Bukan berarti tukang sol sepatu, juga bukan salah satu not di tangga nada. SOL disini merupakan kepanjangan dari “SALAHKAN ORANG LAIN”, salah satu bab yang saya kutip dari buku Paul McGee yang berjudul Shut Up, Move On. Didalam bukunya McGee terus menerus mengurai tulisan untuk selalu Move On, dan Shut Up!, dan salah satu bab yang menggilitik saya adalah tentang SOL ini.
Sejak dulu dan dan berharap sudah mulai tidak lagi sekarang, saya sering kali menyalahkan orang lain atas kegagalan saya, kesialan ataupun masalah-masalah yang datang kepada saya. Mulai dari hal yang kecil, remeh temeh hingga hal-hal besar.
Saya pernah menyalahkan guru Bahasa Inggris SMP, guru Matematika saya ketika kelas 1 SMU, guru Fisika saya sejak saya mulai belajar Fisika (1 SMP hingga kelas 3 IPA) juga guru Kesenian musik saya ketika kelas 2 SMP. Saya mendapat nilai jelek atau nilai rata-rata di mata-mata pelajaran tersebut, membuat buruk pandangan di deretan nilai di raport saya. Saya selalu ingat, ketika Bapak bertanya, mengapa nilai-nilai itu tidak seperti deretan nilai yang lain. Jawaban saya “Habis gurunya ga enak, ngajarnya ga becus, masa’ disuruh ngerjain soal terus, ga pernah diterangin, makanya ga bisa”. Padahal beberapa teman saya yang lain bisa mendapatkan nilai bagus dengan guru yang sama dengan saya. Tapi saya lebih memilih menyalahkan orang lain, menyalahkan guru saya.
Ketika saya harus menuju ke kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan naik ojeg, ternyata hanya berhasil keliling-keliling di putaran monas. Saya pun menyalahkan tukang ojeg yang tidak tahu jalan itu. Padahal saya bisa saja cari di google dan menyiapkan segala kemungkinan menuju ke kantor itu.
Ketika saya gagal, di tahap akhir (tahap ke tujuh) sebagai salah satu calon pegawai Bappenas, saya juga menyalahkan para tim penilai, karena mereka telah salah memilih pegawai.
Ketika saya gagal menjual satu saja buku, saya juga lebih memilih menyalahkan dosen saya yang membuat buu tersebut. Tidak bagus, kurang aplikatif, makanya sekolah ga ada yang mau makai. Ya, saya kembali menyalahkan orang lain.
Saya juga menyalahkan pelatih paskibara saya, karena saya merasa dia kurang berkompeten menempa saya. Tidak banyak gerakan yang dia ajarkan kepada saya, sehingga formasi gerakan baris berbaris kelompok kami tidak variatif. Dan gagal mendapat juara 1 pun.
Ketika saya tidak masuk final lomba paskibra tingkat provinsi, saya justru menyalahkan pengait bendera, yang menurut saya kurang pas, sehingga saya membutuhkan waktu lama untuk memasang kaitan bendera tersebut. Atau ketika saya harus ikut lomba cerdas cermat, saya menyalahkan bel yang ada di depan saya. Karena secepat apapun saya memencet bel tersebut, tetap selalu keduluan dengan grup pesaing yang lain.
Dan, ketika saya gagal ujian STAN, saya menyalahkan penghapus yang saya pakai. Karena gara-gara penghapus itu, membuat kertas ujian saya sedikti kotor dan berfikir kertas ujian tersebut menjadi tidak terbaca.
Ya, saya sering menyalahkan orang lain. Tapi itu dulu. Sejak saya berumur 19, penyakit SOL itu mulai terkikis makin tipis. Karena sayalah yang harus bertanggung jawab atas segala sesuatunya. Ketika saya bercermin, pandanglah cermin, dialah, bayangan yang ada di cermin itu, yang bertanggungjawab terhadap keberadaan hidup saya sejauh ini.
Tidak ada lagi keluh kesah, Yah mau bagaimana lagi, ini kan bukan kesalahan saya, tetapi saya telah menggantinya dengan ini adalah hidup saya, saya harus menerimanya.
Dan saya pun mulai tidak menikmati kumpulan orang yang suka mengenakan kaus korban. Karena, ketika sekelompok orang itu berkumpul, mereka pasti mengadakan acara keluh kesah bersama. Saling mendukung satu sama lain.
So, berhentilah menyalahkan orang lain, dan terimalah tanggung jawab pribadin diri kita sendiri, jadilah sopir dan temukan jalan kita! Ya jalan kita sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar