12 Oktober 2007, satu hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Kami, saya, adik dan bapak ibu saya, menikmati buka puasa di Stasiun Senen. Buka puasa terakhir di bulan Ramadhan, dan yang ternyata Ramadhan terakhir untuk bapak. Senang tak terperi, karena untuk kedua kalinya, kami dapat pulang kampung ketika lebaran, bersama-sama. Sebagian besar biaya diambil dari tabungan saya hasil dari amplopan dan uang beasiswa yang masih tersisa. Pukul 20:00, kereta senja utama kami datang, kami pun bergegas segera naik ke atas. Bapak duduk dengan Ibu, saya duduk dengan adik saya. Bangku kami bersebelahan. Perjalanan menyenangkan dimulai, siap dengan snack-snack yang sudah disiapkan dari rumah. Perasaan senang karena besok pagi kami akan sampai Solo dan merayakan lebaran bersama disana. Bapak dan Ibu pun tidur dengan senyum di bibirnya.
Ternyata Allah berkehendak lain, pukul 23:50, ketika kereta kami melintasi Indramayu, disaat para penumpang mulai terlelap, saya dan adik mencium bau sangit dan melihat kepulan asap yang lama kelamaan semakin tebal. Keheranan kami berdua segera terjawab. 2 menit kemudian suara gaduh pun timbul, yang saya ingat, kami berteriak takbir, beristigfhfar, melindungi diri sebisa mungkin, dan berfikir, sepertinya ajal saya, kami atau beberapa orang dari kami berempat sudah tiba atau saya harus siap dengan kondisi yang jauh lebih buruk. Tetap hidup dengan kondisi cacat, kehilangan keluarga. Satu yangteringat. Dosa. Saya belum sanggup untuk mempertanggungjawabkan semuanya kepada sang pencipta.
Semua barang yang kami taruh diatas jatuh. Semuanya. Menimpa kami, berantakan, panik. kereta itu menggoyangkan kami hingga kami tdak bisa melakukan apapun kecuali berpegang erat di kursi. Kereta terus menggoyangkan kami, ke kanan, ke kiri, mendorong kami terus kedepan dan tidak berdaya.
Kereta kami ternyata anjlok
Gerbong kami, gerbong ke lima, merupakan gerbong terparah. Miring sebesar 60 derajat. Jangankan berjalan, berdiripun kami sulit. 6 menit kemudian, kereta pun berhenti berguncang. Yang kami takutkan adalah kereta ini jatuh ke sawah yang tingginya 3 meter. Ditambah munculnya percikan api dan asap yang semakin mengepul. Spontan, kami langsung keluar untuk evakuasi. Saya mengomandoi adik saya untuk membawa ibu keluar beserta barang-barang yang bisa dibawa. Selanjutnya saya membawa koper besar, dan keluar. Ternyata bapak masih di dalam, satu-satunya penumpang yang masih di dalam. Kaki saya semakin bergetar. Ibu pun mulai panik. Saya meminta adik dan ibu untuk menjauhi kereta. Isu kalau kereta akan terbalik dan terbakar.
Berteriak sekeras mungkin memanggil bapak. Tenggorokan rasanya tercekat. Ingin naik ke atas. Tapi. Putus asa. Tetapi akhirnya beliau pun muncul. Sosok seorang bapak berusia 52 tahun, berbadan tinggi besar. Ternyata beliau masih di dalam karena mencari-cari koper besar yang sudah saya bawa terlebih dahulu.
Pukul 00.40, kami berempat jalan, melewati sawah yang becek, gelap, tanpa alas kaki, shock, menuju arah evakuasi. Berpegangan erat. Ya kami, dievakuasi di salah satu rumah warga terdekat. Puji syukur kami panjatkan, karena kami selamat, tidak ada luka. Semua barang utuh. Alhamdulillahirobbil alamin.
1 jam kemudian, setelah menata hati dan logika. Sempat terbesit untuk tidak melanjutkan perjalanan. Tetapi ternyata ada berita kalau kami akan diberikan kereta pengganti pukul 04:00 nanti. Kami pun menunggu, duduk dipinggir sawah, mendengar takbir, dan merasakan begitu besar kuasaNya. Tidak bisa mengatakan apapun kecuali syukur.
Pukul 03.30, kereta penggantipun datang. Perjuangan belum selesai. Karena kami harus berebut tempat duduk. Tidak ada yang mengatur. Semua merasa berhak untuk dapat tempat duduk. Berkat perjuangan sang adik. Kami pun dapat 2 tempat duduk. Yang kami gunakan secara bergantian hingga Solo. Pukul 11.40, kami pun tiba di Solo dengan membawa segudang cerita. Cerita yang menjadi perjalanan terakhir kami berempat. Berempat dengan Bapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar