Sepeninggalan bapak, punggung terasa amat berat, seperti puluhan ton di punggung dan terus dipaksa untuk berjalan. Saat itu, saya mulai menata hati, menata logika. Life must go on.
Allah ternyata sangat sayang kepada saya. Ujian belum selesai. Masih ada beberapa soal sulit yang harus saya selesaikan segera dan entah sampai kapan soal-soal itu bisa saya selesaikan atau mungkin saya memilih untuk tidak mengerjakan soal-soal itu, karena saya tidak bisa atau memang tidak mau. Karena terlalu lelah.
Kepergian bapak yang tiba-tiba membuat Ibu mengalami depresi. 6 hari full menunggu bapak di ICU, tanpa pulang ke rumah semenit pun. Tidak ingin berada jauh-jauh dari belahan jiwanya. Praktis yang ada dipikirannya adalah hanya satu nama “Ari Prayitno”, suami tercinta, Bapak dari anak-anaknya. Luka yang amat dalam, terlihat jelas. Sang belahan jiwa meninggalkannya, tepat di hari pernikahan mereka ke 25. Hari yang sebelumnya sempat kami rencanakan untuk mengadakan syukuran kecil-kecilan. Ibu mau membuat nasi kuning buat kita, keluarga dan dibagikan ke tetangga. Bapak saat itu juga sangat semangat sekali, memilih ayam-ayamnya yang akan dipersembahkan untuk hari pernikahan mereka ke 25. Tapi itu semua tinggal cerita.
Ibu, terliat sangat rapuh, rapuh sekali. Tidak ada garis senyuman sedikitpun. Terlebih ketika harus memandikan jenazah suaminya, dan menyaksikan Bapak sudah dikafani. Pikirannya hanya satu. Ibu kepengen ikut. Ya ikut sang suami, pergi bersama-sama. Kami, anak-anaknya. Sepertinya ibu melupakan kami. Dia justru menjadi sangat tidak mengenal kami. Di hari bapak disemanyamkan di rumah, Ibu tidak mau bertemu siapapun, termasuk anaknya.
Ujian berikutnya, Ibu teryata menderita gangguan psikologis. Pasca bapak dikuburkan, ibu kembali tinggal di rumah. Rumah yang memiliki jutaan kenangan untuk mereka. Keadaan diperburuk karena ibu sebagai Ibu Rumah Tangga yang mengabdikan hidupnya untuk suami dan anak-anaknya. Praktis, keadaan ini memperburuk kondisi psikologis Ibu. Ibu sering menangis, hingga histeris, berteriak, sekencang-kencangnya, membanting barang, membenci apapun yang ia lihat. Tidak ada semangat hidup, tidak mau makan terlebih masak. Lebih dari 1 bulan Ibu tidak mau masak sama sekali. Padahal kami, anak-anaknya kangen sekali dengan masakannya.
Ibu hanya ingin ketempat bapak, ikut bapak.
Sabar, saya dan adik pun harus bersabar, jauh lebih besar dari sebelumnya. Di minggu-minggu pertama pasca Bapak tidak ada, masih ada saudara yang terus menemani Ibu. Tetapi tidak mungkin untuk selamanya. Mereka pun memiliki kehidupan sendiri. Tugas pun semakin berat. Saya harus bekerja, adik saya pun harus kuliah. Meninggalkan Ibu di rumah sendiri. Sangat tidak mungkin. Terlalu rapuh. Saya pun meminta tolong beberapa teman dekatnya untuk secara bergantian menemaninya. Dan tak jarang Ibu saya ajak ke Cipto, menemani saya kerja sebagai councellor disana. Membuka mata ibu, kalau masih ada anak-anaknya, masih banyak orang diluar sana yang jauh lebih buruk keadaannya dibanding kami. Ya, Ibu menemani saya bekerja, menangani pasien-pasien KDRT, rape, child sexual abuse dan child abuse.
Saya dan adik, terus berperan sebagai councellor untuk Ibu kandung sendiri. Kami takut kalau harus kehilangannya juga. Luka kemarin belum sembuh. Masih sangat sakit.
Ditengah-tengah usaha tanpa batas untuk mengembalikan Ibu. Saya kembali mendapat soal sulit dari Allah. Ditengah-tengah meeting, kedua ponsel saya terus berbunyi. Ada telepon dari salah satu sepupu saya. Ada apa lagi ini, pikirku. Singkat kata, ternyata ia telah menghamili pacarnya. Pacarnya sudah hamil 3 bulan. Keluarga pihak perempuan (pacarnya) meminta segera untuk datang ke rumah dan bertanggungjawab. Dia tidak berani bilang kepada Ayahnya, Ibunya sudah lama sekali meninggal.
Kaki saya lemas. Serasa tidak ada tulang. Samasekali. Baru 9 hari yang lalu saya ditinggal bapak, menata hati dan harus terus mendampingi Ibu. Ini? Ya, sebagai cucu pertama di keluarga Ibu, saya lah yang menjadi tong sampah semuanya. Tidak bisa berlari. Harus saya hadapi.
Keesokannya, saya izin untuk cuti. Terlalu berat kepala saya. Hanya bisa menangis ke adik saya. Bercerita kepada ibu? Sangat tidak mungkin. Sore hari saya janjian dengan pakde saya (ayah dari sepupu saya) untuk menceritakan semuanya. Karena saya sudah janji dengan orang tua pihak perempuan untuk datang kerumahnya malam itu. Semua teori psikologis untuk memberikan kabar buruk ke pasien, saya lakukan ke pakde saya sendiri.
Perbincangan sore yang amat sangat menyakitkan bagi kami berdua. Dan harus kami tanggung berdua.
Malam nya pun, kami berdua langsung kerumah perempuan tersebut. Saat itu, pakde amat sangat tidak sanggup untuk berbicara. Terlalu sakit. Disakiti oleh anaknya sendiri. Maka, saya lah yang berbicara. Memohon maaf dan bermaksud untuk bertanggung jawab. Berdebat, karena mereka meminta untuk pernikahan dibuat pesta. Saya memohon untuk tidak dipestakan, karena Bapak belum saja 40 hari. Bagaimana mungkin kami berpesta ditengah keadaan Ibu seperti itu. Mereka menolak. Marah.
Puluhan kata kasar terucap untuk saya, pelacur, pecun, kata-kata binatang. Sakit. Sakit sekali. Saya lebih memilih memakan empedu. Sayapun diusir keluar. Saya, keluar. Menangis. Sepulang dari malam yang menyakitkan itu, saya ke rumah saudara-saudara yang lain. Berkata tidak sanggup. Terlalu sakit bagi saya.
Dan selama 2 minggu kemudian kami selalu bermain umpet2an dengan Ibu. Merahasiakan semuanya. Dan saya pun harus melakukan kebohongan demi kebohongan. Demi Ibu.
100 hari sudah kepergian bapak. Ibu sudah mulai ikhlas. Terapi piskologis, doa dari semua, dukungan membuat Ibu mulai menata hidupnya kembali. Ya Ibu memang butuh waktu. Senang sekali ketika beliau sudah mulai memasak kembali. Mulai beraktivitas. Dan sepertinya saya mulai dapat mengerjakan soal-soal dari Allah. Ya, ternyata saya bisa. Dan saya pun siap untuk diberikan soal-soal berikutnya.
September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar