Tahun 2005 awal, sepertinya menjadi cobaan tersendiri untuk Bapak. Kantor dimana hampir 8 tahun belakangan beliau mencari nafkah, sedang kolaps. Ya mendekati bangkrut. Perusahaan transportasi umum yang memang sudah bobrok, semakin lama semakin bobrok. Saat itu saya sedang kuliah disemester 4, adik saya di tingkat akhir SMU. Waktu dimana kami memang sangat membutuhkan uang. Untuk sekolah. Dan dari segi psikologis, sebenarnya Bapak sudah dalam tahap fase dewasa madya akhir. Fase yang seharusnya sudah dalam tahap matang, secara financial, keuangan dan hidup. Tapi ternyata tidak.
Beberapa kali sempat terlihat kekecewaan didiri Bapak, mendekati usia tuanya, justru dia merasa nothing. Tetapi bukan bapak, kalau terus meratapi nasib dan berdiam diri. Beliau mencari penghasilan lain sebagai tukang ojeg. Ya sebagai tukang ojeg. Bapak hanya lulusan SMU. Untuk pindah kerja? Siapa yang mau menerima lelaki yang menjelang usia pensiun? Mau usaha? Modal dari mana? Berbekal motor bebeknya, Bapak keluar dari rumah pukul 05:00 pagi. Menjemput rezeki sebagai tukang ojeg. Pukul 08:00, biasanya beliau pulang, berganti pakaian lalu langsung ke kantor.
Tahun 2006 pertengahan, Bapak dirumahkan. Kembali terpukul. Praktis, Bapak full bekerja sebagai tukang ojeg. Setelah sholat subuh di Mushola yang ia bangun bersama para sahabatnya, beliau keluar. Menjemput rezeki hingga pukul 10:00. Selebihnya beliau menghabiskan waktu berkebun dan berternak di tanah garapan dekat rumah kami. Praktis, secara ekonomi, bapak hanya menghasilkan sedikit. Membiayai kebutuhan ekonomi keluarga dan menguliahi kedua anaknya di Universitas Indonesia. Mustahil sepertinya.
Tetapi ternyata bisa. Matematika Allah memang sungguh luar biasa. Tidak pernah bisa dipikir dengan logika. Rezeki tidak hanya datang dari Bapak. Ketika pintu rezeki dari Bapak di tutup, maka terbukalah pintu-pintu rezeki yang lain. Saya dan adik kuliah tanpa biaya. Kami kuliah di UI secara gratis. Subhanallah.
Bapak pun mulai enjoy, mencoba pasrah, terus bekerja sebagai tukang ojeg. Kami mencoba untuk terus tidak membebaninya. Sedikitpun. Termasuk Ibu. Istri yang amat sangat luar biasa. Tidak pernah sedikitpun beliau mengeluh. Dikasih atau tidaknya uang oleh Bapak, tidak merubah cintanya yang dalam kepada Bapak. Akuntan yang hebat,karena setiap hari, selalu masih ada nasi dan lauk-pauk special untuk kami.
Praktis, yang diceritakan bapak, bukan lagi pekerjaannya, bagaimana ia harus mengurusi puluhan supir dan kondektur, bis-bis yang mulai bobrok dan manajemen operasional. Yang diceritakannya sekarang adalah, penumpang ojeg yang selalu baik hati sama Bapak. Seperti contoh, Bapak bercerita kalau pagi itu, Ia mengantar salah satu ibu muda yang sedang hamil ke kantornya di Kelapa Gading. Mereka pun berbincang-bincang, dan betapa kagetnya sang ibu, karena tahu kalau tukang ojeg yang ia naiki itu memiliki 2 orang putri yang kuliah di UI. Praktis, bapak, menjadi ojeg langganan khusus Ibu itu. Ada lagi, ketika beliau harus mengantar anak kuliah ke kampusnya. Cukup jauh. Sampai di kampus, ternyata dompet si anak itu ketinggalan. Dengan ikhlas, bapak berkata “ga usah bayar de’, kuliah yang rajin ya”. Atau ketika harus mengantar Ibu-Ibu gendut dengan segudang belanjaan dari pasar yang hanya membayar Bapak Rp. 5.000. Apakah bapak marah-marah? Tidak. Beliau ikhlas menerima rezekinya. Atau ketika ia harus mengantar penumpangnya, dan tiba-tiba, bannya bocor. Uang tidak di dapat, dan bapakpun harus bersusah payah mencari bengkel. Dan ketika musim hujan turun. Cerita sentil mentil lainnya pun terus bergulir. Bapak, tidak pernah mengeluh. Ya itulah Bapak.
Kamis pagi, di bulan Maret 2006. Saya, naik metromini 506, dengan ransel dan buku-buku tebal di tangan, duduk, melihat ke luar jendela. Melihat Bapak, di tempat ojeg biasa bapak mangkal, di salah satu blok Rumah Susun di Podok Kopi, sedang duduk di atas motornya, menunggu penumpang sambil baca Koran.
Selasa pagi, di bulan April 2006. Saya kembali naik metromini, kembali melihat keluar jendela. Melihat bapak, beliau sedang asik bercengkerama dengan teman-teman ojegnya. Menjadi motivator untuk mereka.
Senin pagi, di bulan Mei 2006. Saya kembali naik metromini, kembali melihat keluar jendela. Bapak tidak ada disana. Sedang menarik penumpang sepertinya. Ada undangan ditas saya, yang belum sempat saya beri ke Bapak. Beliau diundang ke kampus, ada malam penganuggerahan yang harus beliau hadiiri, karena saya terpilih menjadi 4 besar Mahasiswa berprestasi di FISIP UI.
Januari-Juli 2007
Setiap pagi selalu melihat pangkalan ojeg bapak. Kadang melihatnya, kadang tidak. Bulan agustus 2007 akan saya berikan hadiah terbaik untuk bapak. Gelar Sarjana, dengan predikat cumlaude dan IPK tertinggi sefakultas FISIP.
Mei 2008
Kali ini saya tidak hanya melihat dari jendela. Saya datang, turun kepangkalan ojeg. Berbincang dengan teman-teman bapak. Menanyakan apakah bapak memiliki hutang, meminta maaf atas segala kesalahan bapak. Duduk di warung bu Haji, tempat bapak sarapan dan mengisi perutnya ketika lapar. Mendengar banyak sekali kenangan. Bu haji menuturkan semuanya. Lauk kesukaannya, kebiasaan bapak yang selalu membantu membuka warung dan membawa masakan-masakannya serta kebiasaan bapak yang 3 bulan terakhir lebih banyak diam dan memilih menunggu penumpang di dalam masjid di samping warungnya. Bapak belakangan lebih suka membaca surat Yaasin, tahlil dan tahmid disana. Bu Haji pun menangis. Saya masuk kedalam masjid itu. Duduk. Merasakan bapak juga sedang duduk dan membaca surat Yassin. Indah sekali.
2009
Saya, dengan pakaian kantor, naik 506 menuju Sudirman. Tetap melihat keluar jendela. Ke pangkalan ojeg. Tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar