Selain ayam, bapak juga senang sekali memelihara lele. Kami membuat bak kecil di bawah jemuran, disamping kamar mandi kami. Beliau membuat baknya sendiri. Terbuat dari plesteran semen berukuran 1,5 x 0,5 meter. Kecil, tapi cukup menampung puluhan lele peliharaan bapak. Bapak biasanya membeli bibit lele (lele ukuran kecil-kecil) di pasar jatinegara. Selama 2-3 bulan lele-lele kecil itu diberi pellet, makanan khusus untuk lele, bentuknya bulat, kecil-kecil dan sedikit bau. Saya dan adik paling suka memberi makan lele. Lelenya berebut. Setelah 3-4 bulan. Lelenya mulai besar. Waktu yang ditunggu-tunggupun tiba. Menguras kolam lele.
Ya, kami menguras kolam lele, mengeluarkan seluruh isi air yang ada dibak itu dari salah satu lubang yang disumpel bapak. Ketika air terus keluar dan makin lama makin habis. Maka lele-lelepun terlihat dengan jelas. Bergeliat. Lompat-lompatan dan saling bersembunyi. Kamipun siap dengan serokan. Terbuat dari jaring yang digunakan untuk menangkap ikan. Saya dan adik berebut memilih lele yang besar. Ya, karena memang hanya lele yang besar yang boleh diambil sama bapak. Selebihnya akan digendutkan dan diizinkan melanjutkan hidup kembali.
Kadang kami hanya mendapatkan 10-15 yang besar, terkadang hingga 30 ekor. Bila terlalu banyak, maka tidak hanya keluarga kami yang panen lele. Tetangga-tetangga kami pun ikut panen lele. Ya, akhirnya di hari itu kami semua memiliki menu sama. Lele.
Favorit saya dan adik ukup simple. Lelenya cukup digoreng saja. Bapak, memilih di mangut. Ibu? Sayang, ibu tidak doyan lele, sama sekali. Tapi walaupun tidak doyan, beliau siap sedia memasakkan kami. Racikan bumbu ditambah cinta, membuat lele goreng dan mangut lele Ibu tidak ada yang bisa menandingi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar