Saktiana Dwi Hastuti, lahir tepat di Hari kesaktian pancasila, 1 Oktober. Adik saya satu-satunya. Kriwil, cemplok, kiting kiwing-kiwing, dewi, dewo’, sadewo’ dan sakti, nama panggilannya. Mungkin hanya sakti dan dewi nama populernya. Sisanya, hanya sebutan bagi kami saja di rumah. Tulisan ini khusus saya dedikasikan untuk adik saya sekaligus sebagai bentuk permohonan maaf saya, karena dulu mungkin saya selalu berperan sebagai nenek lampir, nenek sihir, buto ijo atau kakak ros atau mungkin si giant. Sosok kakak yang amat sangat menyebalkan, galak, egois, mau menang sendiri dan suka menindas.
Jarak kami berdua hanya 3,5 tahun. Praktis, kami selalu berkompetisi, berantem dan terus membandingkan satu sama lain. Sewaktu SD saya selalu berprestasi, popular, dekat dengan semua guru, aktif di semua perlombaan, disiplin, pengurus kelas, bertanggung jawab dan anak yang baik. Adik saya? anak perempuan yang tomboy, malas belajar, selalu merobek buku tulisnya ketika mendapat nilai jelek, hingga tersadar kalau buku-buku latihannya semakin lama semakin tipis, ketinggalan tugas, PR sekolah, karena kebiasaan membereskan buku di pagi hari sesaat sebelum berangkat serta selalu bermain curang dengan teman-temannya.
Pernah suatu hari ia bermain arisan dengan teman sekelasnya. Di putaran pertama kocokan, nama adik saya yang keluar. Walhasil semua uang yang terkumpul untuknya. Putaran kedua? Tidak ada yang dapat. Karena ketika mereka mau memulai arisan putaran kedua. Adik saya berkata “udahan aja yuk main arisannya” dan teman-temannya pun setuju. Adik saya juga sering tidak membayar ongkos angkot. Ketika temana-temannya turun, berebut memberikan uang kepada supir. Adik saya dengan tenang, menyelinap keluar dan bebas membayar ongkos. Uangnya habis untuk jajan, katanya.
Bertengkar? Sering. Sangat sering. Mulai dari adu mulut hingga main jambak-jambakan. Terlebih karena kami harus berbagi kamar, berantem pun tak pernah terelakan. Kebiasaannya yang jorok, berantakan, hobi mengumpulkan bungkus-bungkus yang nggak jelas. Membuat saya fiuh, menghela nafas.
Seiring dengan berjalannya waktu, kami pun terus berkompetisi. SD yang sama, SMP dan SMA yang sama hingga kuliah pun kami di tempat yang sama. Tetapi belakangan, ketika sudah sama-sama dewasa, tidak ada lagi pertengkaran. Terlebih ketika bapak sudah tidak ada. Sakti, merupakan belahan jiwa saya. keputusan apapun, selalu saya konsultasikan padanya, mulai dari masalah keluarga hingga masalah “Sak, gw bagusan pakai baju yang mana?”. Hobi kita, makan dan shopping bareng. Kita sering menghabiskan watu berkeliling berdua. Dimanapun. Mulai dari kaki lima hingga bintang lima. Akhirnya, saya selalu menjadi tidak PD membeli barang tanpa dia. Barang apapun itu. Sakti merupakan inspirasi saya. dia hebat, genius, tanpa belajar dengan giat dengan mudah mencerna sesuatu. Pikirannya luar biasa, solutif dan dinamis. Saya sangat bergantung dengannya. Kami pun semakin dekat, seperti anak kembar, ukuran badan yang hampir sama, membuat kami juga sering bertukar pakaian dan kerudung.
September 2010, bulan itu merubah semuanya. Adik saya memilih untuk ikut bergabung di gerakan Indonesia Mengajar, di bawah komandan Anies Baswedan. Dia menolak beberapa peluang untuk bekerja di Jakarta, termasuk Kementerian Keuangan. Dia lebih memiih mengabdikan dirinya mengajar di Desa Limboro, desa terpencil diujung Majene, Sulawesi. Tanpa listrik, tanpa sarana yang memadai dan hidup alakadarnya. Saya, sempat kaget, mendengar keputusannya. Keputusan yang mantap, tanpa ragu sedikitpun. Bangga bercampur sedih. Karena belahan jiwa, penasihat spiritual, rival, teman shopping, councelor dan motivator pribadi saya pergi, jauh, dalam waktu yang cukup lama. Dia meninggalkan saya dan Ibu. Tetapi harus ikhlas, merelakan Sakti pergi menjemput mimpinya, menjejakkan kaki diujung Indonesia, meninggalkan inspirasi untuk anak-anak dan masyarakat disana.
Sepeninggalan sakti, hati ini terkadang terasa amat sakit, mengiris, karena saya harus menghadapi masalah semuanya sendiri. Tidak ada penasihat spiritual lagi. Tidak ada sakti. Desa yang terisolir dan tanpa sinyal, membuat saya terkadang sempat putus asa untuk menghubunginya. Sekedar bercerita atau bahkan harus segera mengambil keputusan yang penting. Kami hanya bisa bertelepati. Kangen. Sekali. Kangen dengan omelannya, solusi memilih baju, belanja dan makan bareng, kangen kentutnya atau nguwel-nguwel di kamarnya di setiap minggu pagi. Tetapi ya bukan saya dan Sakti, kalau harus meratapi nasib. Kami terus semangat mengukir prestasi, berbagi dan mengisnpirasi, walaupun hanya sebatas seujung kuku jari kelingking.
Sakti, maafkan mba’mu ini ya. Semoga kedepan kualitas persaudaraan kita semakin solid, menjunjung tinggi dan harum nama keluarga, bapak dan ibu. Tunggu gw di Desa Limboro. Gw pasti datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar