“Bapak, harni sayang banget sama bapak, maafin harni kalau selama ini berbuat salah. Maafin ya. Bapak cepat sembuh, nanti lebaran kita pulang kampung naik argo. Harni yang beliin tiketnya pak”
Bapak, diam
“Bapak, dari kemarin banyak banget yang dateng buat njenguk bapak, keluarga bapak juga ada disini semuanya. Mereka kepengen bapak sembuh. Mereka smua sayang bapak”
Bapak, diam
“Bapak, bapak cape’ ya, sakit ya dipasang alat-alat itu? Bapak kepengen pulang? Ketemu sama Allah?”
Bapak, pupilnya bergerak, kelopak matanya bergerak, tapi tidak membuka.
“Kalau bapak mau pulang, ya sudah, harni sama Ibu ikhlas, Harni janji jagain Ibu sm sakti, bapak pergi aja dengan tenang. Harni selalu bangga punya bapak seperti bapak. Bangga sekali. Segala kesalahan bapak sudah dimaafin sama harni dan Ibu. Pergi pak, kami gapapa. Kami ikhlas.”
Kelopak matanya terbuka, selebihnya kami berbicara dari hati, menyentuh kulitnya, menyium keningnya, hingga beliau kembali tertidur.
Pukul 16:00
Keadaan bapak, semakin memburuk, paru-parunya sudah terendam, bapak semakin sulit untuk bernafas. Badannya panas sekali. Hanya mukzizat.
Kami mengadakan rapat keluarga. “ventilator sebaiknya dicabut Mba’, kasihan bapak” kata pakdeku yang tinggal di Surabaya
“Nggak pakde, aku masih mau berikhtiar, aku masih mau terus berjuang sama bapak”
“Tapi biayanya semakin membengkak mba’”
“Ga papa, nanti aku yang cari” ucapku
Ya begitulah, jam demi jam, bapak semakin buruk, obatnya pun harus diberikan dengan dosis yang berlipat-lipat.
Pukul 21:20
“Sak, menurut lo gimana?”
“ga tau mba’”
“Ya sudah, sana pulang, besok pagi kita ambil keputusan”
Senin, 12 Maret 2008
Setelah sholat subuh, saya duduk di ujung lorong ICU, menunggu fajar. Sambil membuka seluruh isi tas yang semakin penuh. Penuh dengan amplopan. Banyak sekali. Ini semua tanda kasih dari para saudara, sahabat, teman, tetangga untuk bapak. Saya membukanya satu demi satu. Terkumpul Rp. 16,5 juta.
Subhanallah, Alhamdulillah, amplop yang diterima hari sabtu dan minggu ini, bisa untuk membayar obat-obat bapak. Miris.
Menjelang siang, saya dan adik berdiskusi panjang. Ibu sudah mulai ikhlas sepertinya. Atau sudah terlalu lelah? Kami pun memutuskan untuk mencabut ventilator bapak. Tidak tega melihat beliau terus kesakitan. Kami menghadap dokter, dan meminta bapak agar dipindahkan di ruang rawat inap kelas 1. Kami butuh waktu dan ruang tersendiri untuk berpisah dengan bapak. Ternyata ruangan penuh. Tapi dokter itu janji, jika ada pasti langsung menghubungi saya segera.
Menjelang malam. Saya dan Ibu terasa mengantuk luar biasa. Kami pun tertidur pulas di ruang tunggu. Tidur yang amat sangat pulas setelah melewati 5 malam.
Selasa, 13 Mei 2008
Pagi itu saya meminta izin untuk pulang sebentar. Ibu tidak mengizinkan, karena beliau tidak mau jauh dari saya. Saya bilang, hanya izin untuk mandi dan beres-beres rumah sebentar. Hari ini bapak mau pulang.
Sesampai di rumah, saya berbincang dengan mbah putri, yang semenjak bapak di ICU, memang tinggal di rumah.
“Mbah, minta tolong beres-beres ya, siap-siap, bapak mau pulang”
“Bapakmu sudah sembuh ndok?”
“Iya” tidak menangis
Pukul 11.00, saya ditelepon, ada kamar kosong untuk bapak. Tapi baru bisa pindah nanti jam 13.00.
Saya pun langsung menuju ke RS kembali. Semua keluarga berkumpul. Ya menunggu saat-saat yang amat sangat menyakitkan. Melepaskan bapak.
Saya menandatangani surat pencabutan semua alat bantu, menolak rawat ICU, dan pernyataan keberatan atas tindakan medis untuk bapak. Saya seperti pembunuh, pembunuh bapak kandung sendiri.
Pukul 13.10, Bapak siap dipindahkan. Di ruang Annisa. Hanya boleh 3 orang didalam. Saya disamping kanan bapak, adik saya disamping kiri, dan Ibu diujung kaki bapak. Kami khusyu’ membacakan doa, menuntun bapak. 30 menit kemudian. Bapak menghadap sang kuasa.
Saya memastikan dengan mengecek bola matanya, ya, Bapak sudah meninggal. Hanya bisa memeluk Ibu dan sakti.
“sak, sekarang kita jadi anak yatim, harus kuat ya” lirihku
Dibantu oleh para saudara, tetangga dan para sahabat, saya meminta agar pemakaman bapak dilangsungkan sore itu juga.
Kami memandikan bapak. Ibu histeris, histeris seperti orang kesetanan. Saya, bukannya menenangkan, malah menarik ibu keluar dari kamar pemandian mayat, dan berteriak kepada Ibu.
“Sudahlah, ikhlas, memang yang merasa kehilangan Ibu aja?, aku cape’, bantu akulah, jangan ditambahin beban lagi” Saya terus berteriak.
Kami dileraikan, adik saya hanya duduk, menangis.
Astagfirullah hal aziim.
Ternyata pemakaman tidak bisa dilangsungkan sore hari. Pihak TPU tidak mengizinkan. Terlalu sore katanya. Saya menolak, dengan cara apapun, bapak harus segera dimakamkan. Ucapku saat itu. Tetapi ya memang tidak bisa.
Dengan ikhlas, kami pun, membawa jenazah bapak ke rumah.
Pukul 17:40
Bapak tiba dirumah, rumah yang ia bangun dengan keringat, darah dan air mata, rumah yang kami miliki satu-satunya. Tempat bapak menghabiskan sisa umurnya, membesarkan kami kedua putrinya. Ratusan pelayat sudah memadati rumah kami yang sempit. Haru.
Ternyata ibu semakin histeris, ia tidak mau ditemui oleh siapapun. Diminta untuk sholat pun tidak mau. Saya menghampiri, tapi beliau justru terus menerus memukul saya. Padahal saat itu, saya hanya ingin dirangkul olehnya.
Hari semakin malam, pelayat pun justru semakin banyak berdatangan. Mengucapkan salam terakhir untuk bapak. Saya dan adik saya lah yang menjadi tuan rumah. Menjelang dini hari, kami pun tertidur.
Rabu, 14 Mei 2008
Pukul 07:00, jenazah bapak siap dimakamkan. Jenazah disholati di mushola, tempat bapak menghabiskan waktu magrib-isya disana, mushola yang ia bangun bersama-sama dengan para sahabatnya, mushola yang akhir-akhir ini selalu menjadi tempat belajar bagi bapak.
Pagi itu terasa sepi, sunyi, tidak ada angin. Saya, masih tidak meneteskan air mata. Kami mengantarkan bapak ke tempat istirahatnya terakhir. Tertutup tanah merah.
Selamat jalan bapak juara nomer 1 di dunia. Semoga Allah selalu mengampuni dosa-dosa bapak, menerima segala amal inadah bapak, mengangkat sisa kubur bapak dan menjadikan kubur bapak sebagai taman surgaNya.
Ikhlas
Kamis, 15 Mei 2008
Pukul 09:00
Pakde, ayo kita selesaikan administrasi bapak di RS, KTP Pakde masih disandera disana kan? Ucapku kepada kakak pertama dari Ibu saya.
Alhamd, ini ada uang, mudah-mudahan cukup untuk membayar semua pengobatan dan biaya RS bapak.
Sesampainya di RS, saya bersama pakde langsug menuju bagian administrasi. Membayar semua biaya RS, tidak kurang sama sekali, bahkan lebih. Masih ada sisa belasan juta. Kami pun pergi ke rumah bunda, untuk menggantikan uang yang sudah bunda pakai untuk menjamin bapak ketika pertama kali masuk ICU. Dan, masih juga terisisa.
Berfikir, uang siapa lagi yang terpakai. Sudah tidak ada.
Lalu uang sebanyak ini dari siapa saja?
Percaya? Kalau semua biaya pengobatan dan rumah sakit bapak di ICU selama hampir 6 hari, ditambah biaya hidup kami bolak-balik RS, ditambah biaya pemakaman. Semuanya gratis. Ya, gratis. Tidak ada sedikit pun uang tabungan saya, bapak, ibu dan harta di rumah yang dijual. Sedikitpun. Allah menurunkan malaikat, untuk terus memasukkan amplop-amplop ghaib di tas saya. Tas yang setiap pagi saya buka, selalu penuh dengan amplop, berisi uang. Banyak. Sampai di hari bapak meninggal pun, amplop itu semakin banyak. Tidak hanya bisa membiayai, tapi ini ada sisa, sisa uang sebesar Rp. 8,5 juta.
Ya, Bapak pergi, dengan menyiapkan bekal sendiri. Tidak mau merepotkan anak dan istrinya. Bahkan kami ditingali uang. Logika saya tidak bisa berfikir hingga sejauh itu. Uang dari mana semua ini? Kalau saya bekerja, 2 tahun pun baru bisa terkumpul uang sebanyak itu. Sempat terbesit, kalau setelah ini, saya kan menguras tabungan saya, tabungan bapak, menjual motor bapak atau perhiasan ibu. Tetapi kenyataannya tidak. Semua utuh.
Yang pasti, ini semua merupakan pelajaran yang sangat berarti buat saya.
Bapak meninggal, dengan tiba-tiba, membawa bekal sendiri, dan tidak merepotkan siapapun.
Subhanallah.
Apakah saya mampu seperti bapak?
Fabiayyi alaa irabbikuma tukadziban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar